Semarang, Antara Jateng - Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir menegaskan perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH) wajib memfasilitasi mahasiswa miskin.

"Mengenai uang kuliah tunggal (UKT), bagi PTN-BH sudah bukan lagi tanggung jawab kementerian," katanya, usai peluncuran Universitas Diponegoro sebagai PTN-BH di Semarang, Selasa.

Penentuan UKT bagi PTN-BH, kata dia, diserahkan kepada rektor di masing-masing perguruan tinggi, tetapi tidak boleh melupakan akses bagi 20 persen mahasiswa dari keluarga tidak mampu.

Meski penetapan UKT diserahkan masing-masing rektor PTN-BH, kata dia, tetap ada rambu-rambu yang harus ditaati untuk melindungi mahasiswa tidak mampu dari kesulitan biaya masuk perguruan tinggi.

"Tidak bisa tidak, wajib hukumnya memfasilitasi mahasiswa miskin. Kami akan evaluasi betul PTN, seperti Undip. Jumlah mahasiswa miskinnya tidak boleh kurang dari 20 persen," katanya.

Kalau sampai ada PTN yang memiliki mahasiswa miskin kurang dari 20 persen, kata mantan Rektor Undip terpilih itu, bisa dilaporkan kepada Kemenristek Dikti untuk dilakukan evaluasi.

Nasir menjelaskan status PTN-BH mengimplementasikan adanya kepercayaan dari pemerintah kepada PTN untuk melakukan pengelolaan sendiri karena diberikan otoritas, baik akademik maupun non-akademik.

"Mereka (PTN-BH) diberikan kemandirian karena negara percaya PTN-BH bisa mengelola sendiri dengan inovasi dan kreasi. Namun, harus melindungi anak-anak miskin," pungkasnya.

Sementara itu, Rektor Undip Prof Yos Johan Utama mengakui saat ini Undip telah memfasilitasi mahasiswa kurang mampu sekitar 30 persen dari total mahasiswa yang diterima PTN tersebut.

Ia mengakui PTN-BH memang dituntut melakukan inovasi dan kreasi, termasuk hilirisasi hasil riset ke dunia industri yang nantinya digunakan untuk membiayai pengelolaan pendidikan.

"Ya, supaya pendidikan jadi tidak mahal. Kami saat ini sudah memfasilitasi sekitar 30 persen mahasiswa tidak mampu," kata Guru Besar dan mantan Dekan Fakultas Hukum (FH) Undip itu.

Mengenai UKT, Yos mengakui memang ada beberapa tingkatan disesuaikan kemampuan ekonomi mahasiswa, tetapi tidak bersifat permanen karena secara berkala dilakukan evaluasi atau peninjauan.

"Kami menyadari, mungkin ada yang sekarang kondisi ekonominya di atas, namun bisa juga nanti di bawah. Banyak juga yang kemudian mengajukan penurunan 'grade' UKT," katanya.