Budi Daya Tanaman Jeruk Dukung Pariwisata Karo
Selasa, 4 April 2017 21:11 WIB
Seorang petani di Desa Bandartongging, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara memanen jeruk siam madu yang lebih dikenal sebagai jeruk berastagi. (Foto:ANTARAJATENG/Anies Efizudin)
Karo, ANTARA JATENG - Hamparan tanaman jeruk yang tertata rapi menghijau di sejumlah wilayah di dataran tinggi Kabupaten Karo, Sumatera Utara.
Salah satu sentra penghasil buah jeruk di Kabupaten Karo adalah di Kecamatan Merek yang wilayahnya tidak jauh dari Danau Toba yang merupakan salah satu dari 10 kawasan strategis pariwisata nasional.
Camat Merek Tomi Sidabutar mengatakan dari 19 desa di Merek, ada 15 desa yang membudidayakan tanaman jeruk.
"Luasan tanaman jeruk di Merek sekitar 1.700 hektare yang tersebar di 15 desa," katanya saat menerima kunjungan kerja beberapa pejabat Pemkab Temanggung dan sejumlah wartawan yang bertugas di Temanggung, Jawa Tengah.
Ia mengatakan kebun jeruk merupakan salah satu daya tarik wisata di Kabupaten Karo. Wisatawan bisa datang dan memetik langsung buah jeruk segar di kebun.
Pengunjung bisa sepuasnya makan jeruk di kebun secara gratis dan jika ingin membawa pulang cukup membayar Rp20.000 per kilogram.
Wisatawan bisa datang secara perorangan maupun berombongan akan disambut dengan tangan terbuka oleh pemilik atau pengelola kebun.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Karo, Sarjana Purba mengatakan jenis tanaman jeruk yang dibudidayakan adalah siam madu.
Ia menuturkan jeruk asal Karo yang lebih dikenal sebagai jeruk berastagi ini dikembangkan di 14 kecamatan dari 17 kecamatan di Kabupaten Karo.
"Daerah pengembangan jeruk ada di 14 kecamatan yang cocok untuk budi daya," katanya.
Sarjana Purba menyebutkkan keunggulan jeruk berastagi atau siam madu adalah kulit agak tebal sehingga lebih tahan lama, mudah dikupas, rasanya manis, aromanya wangi, tidak banyak bijinya, dan segar.
"Jenis jeruk ini tidak ada di kabupaten lain. Artinya varietas yang sama jika ditanam di daerah lain rasanya tidak seperti di Kabupaten Karo," katanya.
Ia mengatakan budi daya tanaman jeruk di Kabupaten Karo dimulai tahun 1978-1979 dan mulai dikembangkan untuk tujuan wisata pada 1990-an.
Menurut dia, wisatawan yang datang umumnya dari luar Kabupaten Karo dan juga wisatawan mancanegara.
Dikatakan, daerah pemasaran jeruk berastagi selain untuk mencukup kebutuhan lokal juga dipasarkan ke Jakarta dan Bandung.
Sarjana Purba menuturkan permntaan jeruk berastagi tetap tinggi karena pasar sudah ada. Pasar tidak perlu lagi diciptakan, karena pasar tradisional dan mal masih terbuka lebar.
Untuk pasaran ekspor, katanya belum ada permintaan tetapi baru sekadar untuk oleh-oleh para turis yang datang.
Menurut dia budi daya tanaman jeruk di Kabupaten Karo masih menjanjikan, karena nilai ekonominya tinggi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
Disebutkan, kendala yang dihadapi petani dalam membudidayakan tanaman jeruk, paling utama adalah hama lalat buah. Jika buah jeruk sudah terkena lalat buah maka buah akan membusuk dan jatuh.
Menurut dia sebenanya pemberantasan lalat buah tidak membutuhkan teknologi tinggi, untuk pemberantasannya butuh ketekunan dan kebersamaan para petani.
Artinya, untuk memberantas lalat buah harus dilakukan bersama-sama secara keseluruhan. Misalnya satu Kecamatan Merek harus bersama-sama memberantasnya baik untuk membuat perangkap lalat maupun membersikan ladang.
Menurut dia kalau kegiatan tersebut tidak dilakukan bersama-sama akan sia-sia karena lalat buah akan datang lagi.
"Hal itu yang mungkin masih menjadi `pekerjaan rumah` bagi para petani," katanya.
Ia menyebutkan dengan adanya hama lalat buah tersebut luasan tanaman jeruk di Kabupaten Karo cenderung berkurang, kalau lima tahun lalu luas lahan mencapai 16.000 hektare, kini tinggal 10.000 hektare.
Ia mengatakan pihaknya terus berupaya membangkitkan petani untuk membudidayakan jeruk berastagi yang sudah menjadi ikon Kabupaten Karo dan mendukung dalam pengembangan pariwisata.
Petani jeruk di Desa Bandartongging Kecamatan Merek, Henri Petrus Munte mengatakan memiliki tanaman jeruk di lahan seluas 1,5 hentare.
Menurut dia budi daya tanaman jeruk masih menjanjikan dengan harga antara Rp6.000 hingga Rp15.000 per kilogram.
"Saat panen raya harga jeruk biasanya turun hingga Rp6.000 per kilogram, namun di luar masa panen bisa melambung hingga Rp15.000 per kilogram," katanya.
Ia menyebutkan panen raya jeruk setahun dua kali, yakni bulan Juni-Juli dan Desember-Januari.
Ia mengatakan pihaknya mulai menanam jeruk pada 2009, sebelumnya dia menanam palawija namun selalu gagal.
Asisten Admnistrasi Sekda Temanggung, Sigit Purwanto yang memimpin rombongan dalam kunjungan tersebut mengatakan pihaknya ingin belajar tentang budi daya tanaman jeruk di Kabupaten Karo karena kondisi geografis Kabupaten Temanggung hampir sama dengan Karo.
"Kalau di sini ada dua gunung, yakni Sinabung dan Sibaya, di Temanggung ada Gunung Sumbing dan Sindoro," katanya.
Menurut dia tanaman jeruk bisa dikembangkan di Temanggung dan pada tahun 1970an di daerah Paponan Temanggung juga merupakan daerah penghasil jeruk.
Namun, katanya karena komoditas tembakau waktu itu harganya lebih menjanjikan maka lambat laun tanaman jeruk di Paponan tergusur oleh tanaman tembakau hingga sekarang.
"Hal ini kesempatan bagi Dinas Pertanan dan Ketahanan Pangan dan Bappeda untuk merancang pemetaan terhadap geografis pertanian sehingga tanaman keras seperti jeruk ini bisa dibudidayakan. Sebenarnya Temanggung berpotensi, hanya perlu peningkatan SDM," kata Sigit Purwanto.
Salah satu sentra penghasil buah jeruk di Kabupaten Karo adalah di Kecamatan Merek yang wilayahnya tidak jauh dari Danau Toba yang merupakan salah satu dari 10 kawasan strategis pariwisata nasional.
Camat Merek Tomi Sidabutar mengatakan dari 19 desa di Merek, ada 15 desa yang membudidayakan tanaman jeruk.
"Luasan tanaman jeruk di Merek sekitar 1.700 hektare yang tersebar di 15 desa," katanya saat menerima kunjungan kerja beberapa pejabat Pemkab Temanggung dan sejumlah wartawan yang bertugas di Temanggung, Jawa Tengah.
Ia mengatakan kebun jeruk merupakan salah satu daya tarik wisata di Kabupaten Karo. Wisatawan bisa datang dan memetik langsung buah jeruk segar di kebun.
Pengunjung bisa sepuasnya makan jeruk di kebun secara gratis dan jika ingin membawa pulang cukup membayar Rp20.000 per kilogram.
Wisatawan bisa datang secara perorangan maupun berombongan akan disambut dengan tangan terbuka oleh pemilik atau pengelola kebun.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Karo, Sarjana Purba mengatakan jenis tanaman jeruk yang dibudidayakan adalah siam madu.
Ia menuturkan jeruk asal Karo yang lebih dikenal sebagai jeruk berastagi ini dikembangkan di 14 kecamatan dari 17 kecamatan di Kabupaten Karo.
"Daerah pengembangan jeruk ada di 14 kecamatan yang cocok untuk budi daya," katanya.
Sarjana Purba menyebutkkan keunggulan jeruk berastagi atau siam madu adalah kulit agak tebal sehingga lebih tahan lama, mudah dikupas, rasanya manis, aromanya wangi, tidak banyak bijinya, dan segar.
"Jenis jeruk ini tidak ada di kabupaten lain. Artinya varietas yang sama jika ditanam di daerah lain rasanya tidak seperti di Kabupaten Karo," katanya.
Ia mengatakan budi daya tanaman jeruk di Kabupaten Karo dimulai tahun 1978-1979 dan mulai dikembangkan untuk tujuan wisata pada 1990-an.
Menurut dia, wisatawan yang datang umumnya dari luar Kabupaten Karo dan juga wisatawan mancanegara.
Dikatakan, daerah pemasaran jeruk berastagi selain untuk mencukup kebutuhan lokal juga dipasarkan ke Jakarta dan Bandung.
Sarjana Purba menuturkan permntaan jeruk berastagi tetap tinggi karena pasar sudah ada. Pasar tidak perlu lagi diciptakan, karena pasar tradisional dan mal masih terbuka lebar.
Untuk pasaran ekspor, katanya belum ada permintaan tetapi baru sekadar untuk oleh-oleh para turis yang datang.
Menurut dia budi daya tanaman jeruk di Kabupaten Karo masih menjanjikan, karena nilai ekonominya tinggi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
Disebutkan, kendala yang dihadapi petani dalam membudidayakan tanaman jeruk, paling utama adalah hama lalat buah. Jika buah jeruk sudah terkena lalat buah maka buah akan membusuk dan jatuh.
Menurut dia sebenanya pemberantasan lalat buah tidak membutuhkan teknologi tinggi, untuk pemberantasannya butuh ketekunan dan kebersamaan para petani.
Artinya, untuk memberantas lalat buah harus dilakukan bersama-sama secara keseluruhan. Misalnya satu Kecamatan Merek harus bersama-sama memberantasnya baik untuk membuat perangkap lalat maupun membersikan ladang.
Menurut dia kalau kegiatan tersebut tidak dilakukan bersama-sama akan sia-sia karena lalat buah akan datang lagi.
"Hal itu yang mungkin masih menjadi `pekerjaan rumah` bagi para petani," katanya.
Ia menyebutkan dengan adanya hama lalat buah tersebut luasan tanaman jeruk di Kabupaten Karo cenderung berkurang, kalau lima tahun lalu luas lahan mencapai 16.000 hektare, kini tinggal 10.000 hektare.
Ia mengatakan pihaknya terus berupaya membangkitkan petani untuk membudidayakan jeruk berastagi yang sudah menjadi ikon Kabupaten Karo dan mendukung dalam pengembangan pariwisata.
Petani jeruk di Desa Bandartongging Kecamatan Merek, Henri Petrus Munte mengatakan memiliki tanaman jeruk di lahan seluas 1,5 hentare.
Menurut dia budi daya tanaman jeruk masih menjanjikan dengan harga antara Rp6.000 hingga Rp15.000 per kilogram.
"Saat panen raya harga jeruk biasanya turun hingga Rp6.000 per kilogram, namun di luar masa panen bisa melambung hingga Rp15.000 per kilogram," katanya.
Ia menyebutkan panen raya jeruk setahun dua kali, yakni bulan Juni-Juli dan Desember-Januari.
Ia mengatakan pihaknya mulai menanam jeruk pada 2009, sebelumnya dia menanam palawija namun selalu gagal.
Asisten Admnistrasi Sekda Temanggung, Sigit Purwanto yang memimpin rombongan dalam kunjungan tersebut mengatakan pihaknya ingin belajar tentang budi daya tanaman jeruk di Kabupaten Karo karena kondisi geografis Kabupaten Temanggung hampir sama dengan Karo.
"Kalau di sini ada dua gunung, yakni Sinabung dan Sibaya, di Temanggung ada Gunung Sumbing dan Sindoro," katanya.
Menurut dia tanaman jeruk bisa dikembangkan di Temanggung dan pada tahun 1970an di daerah Paponan Temanggung juga merupakan daerah penghasil jeruk.
Namun, katanya karena komoditas tembakau waktu itu harganya lebih menjanjikan maka lambat laun tanaman jeruk di Paponan tergusur oleh tanaman tembakau hingga sekarang.
"Hal ini kesempatan bagi Dinas Pertanan dan Ketahanan Pangan dan Bappeda untuk merancang pemetaan terhadap geografis pertanian sehingga tanaman keras seperti jeruk ini bisa dibudidayakan. Sebenarnya Temanggung berpotensi, hanya perlu peningkatan SDM," kata Sigit Purwanto.
Pewarta : Heru Suyitno
Editor :
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Tim dosen Unsoed dampingi petani stroberi bikin pupuk-pestisida ramah lingkungan
12 October 2024 15:38 WIB
LPPM Unsoed gelar Seminar Nasional Pengembangan Sumber Daya Perdesaan Berkelanjutan 2024
28 September 2024 16:31 WIB