Borobudur, Jateng, ANTARA JATENG - Kepala Sangha Theravada Indonesia Biksu Sri Pannyavaro Mahathera mengajak umat Buddha di Indonesia untuk mengendalikan dan mawas diri dalam menghadapi ancaman intoleransi.
"Kalau kita respons dulu ke luar, yang timbul kemarahan, kejengkelan, kebencian. Tapi mari kita respons ke dalam dulu, baru kita ke luar," katanya di sela "Borobudur International Conference 2017" di Kompleks Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Sabtu.
Upaya mengelola diri ke dalam setiap pribadi anak bangsa, katanya, menjadi langkah yang penting dalam menghadapi ancaman intoleransi, radikalisme, dan disintergrasi bangsa.
Ia mengemukakan sikap menuntut dan menyalahkan pihak lain, serta menilai bahwa orang lain tidak toleran, hanya menimbulkan kasak-kusuk dan pertanyaan yang sulit dijawab.
"Itu keluh-kesah atau pertanyaan yang sulit dijawab. Lebih baik diganti pertanyaan `Sudahkah saya berhenti dari berbuat jahat?` Itu saya kira lebih riil, dan ajaran agama Buddha selalu meminta kita melihat ke dalam dulu, baru respons keluar," kata Pannyavaro yang juga Vice President of World Buddhist Sangha Council itu.
Ia mengatakan bahwa memaksakan kehendak diri kepada orang lain sebagai sikap orang yang tidak bisa mengendalikan diri.
Biksu Pannyavaro yang juga Kepala Wihara Mendut Kabupaten Magelang tersebut, mengatakan keserakahan, kebencian, iri hati, dan arogansi mengakibatkan bencana atau masalah sosial.
"Itu masalah mental sebenarnya, tetapi kalau itu keluar jadi masalah sosial. Masalah mental harus dibersihkan, tapi kalau saya tidak menyadari itu dan kemudian keluar melalui tindakan atau ucapan, akan timbul masalah dengan keluarga, dengan lingkungan," kata salah satu pendiri Konferensi Agung Sangha Indonesia itu.
Rawan perpecahan
Ketua Dewan Kehormatan Sangha Perwakilan Umat Buddha Indonesia Biksu Tadisa Paramita Mahastavira mengemukakan munculnya kelompok-kelompok tertentu yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lain sebagai rawan terjadinya perpecahan dan konflik masyarakat.
"Kalau kondisi sekarang, negara, saya kira aman, cuma ada kelompok-kelompok tertentu yang ingin menggantikan ideologi, saya kira itu sangat rawan dan rawan dengan perpecahan dan konflik," katanya
Selama ini, ujarnya di sela pembukaan Bakti Sosial Pengobatan Gratis dalam rangka perayaan Waisak 2017 di Taman Lumbini Candi Borobudur, Pancasila telah mengayomi semua suku, agama, ras, dan golongan di Indonesia.
Ia mengemukakan kesadaran terhadap semboyan "Bhineka Tunggal Ika" membuat Indonesia bersatu.
"Kalau ini telah diganti, saya kira sangat rawan. Oleh karena itu, saya harapkan semua dari manapun bisa melestarikan dan membuat kokohnya Pancasila. Karena ada falsafah luhur Pancasila, sehingga negara kita ini terus tumbuh dan berkembang," kata Biksu Tadisa yang pada puncak Waisak 2017, Kamis (11/5) dini hari, akan menyampaikan renungan di hadapan umat Buddha dari berbagai daerah dan luar negeri, di pelataran Candi Borobudur.
Ia mengharapkan semua kalangan masyarakat menyadari pentingnya kearifan dan memikirkan jauh ke depan tentang kepentingan bersama tentang kemajemukan bangsa Indonesia.
Semua pihak, katanya, harus bisa merangkai perbedaan dalam kehidupan bersama menjadi keindahan dan bisa merangkul keragaman menjadi keunikan.
Pannyavaro Ajak Umat Kendalikan Diri Hadapi Intoleransi
Sabtu, 6 Mei 2017 18:13 WIB
Kepala Wihara Mendut Biksu Sri Pannyavaro Mahathera (kiri) saat pembukaan "Borobudur International Buddhist Conference" di kompleks Taman Wisata Candi Borobudur Kabupaten Magelang. (Ruri Agastya/Humas TWCB).
Pewarta : M. Hari Armoko
Editor :
Copyright © ANTARA 2024