FPI: Perlu Tolok Ukur Kegentingan Memaksa
Minggu, 16 Juli 2017 14:37 WIB
Ketua Advokasi Hukum Front Pembela Islam (FPI) Zainal Abidin Petir, S.Pd., S.H., M.H. (Foto: ANTARAJATENG.COM/dok. pribadi)
Semarang, ANTARA JATENG - Ketua Advokasi Hukum Front Pembela Islam (FPI) Zainal Abidin Petir, S.Pd., S.H., M.H. memandang perlu ada tolok ukur jelas soal kegentingan yang memaksa sebelum Presiden menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).
"Jangan ada kesan bahwa Presiden mengeluarkan perpu karena `tidak puas` dengan sanksi yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas)," kata Petir dalam wawancara dengan Antara di Semarang, Minggu, ketika merespons Perpu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU tentang Ormas.
Dalam perpu itu, disebutkan bahwa UU Ormas mendesak untuk segera dilakukan perubahan karena belum mengatur secara komprehensif mengenai keormasan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga terjadi kekosongan hukum dalam hal penerapan sanksi yang efektif.
Petir mengatakan bahwa Presiden memang berhak menetapkan perpu sebagaimana kentuan dalam konstitusi, Pasal 22 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Namun, ada syaratnya, yakni dalam kondisi kegentingan yang memaksa (vide Pasal 1 Angka 4 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).
Akan tetapi, dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82 Penjelasan atas UU No. 12/2011, pasal itu dinilai cukup jelas atau tidak ada definisi "kegentingan yang memaksa" sehingga perlu ada batasan yang jelas agar tidak mengedepankan subjektivitas.
"Nah, apakah kondisi sekarang sudah sangat genting? Padahal, keberadaan UU No. 17/2013 itu sudah cukup untuk menjatuhkan sanksi kepada ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945," kata Petir.
Ia menekankan, "Sangat bahaya kalau dalam pembuatan undang-undang kepentingan pribadi atau golongan masuk karena UU itu untuk mengatur rakyat supaya tertib dan ada kepastian hukum. Semua harus merasa terlindungi, itu asas pembuatan peraturan-peraturan perundang-undangan."
Setidaknya, menurut Petir, parameter kegentingan adalah adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat. Berikutnya, undang-undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau UU sudah ada tetapi tidak memadai.
Kekosongan hukum, katanya lagi, tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa (jalur legislatif) karena akan memakan waktu yang relatif sangat lama, sementara keadaan sangat mendesak untuk segera diselesaikan.
"Ini era demokrasi, jangan sampai pemerintah justru membungkam ide dan kreativitas rakyat dalam melakukan pengawasan dan kritik membangun," katanya.
Lagi pula, UUD NRI Tahun 1945 Pasal 28 E Ayat (3) memberikan jaminan kepada setiap orang berhak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Begitu pula, lanjut dia, dalam Pasal 24 Ayat (1) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.
"Jangan ada kesan bahwa Presiden mengeluarkan perpu karena `tidak puas` dengan sanksi yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas)," kata Petir dalam wawancara dengan Antara di Semarang, Minggu, ketika merespons Perpu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU tentang Ormas.
Dalam perpu itu, disebutkan bahwa UU Ormas mendesak untuk segera dilakukan perubahan karena belum mengatur secara komprehensif mengenai keormasan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga terjadi kekosongan hukum dalam hal penerapan sanksi yang efektif.
Petir mengatakan bahwa Presiden memang berhak menetapkan perpu sebagaimana kentuan dalam konstitusi, Pasal 22 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Namun, ada syaratnya, yakni dalam kondisi kegentingan yang memaksa (vide Pasal 1 Angka 4 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).
Akan tetapi, dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82 Penjelasan atas UU No. 12/2011, pasal itu dinilai cukup jelas atau tidak ada definisi "kegentingan yang memaksa" sehingga perlu ada batasan yang jelas agar tidak mengedepankan subjektivitas.
"Nah, apakah kondisi sekarang sudah sangat genting? Padahal, keberadaan UU No. 17/2013 itu sudah cukup untuk menjatuhkan sanksi kepada ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945," kata Petir.
Ia menekankan, "Sangat bahaya kalau dalam pembuatan undang-undang kepentingan pribadi atau golongan masuk karena UU itu untuk mengatur rakyat supaya tertib dan ada kepastian hukum. Semua harus merasa terlindungi, itu asas pembuatan peraturan-peraturan perundang-undangan."
Setidaknya, menurut Petir, parameter kegentingan adalah adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat. Berikutnya, undang-undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau UU sudah ada tetapi tidak memadai.
Kekosongan hukum, katanya lagi, tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa (jalur legislatif) karena akan memakan waktu yang relatif sangat lama, sementara keadaan sangat mendesak untuk segera diselesaikan.
"Ini era demokrasi, jangan sampai pemerintah justru membungkam ide dan kreativitas rakyat dalam melakukan pengawasan dan kritik membangun," katanya.
Lagi pula, UUD NRI Tahun 1945 Pasal 28 E Ayat (3) memberikan jaminan kepada setiap orang berhak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Begitu pula, lanjut dia, dalam Pasal 24 Ayat (1) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.
Pewarta : Kliwon
Editor :
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
LPP: Relawan demokrasi berintegritas mampu tingkatkan kehadiran pemilih
15 January 2019 8:25 WIB, 2019
Terpopuler - Hukum dan Kriminal
Lihat Juga
Kos-kosan di Kelurahan Mewek Purbalingga jadi lokasi prostitusi daring, polisi tangkap dua orang
13 November 2024 15:16 WIB