Menilik Utuhnya Keberagaman di Sanggar Raras Moro
Sabtu, 30 September 2017 10:28 WIB
Sejumlah anggota Sanggar Raras Moro yang berasal dari berbagai latar belakang dan agama sedang berlatih karawitan. (Foto: Dokumentasi pribadi Ki Sugeng Suryowongso)
Suara gamelan mengalun disertai tembang-tembang Jawa yang merdu, memecah keheningan malam.
Sekelompok orang terlihat serius dengan bagian alat musik gamelan masing-masing agar alunan nada yang dibuat bisa sesuai.
Itulah yang tampak di sebuah bangunan yang berada persis di lereng perbukitan pada jalur alternatif Kabupaten Semarang dan Kabupaten Temanggung, tepatnya di Dusun Janggleng, Desa Tlogowungu, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Bukan di sebuah gedung kesenian atau pertunjukan, kelompok karawitan itu berlatih di sebuah bangunan sekolah agama Budha milik Yayasan Dhamas Eka.
Jika ditilik lebih seksama, para anggota sanggar yang diberi nama Raras Moro itu bukanlah para anggota yayasan, mereka hanya meminjam tempat untuk bisa berlatih.
Latihan rutin dilakukan setiap Rabu dan Sabtu malam. Terdapat dua kelompok karawitan di bawah asuhan Ki Sugeng Suryowongso.
Sugeng mengatakan, para pegiat seni ini berasal dari berbagai daerah, suku bangsa dan bahkan dari agama yang berbeda.
Terdapat penganut agama Budha, Islam, Kristen, dan Katolik yang bergabung.
Di Dusun Janggleng, keberagaman memang begitu terlihat, bahkan dari sisi jalan raya yang bisa dilihat saat orang melintas.
Memasuki kawasan itu, di kiri jalan terlihat vihara. Tak jauh dari vihara, mungkin hanya beberapa langkah sudah berdiri masjid serta gereja.
Menurut ayah empat anak itu, sudah menjadi kodrat manusia jika harus menyandang suku, golongan, agama, dan bangsa yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Namun, hal itu akan kembali ke manusianya sendiri untuk bisa hidup berdampingan secara damai.
"Jika akarnya sudah kuat, mau digoyahkan seperti apa juga tetap kuat. Seperti itu juga toleransi di sini," kata pria kelahiran 12 Desember 1968 ini.
Kebersamaan antarumat beragama itu, juga terlihat saat hari raya keagamaan di mana para warga akan saling mengunjungi untuk mengucapkan selamat merayakan.
Saat ada kerja bakti di tempat ibadah pun, warga yang berbeda agama dengan sukarela memberikan bantuan, baik berupa makanan maupun tenaga.
Sugeng menceritakan bahwa akar toleransi yang kuat itulah yang membuat alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Agama Budha di Kota Salatiga ini akhirnya membentuk sebuah sanggar kesenian pada tahun 2008.
Menurut dia, nama Raras Moro yang juga nama anak keduanya itu memiliki arti mengajak siapa saja untuk datang, bersama, dan menikmati keindahan seni.
Pria yang bercita-cita menjadi seniman andal itu menuturkan, awal mula mendirikan sanggar ini persis saat dirinya pindah dari Kota Semarang ke Kabupaten Temanggung.
Ketika pindah, ia merasakan ada hal yang berbeda dengan Kecamatan Kaloran, tempatnya kini tinggal.
Dulu, ungkap Sugeng, di kecamatan berhawa sejuk tersebut merupakan sentra berbagai seni budaya, seperti karawitan, srandul, kethoprak, pedalangan hingga tari tradisional Jawa, namun sayangnya hal itu tak lagi dijumpai saat ia kembali.
"Saya lahir di sini, kemudian merantau dan kembali lagi. Jadi sudah lebih dari 20 tahun kesenian di daerah ini mati suri," katanya yang akhirnya memilih mendirikan sanggar seni.
Ia kemudian berkeliling dari pintu ke pintu untuk kembali mengajak siapapun yang peduli dan membangkitkan kejayaaan kesenian.
Bermodal satu set gamelan usang, berdirilah Sanggar Raras Moro yang kini sudah cukup dikenal.
Awalnya, anggota kelompok sanggar ini berlatih dengan meminjam rumah-rumah warga yang mengizinkan untuk menggelar latihan karawitan.
Namun sejak 5 tahun terakhir, para anggota Sanggar Raras Moro mengadakan latihan jadi satu dengan gedung sekolah milik Yayasan Dhamas Eka yang berada persis di bawah tempat tinggal Sugeng.
"Saya pun sudah sampaikan pada petinggi yayasan, bahwa sanggar ini dari berbagai kalangan. Mereka justru menyambut dengan baik dan bahkan banyak memberikan bantuan," paparnya.
Sugeng yang pernah mengajar agama dan kesenian di Medan ini mengatakan, ketika awal sanggar berdiri, dirinya sempat mengajukan proposal ke Kementerian Agama bidang Agama Budha dan mendapatkan bantuan berupa dua set gamelan.
"Kebetulan saya penganut Budha jadi jalurnya dari situ, tapi Alhamdulillahnya, kalau saya boleh meminjam bahasanya umat Muslim, orang-orang yang berada di sanggar tidak mempermasalahkan. Yang penting ada tempat, alat, bisa latihan. Nah, di sinilah seni yang universal itu muncul, tanpa membedakan apapun tapi dengan visi yang sama untuk `nguri-uri` (melestarikan) budaya," katanya.
Kelompok seni dari sanggar yang diasuhnya kini sudah sering manggung di beberapa daerah untuk berbagai acara.
"Pernah juga di undang ke acara di vihara mana gitu, yang bukan penganut Budha juga tidak mempermasalahkannya. Begitu juga sebaliknya. Di sanggar seni kami orang-orangnya memiliki toleransi yang tinggi, tidak mempermasalahkan dan tidak saling mempengaruhi," katanya yang mengaku belajar seni secara otodidak.
Sugeng meyakini, jika mampu menilik lebih dalam, seni sarat pesan moral dan menjadi benteng pertahanan adat timur yang agung.
"Justru kami sangat prihatin melihat maraknya komersialisasi seni. Ada pemahaman yang salah, bahwa seni tak melulu masalah uang, tapi filosofi dan wibawa bangsa," ujarnya.
Dia melanjutkan, meminjam istilah "agung luhuring bongso gumantung kabudayan" (besar dan luhurnya bangsa tergantung kebudayaan).
"Agama tanpa budaya tidak mampu berjalan seimbang, begitu juga sebaliknya. Kalau sudah berbicara seni, kita tidak bisa mencampur adukkan dengan agama. Seni tetaplah seni warisan bangsa," katanya.
Ia mengatakan saat ini tengah mempersiapkan tempat untuk sanggarnya yang merupakan bantuan dari para biksu.
Sanggar nantinya diharapkan bisa juga dipakai oleh anak-anak sehingga kesenian juga bisa ditularkan pada generasi penerus sejak dini.
"Kalau yang anak-anak, sementara memang dari kalangan sendiri karena berada di bawah yayasan. Makanya ini sedang dibuatkan tempat yang lebih bisa untuk semua dari berbagai kalangan, semoga terwujud," harapnya.
Endang (37), warga sekitar, mengakui toleransi di wilayahnya memang terjalin dengan baik.
Hal ini juga bisa dilihat dari pemilihan aparat di kampungnya yang hanya melihat dari kemampuan, bukan dari agama atau suku.
"Di sini damai dari dulu sampai sekarang," tuturnya.
Pada kesempatan berbeda, Wakil Gubernur Jateng Heru Sudjatmoko mengajak semua lapisan masyarakat menjaga kerukunan antarumat beragama dalam keberagaman latar belakang.
"Para pendiri negara memberikan keteladanan bagaimana hidup berbangsa dan bernegara di tengah keberagaman, bersama mewujudkan cita-cita luhur bangsa," katanya.
Menurutnya, NKRI tidak muncul dengan sendirinya, tapi merupakan buah dari perjuangan yang penuh pengorbanan, dan semangat luar biasa.
Meskipun berasal dari berbagai latar belakang agama, ras, suku, budaya, dan daerah, kata dia, para pejuang tetap bersatu dengan tekad membebaskan Indonesia dari penjajahan hingga akhirnya merdeka.
Sekelompok orang terlihat serius dengan bagian alat musik gamelan masing-masing agar alunan nada yang dibuat bisa sesuai.
Itulah yang tampak di sebuah bangunan yang berada persis di lereng perbukitan pada jalur alternatif Kabupaten Semarang dan Kabupaten Temanggung, tepatnya di Dusun Janggleng, Desa Tlogowungu, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Bukan di sebuah gedung kesenian atau pertunjukan, kelompok karawitan itu berlatih di sebuah bangunan sekolah agama Budha milik Yayasan Dhamas Eka.
Jika ditilik lebih seksama, para anggota sanggar yang diberi nama Raras Moro itu bukanlah para anggota yayasan, mereka hanya meminjam tempat untuk bisa berlatih.
Latihan rutin dilakukan setiap Rabu dan Sabtu malam. Terdapat dua kelompok karawitan di bawah asuhan Ki Sugeng Suryowongso.
Sugeng mengatakan, para pegiat seni ini berasal dari berbagai daerah, suku bangsa dan bahkan dari agama yang berbeda.
Terdapat penganut agama Budha, Islam, Kristen, dan Katolik yang bergabung.
Di Dusun Janggleng, keberagaman memang begitu terlihat, bahkan dari sisi jalan raya yang bisa dilihat saat orang melintas.
Memasuki kawasan itu, di kiri jalan terlihat vihara. Tak jauh dari vihara, mungkin hanya beberapa langkah sudah berdiri masjid serta gereja.
Menurut ayah empat anak itu, sudah menjadi kodrat manusia jika harus menyandang suku, golongan, agama, dan bangsa yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Namun, hal itu akan kembali ke manusianya sendiri untuk bisa hidup berdampingan secara damai.
"Jika akarnya sudah kuat, mau digoyahkan seperti apa juga tetap kuat. Seperti itu juga toleransi di sini," kata pria kelahiran 12 Desember 1968 ini.
Kebersamaan antarumat beragama itu, juga terlihat saat hari raya keagamaan di mana para warga akan saling mengunjungi untuk mengucapkan selamat merayakan.
Saat ada kerja bakti di tempat ibadah pun, warga yang berbeda agama dengan sukarela memberikan bantuan, baik berupa makanan maupun tenaga.
Sugeng menceritakan bahwa akar toleransi yang kuat itulah yang membuat alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Agama Budha di Kota Salatiga ini akhirnya membentuk sebuah sanggar kesenian pada tahun 2008.
Menurut dia, nama Raras Moro yang juga nama anak keduanya itu memiliki arti mengajak siapa saja untuk datang, bersama, dan menikmati keindahan seni.
Pria yang bercita-cita menjadi seniman andal itu menuturkan, awal mula mendirikan sanggar ini persis saat dirinya pindah dari Kota Semarang ke Kabupaten Temanggung.
Ketika pindah, ia merasakan ada hal yang berbeda dengan Kecamatan Kaloran, tempatnya kini tinggal.
Dulu, ungkap Sugeng, di kecamatan berhawa sejuk tersebut merupakan sentra berbagai seni budaya, seperti karawitan, srandul, kethoprak, pedalangan hingga tari tradisional Jawa, namun sayangnya hal itu tak lagi dijumpai saat ia kembali.
"Saya lahir di sini, kemudian merantau dan kembali lagi. Jadi sudah lebih dari 20 tahun kesenian di daerah ini mati suri," katanya yang akhirnya memilih mendirikan sanggar seni.
Ia kemudian berkeliling dari pintu ke pintu untuk kembali mengajak siapapun yang peduli dan membangkitkan kejayaaan kesenian.
Bermodal satu set gamelan usang, berdirilah Sanggar Raras Moro yang kini sudah cukup dikenal.
Awalnya, anggota kelompok sanggar ini berlatih dengan meminjam rumah-rumah warga yang mengizinkan untuk menggelar latihan karawitan.
Namun sejak 5 tahun terakhir, para anggota Sanggar Raras Moro mengadakan latihan jadi satu dengan gedung sekolah milik Yayasan Dhamas Eka yang berada persis di bawah tempat tinggal Sugeng.
"Saya pun sudah sampaikan pada petinggi yayasan, bahwa sanggar ini dari berbagai kalangan. Mereka justru menyambut dengan baik dan bahkan banyak memberikan bantuan," paparnya.
Sugeng yang pernah mengajar agama dan kesenian di Medan ini mengatakan, ketika awal sanggar berdiri, dirinya sempat mengajukan proposal ke Kementerian Agama bidang Agama Budha dan mendapatkan bantuan berupa dua set gamelan.
"Kebetulan saya penganut Budha jadi jalurnya dari situ, tapi Alhamdulillahnya, kalau saya boleh meminjam bahasanya umat Muslim, orang-orang yang berada di sanggar tidak mempermasalahkan. Yang penting ada tempat, alat, bisa latihan. Nah, di sinilah seni yang universal itu muncul, tanpa membedakan apapun tapi dengan visi yang sama untuk `nguri-uri` (melestarikan) budaya," katanya.
Kelompok seni dari sanggar yang diasuhnya kini sudah sering manggung di beberapa daerah untuk berbagai acara.
"Pernah juga di undang ke acara di vihara mana gitu, yang bukan penganut Budha juga tidak mempermasalahkannya. Begitu juga sebaliknya. Di sanggar seni kami orang-orangnya memiliki toleransi yang tinggi, tidak mempermasalahkan dan tidak saling mempengaruhi," katanya yang mengaku belajar seni secara otodidak.
Sugeng meyakini, jika mampu menilik lebih dalam, seni sarat pesan moral dan menjadi benteng pertahanan adat timur yang agung.
"Justru kami sangat prihatin melihat maraknya komersialisasi seni. Ada pemahaman yang salah, bahwa seni tak melulu masalah uang, tapi filosofi dan wibawa bangsa," ujarnya.
Dia melanjutkan, meminjam istilah "agung luhuring bongso gumantung kabudayan" (besar dan luhurnya bangsa tergantung kebudayaan).
"Agama tanpa budaya tidak mampu berjalan seimbang, begitu juga sebaliknya. Kalau sudah berbicara seni, kita tidak bisa mencampur adukkan dengan agama. Seni tetaplah seni warisan bangsa," katanya.
Ia mengatakan saat ini tengah mempersiapkan tempat untuk sanggarnya yang merupakan bantuan dari para biksu.
Sanggar nantinya diharapkan bisa juga dipakai oleh anak-anak sehingga kesenian juga bisa ditularkan pada generasi penerus sejak dini.
"Kalau yang anak-anak, sementara memang dari kalangan sendiri karena berada di bawah yayasan. Makanya ini sedang dibuatkan tempat yang lebih bisa untuk semua dari berbagai kalangan, semoga terwujud," harapnya.
Endang (37), warga sekitar, mengakui toleransi di wilayahnya memang terjalin dengan baik.
Hal ini juga bisa dilihat dari pemilihan aparat di kampungnya yang hanya melihat dari kemampuan, bukan dari agama atau suku.
"Di sini damai dari dulu sampai sekarang," tuturnya.
Pada kesempatan berbeda, Wakil Gubernur Jateng Heru Sudjatmoko mengajak semua lapisan masyarakat menjaga kerukunan antarumat beragama dalam keberagaman latar belakang.
"Para pendiri negara memberikan keteladanan bagaimana hidup berbangsa dan bernegara di tengah keberagaman, bersama mewujudkan cita-cita luhur bangsa," katanya.
Menurutnya, NKRI tidak muncul dengan sendirinya, tapi merupakan buah dari perjuangan yang penuh pengorbanan, dan semangat luar biasa.
Meskipun berasal dari berbagai latar belakang agama, ras, suku, budaya, dan daerah, kata dia, para pejuang tetap bersatu dengan tekad membebaskan Indonesia dari penjajahan hingga akhirnya merdeka.
Pewarta : Wisnu Adhi N.
Editor :
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
"Sepenggal Kisah" BPJS Ketenagakerjaan bagi penggali kubur dan pemandi jenazah
22 November 2024 21:06 WIB
Terpopuler - Pumpunan
Lihat Juga
"Sepenggal Kisah" BPJS Ketenagakerjaan bagi penggali kubur dan pemandi jenazah
22 November 2024 21:06 WIB