Semarang, (Antaranews Jateng) - Isu perebutan suara santri kembali menyeruak menyusul dipilihnya Taj Yasin, putra tokoh Partai Persatuan Pembangunan K.H. Maemun Zubair, sebagai pendamping Ganjar Pranowo dalam Pilkada Jawa Tengah 2018.

Dari kubu Gerindra, PAN, PKS, dan PKB juga sepakat mengusung Ida Fauziyah, politikus PKB, untuk mendampingi Sudirman Said yang sejak awal memang diplot untuk menantang jago dari PDI Perjuangan.

Pilkada Jateng pada 27 Juni 2018 memang bakal berlangsung "head to head" antara Ganjar-Yasin dengan Sudirman-Fauziyah. Kedua pasangan ini meracik citra representasi nasionalis sebagai bakal cagub dengan santri, tepatnya NU, sebagai bakal cawagub.

Penetapan Gus Yasin dan Ida Fauziyah sebagai calon wagub tentu tidak bisa dilepaskan dari kalkulasi potensi yang bisa didulang dari suara kaum santri, yang dalam hal ini direpresentasikan sebagai warga Nahdhiyin.

Jawa Tengah selain dikenal sebagai kantong nasionalis, juga menjadi lumbung suara bagi partai-partai Islam (PPP, PKS) dan partai berbasis massa Islam, seperti PKB dan PAN. Perolehan suara keempat partai dari pemilu ke pemilu sepanjang Orde Reformasi menunjukkan masih eksisnya suara kaum santri.

Di Jawa Tengah perolehan suara PPP dan PKB dari pemilu ke pemilu sejak era Reformasi memang banyak disumbang warga Nahdhiyin. Fakta ini bisa dipahami karena PPP merupakan hasil fusi partai Islam, termasuk NU, sedangkan PKB kelahirannya dibidani oleh NU.

Hasil Pemilu 2014 menunjukkan perolehan suara PKB di Jateng mencapai 2.305.444 suara, sedangkan PPP tercatat 1.151.753 suara.

Bila perolehan suara ini digabung, jumlahnya cukup signifikan untuk menopang perolehan suara yang dihasilkan dari partai-partai pendukung Sudirman Said (Gerindra, PKS, PAN, dan PKB) maupun Ganjar (PDIP, Golkar, Nasdem, Demokrat, PPP).

Begitu pula perolehan suara PKS dan PAN, dua partai yang sering diidentifikasi sebagai partai "santri" perkotaan, perolehannya juga cukup lumayan dari pemilu ke pemilu. PAN pada Pemilu 2014 meraih 1.208.202 suara, sedangkan PKS sebanyak 1.076.518 suara.

Namun, pemilu legislatif berbeda dengan pilpres atau pilkada. Banyak survei menunjukkan afiliasi politik seseorang tidak otomatis segaris dengan calon presiden atau calon kepala daerah yang diusung oleh partai.

Artinya, lazim terjadi seseorang dari pemilu ke pemilu memilih partai yang sama, namun ketika pilpres atau pilkada, mereka mencoblos sosok usungan partai lain.

Survei Saiful Mujani Reseach and Consulting (SMRC) menunjukkan keterkaitan pemilih dengan partai relatif rendah, sekitar 11 persen. "Hanya 11 persen pemilih yang memiliki kedekatan dengan partai yang dipilihnya," kata Direktur Utama SMRC Djayadi Hanan, Selasa (2/1).

Politikus Partai Golkar Nusron Wahid juga menyatakan belakangan ini sekat ideologis antarpartai kian mencair. "Yang lebih mengemuka adalah kepentingan pragmatis. Misalnya, dukungan partai pada pilkada kali ini ditujukan untuk kepentingan Pilpres maupun Pemilu 2019," katanya dalam Indonesia Lawyer Club, Selasa (9/1).

Oleh karena itu, sepanjang politik uang dan politik identitas beraroma SARA bisa diberangus hingga ke titik terendah, preferensi pemilih pada pilkada serentak 2018 bakal lebih banyak ditentukan oleh sosok calon beserta jejak rekam kinerjanya selama ini.

Bila calon tersebut merupakan petahana maka faktor kinerja selama menjabat akan memiliki pengaruh besar terhadap pemilih rasional yang tidak menempatkan coblosannya berdasarkan kedekatan ideologisnya dengan partai.

Sementara itu, bagi kandidat yang jejak rekamnya belum banyak diketahui publik, calon beserta partai pendukung harus bekerja lebih keras lagi untuk menunjukkan segala kelebihannya kepada pemilih.

Selain itu, mesin politik harus bekerja efektif untuk memastikan konstituennya memilih calon yang sama dengan sosok usungan partai.

PDIP pada Pilgub Jateng 2013 memang sangat percaya diri karena hanya mengandalkan duet sesama nasionalis, bukan meraciknya dengan wakil dari santri.

Melalui mesin politik partai hingga akar rumput dan didukung pemilih muda, PDIP berhasil memenangkan Ganjar Pranowo. Padahal, kala itu Ganjar kalah populer dibanding petahana Bibit Waluyo.

Namun di luar bekerjanya mesin partai, sosok Ganjar yang kala itu masih relatif muda (45 tahun), cakap bermain media sosial, dan keren, kala itu ia memang berhasil mendapat suara cukup banyak dari pemilih pemula dan pemilih muda.

Gen Z
Pemilih pemula yang lahir tahun 2000 (Generasi Z) dan Generasi Milenial yang berkelimpahan informasi di zaman digital ini memiliki lebih banyak referensi untuk memutuskan secara independen pilihan politiknya. Pilihan mereka tidak harus sewarna dengan pilihan politik orang tua sebagaimana generasi sebelumnya.

Data Badan Pusat Statistisk menunjukkan jumlah penduduk di Jateng berusia 15-34 tahun (2016) tercatat 5.605.075 orang. Jumlah ini setara dengan 80 persen suara kemenangan yang diraih Gajar Pranowo-Heru Sudjatmoko pada Pilgub Jateng 2013 yang mengumpulkan 6.962.417 suara.

Melihat sebaran kursi di DPRD Jateng, kubu Ganjar-Yasin jauh lebih perkasa karena PDIP, Demokrat, Golkar, dan PPP memiliki 58 kursi, sedangkan Sudirman-Ida yang dijagokan Gerindra, PKB, PKS, dan PAN sebanyak 42 kursi.

Hasil Pemilu 2014 juga menunjukkan gabungan suara pengusung Ganjar-Yasin (PDIP, Golkar, Demokrat, PPP, Nasdem) sebanyak 10.100.488 suara. Sementara itu, empat partai pendukung Sudirman-Ida (PKB, Gerindra, PKS, dan PAN) mengumpulkan 6.553.244 suara.

Dengan modal besar seperti itu, duet Ganjar-Yasin memang memiliki peluang besar untuk menang, apalagi posisi Ganjar sebagai petahana.

Sebagai "incumbent", Ganjar lebih diuntungkan karena selain memang lebih dikenal oleh publik, kinerjanya selama 4 tahun lebih memimpin Jateng jelas bisa dilihat, dinilai, dan diukur oleh pemilih.

Salah satu masalah yang masih menjadi "slilit" (remah di sela gigi) bagi Ganjar adalah terus disebutkan namanya dalam kasus gigakorupsi KTP elektronik kendati dengan alibinya yang meyakinkan, ia membantah pernah menerima suap dalam kasus tersebut.

Namun, politik tetap politik. Ia sangat dinamis. Pengolahan isu yang tepat dan terhormat, bisa saja memberi tambahan dukungan bagi Sudirman-Ida.

Di luar hal tersebut, Sudirman-Ida harus bisa merebut suara dari Gen Y dan Gen Z, generasi yang relatif tidak terlalu tersekat oleh kedekatan ideologi partai, tapi memiliki pilihan politik yang lebih independen.

Sekat desa dan kota, yang di zaman dulu sekaligus menjadi sekat kemelekan informasi, kian memudar karena mereka bisa mengakses informasi dari mana saja.

Ini menjadi tugas partai-partai pengusung untuk meyakinkan bahwa duet Sudirman-Ida lebih gemilang dibandingkan dengan petahana.

Tidak mudah, memang. Namun politik memang seni meraih kemenangan, sekecil apa pun peluang itu.

 (Editor: Masruki Astro)