LPP PWI Jateng: Perpu Pilkada belum perlu
Sabtu, 17 Maret 2018 6:58 WIB
Ketua LPP PWI Provinsi Jateng Zainal Abidin Petir, S.Pd., S.H., M.H. (Foto:ANTARAJATENG.COM/Kliwon)
Semarang (Antaranews Jateng) - Lembaga Pemantau Pemilu (LPP) PWI Provinsi Jawa Tengah menilai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Pemilihan Kepala Daerah belum perlu karena persyaratan subjektif dan objektif penetapan perpu tidak terpenuhi.
"Persyaratan subjektif ada di dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945," kata Ketua LPP PWI Provinsi Jateng Zaenal Abidin Petir menjawab pertanyaan Antara di Semarang, Sabtu pagi, ketika merespons pernyataan Ketua KPK RI Agus Rahardjo yang mengusulkan agar Pemerintah menerbitkan perpu untuk pilkada.
UUD NRI 1945 Pasal 22 Ayat (1) berbunyi: "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang."
Adapun ukuran objektif kegentingan, menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, kata Petir, ada tiga syarat: pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.
Syarat ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Ketika merespons bahwa munculnya usulan itu terkait dengan permintaan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto kepada KPK untuk menunda pengumuman mengenai calon kepala daerah dalam Pilkada 2018 yang menjadi tersangka kasus korupsi, Petir mengaskan bahwa KPK adalah lembaga independen yang tidak bisa dan tidak boleh diintervensi.
Ia lantas menyebutkan UU 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 3 UU tersebut menyatakan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
"Apalagi, sekelas Wiranto selaku pembantu presiden. Wong Presiden saja tidak boleh melakukan intervensi kepada KPK," kata Petir.
Ia menegaskan, "Kalau Wiranto 'ngotot' minta penundaan pengumuman tersangka, berarti telah melakukan obstruction of justice (perbuatan yang menghalang-halangi proses penegakan hukum)."
Menurut dia, siapa pun yang melakukan hal itu terancam hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun, sebagimana diatur Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tetang Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Persyaratan subjektif ada di dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945," kata Ketua LPP PWI Provinsi Jateng Zaenal Abidin Petir menjawab pertanyaan Antara di Semarang, Sabtu pagi, ketika merespons pernyataan Ketua KPK RI Agus Rahardjo yang mengusulkan agar Pemerintah menerbitkan perpu untuk pilkada.
UUD NRI 1945 Pasal 22 Ayat (1) berbunyi: "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang."
Adapun ukuran objektif kegentingan, menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, kata Petir, ada tiga syarat: pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.
Syarat ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Ketika merespons bahwa munculnya usulan itu terkait dengan permintaan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto kepada KPK untuk menunda pengumuman mengenai calon kepala daerah dalam Pilkada 2018 yang menjadi tersangka kasus korupsi, Petir mengaskan bahwa KPK adalah lembaga independen yang tidak bisa dan tidak boleh diintervensi.
Ia lantas menyebutkan UU 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 3 UU tersebut menyatakan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
"Apalagi, sekelas Wiranto selaku pembantu presiden. Wong Presiden saja tidak boleh melakukan intervensi kepada KPK," kata Petir.
Ia menegaskan, "Kalau Wiranto 'ngotot' minta penundaan pengumuman tersangka, berarti telah melakukan obstruction of justice (perbuatan yang menghalang-halangi proses penegakan hukum)."
Menurut dia, siapa pun yang melakukan hal itu terancam hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun, sebagimana diatur Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tetang Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pewarta : Kliwon
Editor : D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024