Phapros kembangkan produk herbal baru
Selasa, 15 Oktober 2019 18:57 WIB
PT Phapros Tbk (ANTARA FOTO/R. Rekotomo)
Semarang (ANTARA) - PT Phapros Tbk yang merupakan anak usaha dari PT Kimia Farma (Persero) terus berupaya menambah portofolio produknya guna memenuhi kebutuhan masyarakat, salah satunya melalui pengembangan produk-produk herbal.
"Produk herbal menjadi tren di tengah masyarakat. Apalagi produk herbal dikenal dengan khasiatnya, yang tak kalah dengan obat-obatan kimia,” kata Direktur Utama PT Phapros Tbk Barokah Sri Utami dalam siaran pers yang diterima di Semarang, Selasa.
Produk herbal yang dikembangkan oleh Phapros, kata dia, yakni antikolesterol dan antidiabetes.
Produk herbal dipilih karena mempunyai pangsa pasar yang cukup besar dan mampu tumbuh hingga lima persen dalam kurun waktu 10 tahun ke depan.
“Kategorisasi produk herbal di Indonesia sendiri terbagi menjadi tiga, yakni jamu, obat herbal terstandar, dan yang tertinggi dan telah lulus uji klinis adalah fitofarmaka. Saat ini, dua dari tujuh produk fitofarmaka di Indonesia dimiliki oleh Phapros, yakni Tensigard dan X-Gra, dan kami berharap produk herbal kami yang lain ke depannya akan menambah jumlah fitofarmaka di Indonesia,” kata Emmy, panggilan akrab Sri Utami itu.
Ia menjelaskan butuh waktu lama dan biaya yang tidak sedikit bagi perusahaan farmasi untuk mengembangkan produk fitofarmaka karena penelitian fitofarmaka harus melewati penelitian yang panjang dan teruji secara klinis dari sisi keamanan dan khasiat,
“Termasuk membandingkan khasiatnya dengan obat kimia agar diketahui profil terapinya yang tepat bagi pasien. Inilah alasannya jumlah produk fitofarmaka sangat sedikit di Indonesia, padahal fitofarmaka lebih unggul dari sisi keamanan dibanding obat kimia karena menggunakan bahan baku alam dan telah teruji secara empiris penggunaannya secara turun temurun,” kata dia.
Untuk mendorong percepatan pengembangan industri fitofarmaka di Indonesia, Emmy menilai dukungan pemerintah sudah sangat baik, terlebih saat ini sudah ada Formularium Obat Herbal dan pembentukan Satuan Tugas Nasional (Satgas) Percepatan Pengembangan dan Pemanfaatan Jamu dan Fitofarmaka yang diinisiasi BPOM RI yang terdiri atas intas sektor terkait.
Pembentukan satgas tersebut merupakan salah satu upaya perwujudan kebijakan hilirisasi untuk mendukung akses dan ketersediaan obat nasional dan pada saatnya akan berperan dalam Jaminan Kesehatan Nasional.
“Pemerintah melalui BPOM RI saat ini juga terus melakukan pendampingan penelitian, percepatan evaluasi dokumen penelitian, uji prakilnik dan klinik, 'workshop', bimbingan teknis, serta konsultasi dan advokasi sebagai upaya untuk mendorong pengembangan industri obat berbahan herbal termasuk di dalamnya ada jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka” katanya.
"Produk herbal menjadi tren di tengah masyarakat. Apalagi produk herbal dikenal dengan khasiatnya, yang tak kalah dengan obat-obatan kimia,” kata Direktur Utama PT Phapros Tbk Barokah Sri Utami dalam siaran pers yang diterima di Semarang, Selasa.
Produk herbal yang dikembangkan oleh Phapros, kata dia, yakni antikolesterol dan antidiabetes.
Produk herbal dipilih karena mempunyai pangsa pasar yang cukup besar dan mampu tumbuh hingga lima persen dalam kurun waktu 10 tahun ke depan.
“Kategorisasi produk herbal di Indonesia sendiri terbagi menjadi tiga, yakni jamu, obat herbal terstandar, dan yang tertinggi dan telah lulus uji klinis adalah fitofarmaka. Saat ini, dua dari tujuh produk fitofarmaka di Indonesia dimiliki oleh Phapros, yakni Tensigard dan X-Gra, dan kami berharap produk herbal kami yang lain ke depannya akan menambah jumlah fitofarmaka di Indonesia,” kata Emmy, panggilan akrab Sri Utami itu.
Ia menjelaskan butuh waktu lama dan biaya yang tidak sedikit bagi perusahaan farmasi untuk mengembangkan produk fitofarmaka karena penelitian fitofarmaka harus melewati penelitian yang panjang dan teruji secara klinis dari sisi keamanan dan khasiat,
“Termasuk membandingkan khasiatnya dengan obat kimia agar diketahui profil terapinya yang tepat bagi pasien. Inilah alasannya jumlah produk fitofarmaka sangat sedikit di Indonesia, padahal fitofarmaka lebih unggul dari sisi keamanan dibanding obat kimia karena menggunakan bahan baku alam dan telah teruji secara empiris penggunaannya secara turun temurun,” kata dia.
Untuk mendorong percepatan pengembangan industri fitofarmaka di Indonesia, Emmy menilai dukungan pemerintah sudah sangat baik, terlebih saat ini sudah ada Formularium Obat Herbal dan pembentukan Satuan Tugas Nasional (Satgas) Percepatan Pengembangan dan Pemanfaatan Jamu dan Fitofarmaka yang diinisiasi BPOM RI yang terdiri atas intas sektor terkait.
Pembentukan satgas tersebut merupakan salah satu upaya perwujudan kebijakan hilirisasi untuk mendukung akses dan ketersediaan obat nasional dan pada saatnya akan berperan dalam Jaminan Kesehatan Nasional.
“Pemerintah melalui BPOM RI saat ini juga terus melakukan pendampingan penelitian, percepatan evaluasi dokumen penelitian, uji prakilnik dan klinik, 'workshop', bimbingan teknis, serta konsultasi dan advokasi sebagai upaya untuk mendorong pengembangan industri obat berbahan herbal termasuk di dalamnya ada jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka” katanya.
Pewarta : Nur Istibsaroh
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024