Tidak ada pikiran lain di benak Kolonel (Penerbang) Eko Adi Nugroho saat mendapatkan misi pemulangan sejumlah warga negara Indonesia dari Wuhan, kecuali menjalankannya dengan sepenuh jiwa.
Sebagai seorang militer tentu penugasan ke daerah episentrum virus corono jenis baru yang sampai saat ini sudah membunuh lebih dari seribu orang itu harus dilakukan dengan cermat dan penuh kehati-hatian.
Apalagi Wuhan dan beberapa kota lain di Provinsi Hubei telah dinyatakan sebagai daerah tertutup sejak 23 Januari 2020 sehingga misi itu tidak main-main karena yang dihadapinya bukan musuh bersenjata melainkan virus yang tak kasatmata.
Eko yang baru satu tahun menjabat Atase TNI Angkatan Udara di Kedutaan Besar RI di Beijing mulai menjalankan misi kemanusiaan tersebut pada 31 Januari 2020 subuh.
Bersama dengan tiga orang lainnya dari KBRI Beijing, yakni Arianto Surojo (Koordinator Fungsi Penerangan Sosial Budaya), Budi Atyasa, dan Victory Trimulia Gani (keduanya dari Protokol dan Kekonsuleran), Eko mendarat dengan selamat di Bandar Udara Internasional Huanghua di Kota Changsha, Provinsi Hunan, pada siang harinya, disambut oleh Lambang Andri Prabawa yang juga dari Protkons KBRI Beijing yang lebih dulu tiba.
Huanghua merupakan bandara terdekat dari Wuhan yang masih beroperasi disamping juga Hunan tetangga provinsi dengan Hubei.
Mereka masih harus melanjutkan perjalanan darat selama tiga jam menuju perbatasan Hunan dan Hubei.
Dalam krisis corona ini, masing-masing pemerintah daerah di China menutup akses kendaraan antarprovinsi, terlebih Provinsi Hubei sebagai sarang corona telah menerapkan kebijakan itu sejak beberapa pekan yang lalu.
"Kendaraan yang kami sewa dari Changsha sudah tidak boleh masuk ke wilayah Provinsi Hubei sehingga kami harus menyewa kendaraan lagi," kata Eko yang mantan pilot helikopter Super Puma milik TNI-AU itu.
Baca juga: WHO tegskan Indonesia mampu deteksi virus novel corona 2019
Setelah kendaraan penjemput tiba di Xindian, pintu perbatasan Hunan-Hubei, maka tim aju yang beranggotakan lima orang dari KBRI Beijing itu bisa masuk Wuhan.
Sementara bus yang disewa secara khusus oleh KBRI Beijing sudah bergerak menyisir tempat-tempat di mana warga negara Indonesia berkumpul.
Mengingat titik lokasi kumpul terpencar dan bahkan ada yang jaraknya ratusan kilometer antartitik itu, maka butuh waktu yang cukup lama untuk membawa para WNI ke Bandara Internasional Tianhe di pinggiran Kota Wuhan.
Di bandara yang sudah tidak didarati pesawat komersial lagi sejak 23 Januari itu sudah menunggu pesawat Batik Air yang dicarter oleh pemerintah Indonesia khusus untuk memulangkan para WNI dari Wuhan itu.
Pendataan WNI, penyedia konsumsi, dan pengatur keberangkatan pesawat makin menjadi tugas yang tidak boleh dikesampingkan Tim Lima selain tugas utamanya mengoordinasikan, bernegosiasi, dan mengatur teknis penjemputan yang harus rampung dalam waktu kurang dari 24 jam itu.
Maka tidaklah heran, jika Tim Lima merupakan orang terakhir yang memasuki pesawat Airbus A330-300 yang bertolak dari Wuhan menuju Batam pada 1 Februari 2020 menjelang subuh.
Sedih
Arianto Surojo tak bisa menyembunyikan kesedihannya saat melapor kepada Duta Besar RI untuk China Djauhari Oratmangun di Beijing pada menit-menit akhir sebelum pesawat milik maskapai penerbangan Lion Group tersebut meninggalkan Wuhan.
Sedih dan menyesal campur aduk dalam kondisi fisik dan psikis yang sangat melelahkan itu.
Tiga mahasiswa asal Indonesia terpaksa tidak bisa bergabung dengan 238 WNI lainnya yang menumpang pesawat khusus itu setelah gagal dalam tes kesehatan tahap akhir.
Ketiga pria nahas itu bukan hanya ketinggalan pesawat, melainkan sudah kehilangan kesempatan meninggalkan kota yang sedang bersusah payah menghadapi penyakit menular dan mematikan itu.
Kegagalan mereka dipicu oleh suhu tubuh yang tiba-tiba naik sehingga tidak memenuhi protokol kesehatan internasional yang mensyaratkan standar di bawah 38 derajat Celcius bagi seseorang yang diizinkan meninggalkan wilayah endemik.
Sayangnya, saat suhu tubuh ketiganya kembali normal, pesawat yang ditumpangi oleh rekan-rekannya itu sudah tidak mungkin lagi kembali ke landasan.
"Kami mesti menaati protokol itu karena sudah tercantum dalam kesepakatan bersama yang kami tandatangani dengan FAO (Kantor Urusan Luar Negeri) Provinsi Hubei," ucap Dubes lirih.
Indonesia terbilang lancar dan tanpa kendala dalam memulangkan para WNI itu. Terkait dengan kegagalan ketiga mahasiswa itu, Indonesia tidak sendiri. India dan Singapura juga mendapati hal yang sama.
Justru kalau dipaksakan, maka bukan tidak mungkin peristiwa tiga warga negara Jepang dinyatakan positif 2019-nCoV saat dipulangkan dari Wuhan akan terjadi.
Oleh sebab itu, Dubes Djauhari mengajak semua pihak berpikir jernih dalam menyikapi batal terbangnya ketiga mahasiswa Indonesia tersebut.
Apalagi ketiganya juga dinyatakan bebas dari paparan virus corona dan telah dikembalikan ke asrama kampusnya tanpa harus melalui perawatan secara intensif.
Dengan batalnya ketiga mahasiswa Indonesia itu, maka di Provinsi Hubei terdapat tujuh WNI yang masih tertinggal dan semuanya dalam keadaan sehat wal afiat.
Empat orang di antara mereka memang sejak awal menolak dipulangkan hingga menunggu situasi di Provinsi Hubei benar-benar pulih.
Tim Lima tidak hanya berjuang memulangkan para WNI, melainkan juga mengorbankan dirinya untuk dikarantina bersama 238 WNI lainnya di kompleks Pangkalan TNI-AU Raden Sadjad Ranai, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, selama 14 hari.
"Alhamdulillah kondisi kami sehat semua. Kalau menurut perhitungan seharusnya Sabtu (15/2) depan, kami sudah boleh pulang," kata Kolonel Eko saat mengabarkan kondisi Tim Lima melalui sambungan telepon kepada ANTARA, Senin (10/2).
Baca juga: Sejumlah warga Arab di Wuhan siap jadi relawan