Semarang (ANTARA) - Penanganan wabah COVID-19 skala dunia termasuk di Indonesia harus komprehensif, tidak bisa hanya jangka pendek yang hanya terfokus pada penanggulangan aspek kesehatan dan ekonomi.

Demikian benang merah yang mengemuka dalam dialog interaktif bertema Peran Ulama-Umaro dalam Mengatasi Dampak COVID-19, di Studio TVKU Semarang, Senin (4/5/2020).

Dialog menampilkan narasumber Ketua PP Masjid Agung Jawa Tengah Prof Dr KH Noor Achmad MA dan Wakil Ketua Umum MUI Jawa Tengah Prof Dr KH Ahmad Rofiq MA, dengan moderator Fitri Kholilla.

Desain ke depan terutama strategi menata dunia baru pasca-COVID-19, menurut kedua narasumber tersebut, membutuhkan pemikiran-pemikiran besar dari berbagai aspek.

Konsep-konsep Islam yang rahmatan lil alamin sangat ideal untuk ditawarkan, sebagaimana epistimologi yang dikemukakan Ibnu Rusyd, Ibnu Shina, Al Ghazali, dan lainnya yang saat itu konsep dan pemikirannya dapat menguasai dunia.

Termasuk pemulihan di bidang ekonomi dan peradaban baru pasca-COVID-19 ini, menurut dua narasumber tersebut, penataannya membutuhkan waktu panjang.

Bila desain komprehensifnya belum menjangkau tatanan baru ini, menurut dua narasumber tersebut, dikhawatirkan keterpurukan di berbagai aspek akan berkepanjangan.

Prof Noor Achmad memberi gambaran dampak COVID-19 di Amerika Serikat yang menewaskan 70 ribu orang dan memorakporandakan ekonomi negara itu sehingga puluhan juta rakyat menganggur.

Akan tetapi Wuhan, Tiongkok sebagai pemicu awal COVID-19, katanya, kondisinya cepat pulih hanya butuh 2 bulan, disusul Vietnam.

Perbedaan itu lebih disebabkan cara penanganan antara yang tegas dan tidak tegas.

Ketaatan masyarakat terhadap social dan phisical distancing hingga penerapan lockdown, kata Noor Achmad, menjadi kunci. Lockdown ini konsep Islam, sebagaimana Hadist Nabi tentang Wabah, masa wabah hanya sekitar 50 hari.

Bagi yang berada di daerah wabah tidak boleh keluar daerah dan yang dari luar tidak tidak boleh masuk.

“Hadist ini intinya memerintahkan lockdown seperti yang dilaksanakan di Wuhan. Terlihat konsep Rasul cukup dahsyat dalam tatanan kesehatan dunia yang borderless (nirbatas) secara daring tapi batasan fisik tetap ada. Demikian juga di bidang politik, ekonomi, dan lainnya,” tegasnya.

Ditegaskan, epistimologi para ilmuwan Islam selama ini tidak pernah bicara eksklusif, parsial, atomik, spesifik, tapi inklusif, komprehensif, holistik dan universal sebagai konsep kaffah, rahmatan lil alamin yang dibawa Nabi Akhir Zaman, khatamul anbiya wal mursalin.

Belum lagi bicara penanganan paceklik, Nabi Yusuf sukses mengatasinya, yakni selama 7 tahun menyiapkan bahan pangan untuk menghadapi tujuh tahun paceklik.

“Konsep ini juga dapat diterapkan pemerintah termasuk kalangan pengusaha di Indonesia,” paparnya.

Diamankan

Prof Rofiq juga menyampaikan hal senada dengan Prof Noor Achmad. Menurutnya, di tengah wabah COVID-19 ini, sektor ekonomi harus diamankan dan diselamatkan.

Langkah yang dilakukan pemerintah sudah bagus, namun realitasnya masih banyak keluhan masyarakat yang butuh bantuan pangan. Meski ada jaring pengaman sosial namun masih banyak masyarakat terdampak yang belum tersentuh bantuan.

Pemerintah diharapkan memiliki data konkret terdampak COVID-19 sehingga tidak perlu meminta RT dan RW. Kebijakan melarang mudik namun belum menguatkan jaringan pengaman sosial sebagai hal berbahaya.

“Mereka yang terdampak COVID-19 dapat melakukan apa saja untuk mempertahankan kehidupan diri dan keluarga,” tegasnya.

Prof Rofiq memberi contoh, zaman Khalifah Umar Bin Khattab ketika terjadi paceklik ada sejumlah orang mencuri 7 unta, setelah diinvestigasi ternyata para pelaku sudah berhari-hari tidak makan. Maka keadaan ini dijadikan alat pemaaf untuk tidak dijatuhi hukuman tegas berupa potong tangan.

Pertimbangannya Khalifah Umar, lanjut Prof Rofiq, menyelamatkan manusia agar tidak mati kelaparan lebih didahulukan daripada menegakkan aturan.

Maka, pemimpin harus bertanggung jawab ketika menjumpai ada warga yang tidak punya penghasilan selama wabah COVID-19 ini.

Apalagi di tengah kerinduan masyarakat terhadap masjid untuk bisa shalat Jumat dan tarawih, masyarakat masih memerlukan sentuhan pemahaman.

Masih banyak masyarakat yang memahami imbauan untuk berjamaah di rumah ini lewat pendekatan normatif tekstual, bukan kontekstual. Bahwa dalam konteks COVID-19 ini, menyelamatkan manusia harus didahulukan dari kepentingan agama, demikian Ahmad Rofiq. ***