Semarang (ANTARA) - Aksi massa di tengah pandemik COVID-19 bukanlah satu-satunya jalan untuk menolak Undang-Undang Cipta Kerja. Masih banyak jalan untuk menganulir UU Ciptaker yang pembentukannya menggunakan metode omnibus law.

Bagi yang keberatan, bisa mengajukan permohonan judicial review (JR) atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga tinggi negara inilah yang akan menguji apakah UU ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau tidak.

Hal itu sudah diatur di dalam Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana yang telah diubah dengan UU No.15/2019.

Wacana berkembang di tengah aksi massa pada hari Kamis (8/10) adalah peraturan pemerintah pengganti undang–undang (singkatan atau akronimnya sesuai dengan Lampiran II nomor 10 dan 239 UU No. 12/2011 adalah perpu, bukan perppu).

Dalam Lampiran II UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Nomor 158 disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.

Ditegaskan pula dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 5 Ayat (1) bahwa Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Baca juga: Mahfud MD: Pemerintah proses hukum aktor tunggangi aksi anarkis tolak UU Cipta Kerja

Setidaknya ada dua jalan untuk merevisi atau menganulir UU Ciptaker. Masalahnya, jika mengubah UU Ciptaker melalui DPR (legislative review), prosesnya panjang, mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan (vide Pasal 1 Angka 1 UU No.12/2011).

Namun, pengajuan permohonan uji materi UU Ciptaker terhadap UUD NRI Tahun 1945 ke MK setelah UU tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Apakah Presiden RI Joko Widodo sudah mengesahkan RUU Ciptaker menjadi undang-undang? Hal ini mengingat UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 72 Ayat (2) mengamanatkan pimpinan DPR menyampaikan RUU itu kepada Presiden dalam jangka waktu paling lama 7 hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama, atau selambat-lambatnya pada hari Senin (12/10).

Selanjutnya, RUU tersebut disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, atau selambat-lambatnya pada hari Rabu (4/11).

Jika tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak rancangan undang-undang itu disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan (vide Pasal 73 Ayat 2).

Versi draf

Ketika berupa naskah akademik nama rancangan undang-undang ini "RUU Cipta Lapangan Kerja". Setelah melalui pembahasan di DPR RI, sejak 20 April hingga 3 Oktober 2020, namanya berubah menjadi "RUU Cipta Kerja".

Badan Legislasi DPR RI bersama Pemerintah dan DPD RI, kata Ketua Baleg Supratman Andi Agtas, telah melaksanakan rapat sebanyak 64 kali terdiri atas 2 kali rapat kerja, 56 kali rapat panja, dan 6 kali rapat tim perumus (timus)/tim penyusun (timsin).

Draf RUU yang beredar di tengah masyarakat melalui media sosial pun beraneka ragam. Pasalnya, masih ada yang mempersoalkan peniadaan upah minimum kabupaten/kota (UMK).

Berdasarkan file "RUU Cipta Kerja" bunyi Pasal 88C Ayat (1): Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman; Ayat (2) upah minimum sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) merupakan upah minimum provinsi (UMP). Dalam dokumen ini UMK dihapus.

Setelah tanggal 3 Oktober atau berdasarkan nama dokumen "UU Cipta Kerja FINAL - Paripurna", UMK tetap ada.

Pasal 88C Ayat (1): Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi; (2) Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu; (3) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan.

Selanjutnya, Ayat (4) Syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) meliputi pertumbuhan ekonomi daerah dan inflasi pada kabupaten/kota yang bersangkutan; Ayat (5) Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus lebih tinggi dari upah minimum provinsi.

Baca juga: Menaker: UU Cipta Kerja tidak hilangkan hak cuti

Ayat (6) Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) menggunakan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.

Ayat (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) dan syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada Ayat (4) diatur dengan peraturan pemerintah.

Itu salah contoh perbedaan antara dua draf. Hal lainnya, draf yang diparipurnakan terdiri atas 15 bab dan 186 pasal, sedangkan draf sebelumnya berisi 15 bab dan 174 pasal.

Sebelum disetujui RUU Ciptaker menjadi UU, seluruh fraksi telah menyampaikan pandangannya, yaitu enam fraksi menyatakan setuju, Fraksi PAN memberikan catatan, serta Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS yang menyatakan menolak persetujuan RUU Ciptaker menjadi UU .

Selain itu, dikeluarkannya tujuh UU dari draf yang diparipurnakan, yaitu UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers; UU No. 20/2003 tentang Pendidikan Nasional; UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen; UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi; UU No. 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran; UU No. 4/2019 tentang Kebidanan; dan UU No. 20/2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian.

Jika mengacu pada draf terakhir, sebenarnya apa yang menjadi keberatan pekerja/buruh telah diakomodasi oleh pembuat undang-undang. Namun, untuk lebih pastinya, sebaiknya menunggu setelah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, baru menentukan langkah berikutnya.

Karena belum ada kepastian, seyogianya semua pihak menahan diri. Kalaupun konten-nya sesuai dengan draf terakhir, masih ada opsi lain, yakni perpu.

Jika Presiden berencana menerbitkan perpu untuk mencabut atau mengubah sejumlah pasal dalam UU Ciptaker, alangkah baiknya membentuk tim yang bertugas mengakomodasi keinginan semua pemangku kepentingan yang terkait dengan ketentuan di dalam undang-undang tersebut.

Jangan sampai hal-hal yang belum jelas menjadi acuan untuk bertindak, apalagi sampai merusak fasilitas umum dan mobil dinas serta menyebabkan kedua belah pihak (pedemo dan aparat) luka-luka, seperti aksi massa di sejumlah kota di Tanah Air pada hari Kamis (8/10).

Di lain pihak, aksi massa juga berpotensi terjadi kerumunan yang menimbulkan klaster (cluster) baru penularan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).