Aktivis perempuan: Jangan asal pidanakan korban perkosaan lakukan aborsi
Kamis, 24 Juni 2021 15:56 WIB
Aktivis perempuan Tri Wuryaningsih. ANTARA/Dokumentasi Pribadi
Purwokerto (ANTARA) - Salah seorang aktivis perempuan di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Tri Wuryaningsih mengharapkan korban perkosaan yang menggugurkan kandungannya jangan sampai dipidanakan selama aborsi itu dilakukan sesuai dengan ketentuan.
"Di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pun sebetulnya diperbolehkan menggugurkan kandungan hasil perkosaan," katanya di Purwokerto, Kamis.
Dia mengatakan hal itu terkait dengan polemik sejumlah rumusan pasal dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang mengatur masalah aborsi.
Baca juga: Eva Sundari: Pasal "pro life" RUU KUHP harus berlaku pula bagi perempuan
Menurut dia, perkosaan merupakan sesuatu yang tidak diinginkan dan bisa menimbulkan trauma yang berkepanjangan.
"Bahkan jika tidak ditangani, traumanya seumur hidup," kata mantan Ketua Pelaksana Pusat Pelayanan Terpadu Penanganan dan Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (PPT-PKBGA) Kabupaten Banyumas.
Saat ini, PPT-PKBGA tidak lagi menangani kasus-kasus berbasis gender dan anak karena Pemerintah Kabupaten Banyumas telah membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak yang berada di bawah Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPKBP3A) Kabupaten Banyumas.
Lebih lanjut, Triwur (panggilan akrab Tri Wuryaningsih, red.) mengatakan dalam Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan terdapat kententuan yang memperbolehkan aborsi bagi korban perkosaan, sedangkan ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
Dalam hal ini, tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Selain itu, kata dia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan fatwa yang memperbolehkan aborsi bagi kehamilan korban perkosaan asalkan usia kandungannya kurang dari 40 hari serta ditetapkan oleh tim yang berwenang seperti keluarga, dokter, dan ulama.
"Aborsi akibat perkosaan itu boleh dilakukan apabila usia kandungannya kurang dari enam minggu (40 hari, red.). Kalau lebih dari enam minggu, tidak boleh," katanya menegaskan.
Ia mengaku saat PPT-PKBGA masih aktif, pihaknya pernah mendampingi seorang anak berusia 16 tahun yang hamil akibat perkosaan namun yang bersangkutan terlambat melaporkan, sehingga usia kandungannya lebih dari enam minggu.
Dengan demikian, kata dia, anak yang menjadi korban perkosaan itu tidak bisa menggugurkan kandungannya dan dokter pun tidak berani melakukannya.
Ia mengatakan anak tersebut memaksa untuk menggugurkan kandungannya dan beberapa kali mencoba bunuh diri karena setiap kali ingat kandungannya yang bersangkutan teringat kasus perkosaan itu.
Akan tetapi, lanjut dia, anak tersebut tetap tidak bisa melakukan aborsi karena usia kandungannya sudah lebih dari enam minggu.
"Dalam kasus perkosaan seperti itu, diperbolehkan (melakukan aborsi) tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang lain," kata dosen Sosiologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto itu.
Kendati demikian, dia mengatakan tidak setiap orang bisa dengan mudah menggugurkan kandungannya dengan mengaku sebagai korban perkosaan karena harus menjalani serangkaian pemeriksaan agar dinyatakan yang bersangkutan betul-betul sebagai korban tindak pidana perkosaan.
Baca juga: Dokter terlibat aborsi ilegal meninggal akibat COVID-19
"Di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pun sebetulnya diperbolehkan menggugurkan kandungan hasil perkosaan," katanya di Purwokerto, Kamis.
Dia mengatakan hal itu terkait dengan polemik sejumlah rumusan pasal dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang mengatur masalah aborsi.
Baca juga: Eva Sundari: Pasal "pro life" RUU KUHP harus berlaku pula bagi perempuan
Menurut dia, perkosaan merupakan sesuatu yang tidak diinginkan dan bisa menimbulkan trauma yang berkepanjangan.
"Bahkan jika tidak ditangani, traumanya seumur hidup," kata mantan Ketua Pelaksana Pusat Pelayanan Terpadu Penanganan dan Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (PPT-PKBGA) Kabupaten Banyumas.
Saat ini, PPT-PKBGA tidak lagi menangani kasus-kasus berbasis gender dan anak karena Pemerintah Kabupaten Banyumas telah membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak yang berada di bawah Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPKBP3A) Kabupaten Banyumas.
Lebih lanjut, Triwur (panggilan akrab Tri Wuryaningsih, red.) mengatakan dalam Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan terdapat kententuan yang memperbolehkan aborsi bagi korban perkosaan, sedangkan ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
Dalam hal ini, tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Selain itu, kata dia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan fatwa yang memperbolehkan aborsi bagi kehamilan korban perkosaan asalkan usia kandungannya kurang dari 40 hari serta ditetapkan oleh tim yang berwenang seperti keluarga, dokter, dan ulama.
"Aborsi akibat perkosaan itu boleh dilakukan apabila usia kandungannya kurang dari enam minggu (40 hari, red.). Kalau lebih dari enam minggu, tidak boleh," katanya menegaskan.
Ia mengaku saat PPT-PKBGA masih aktif, pihaknya pernah mendampingi seorang anak berusia 16 tahun yang hamil akibat perkosaan namun yang bersangkutan terlambat melaporkan, sehingga usia kandungannya lebih dari enam minggu.
Dengan demikian, kata dia, anak yang menjadi korban perkosaan itu tidak bisa menggugurkan kandungannya dan dokter pun tidak berani melakukannya.
Ia mengatakan anak tersebut memaksa untuk menggugurkan kandungannya dan beberapa kali mencoba bunuh diri karena setiap kali ingat kandungannya yang bersangkutan teringat kasus perkosaan itu.
Akan tetapi, lanjut dia, anak tersebut tetap tidak bisa melakukan aborsi karena usia kandungannya sudah lebih dari enam minggu.
"Dalam kasus perkosaan seperti itu, diperbolehkan (melakukan aborsi) tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang lain," kata dosen Sosiologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto itu.
Kendati demikian, dia mengatakan tidak setiap orang bisa dengan mudah menggugurkan kandungannya dengan mengaku sebagai korban perkosaan karena harus menjalani serangkaian pemeriksaan agar dinyatakan yang bersangkutan betul-betul sebagai korban tindak pidana perkosaan.
Baca juga: Dokter terlibat aborsi ilegal meninggal akibat COVID-19
Pewarta : Sumarwoto
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Anggota LSM pelaku pemerasan di kasus pemerkosaan di Brebes ditangkap
20 January 2023 13:31 WIB, 2023
Pakar hukum Unsoed: Hukuman mati terhadap Herry Wirawan penuhi rasa keadilan
05 April 2022 13:33 WIB, 2022
Polda Jateng tidak temukan bukti perkosaan laporan perempuan Boyolali
24 January 2022 22:01 WIB, 2022
Tujuh remaja pemerkosa anak ditangkap, korban dicekoki obat dosis tinggi hingga tak sadarkan diri
23 July 2020 13:09 WIB, 2020
Kepolisian Las Vegas minta sampel DNA Ronaldo terkait dugaan perkosaan
11 January 2019 11:24 WIB, 2019
Terpopuler - Hukum dan Kriminal
Lihat Juga
Kemenkumham Jateng dampingi pemeriksaan indikasi geografis Kopi Arabika Java Semarang
16 December 2024 7:30 WIB