Beijing (ANTARA) - Tidak seperti biasanya Jalan Raya Niujie pada pagi yang tersaput awan kelabu itu macet, padahal hari belum memasuki jam sibuk kerja.

Beberapa petugas keamanan berseragam hitam-hitam sibuk memasang pagar barikade di jalan raya empat lajur itu.

Dua lajur yang mengarah ke Masjid Niujie ditutup. Pos pemeriksaan yang dilengkapi dengan alat pendeteksi logam, pemindai suhu tubuh, dan barkode kartu kesehatan didirikan di kedua ujung akses menuju masjid tertua dan terbesar di Kota Beijing, China itu.

Selain petugas keamanan, ada juga personel pengamanan swakarsa (Baoan) dan tentu saja tenaga sukarelawan dari Partai Komunis China (CPC).

"Apa tujuan Anda ke sini?" tanya seorang petugas keamanan kepada ANTARA di pos pemeriksaan sebelah utara pintu gerbang Masjid Niujie, Selasa (20/7).

"Tunggu di sini dulu," pinta petugas berpakaian hitam-hitam di pos pemeriksaan itu.

"Ada orang dari Indonesia. Dia mau ikut acara ini. Bagaimana?" ujarnya saat berkomunikasi melalui handy talky dengan seorang rekannya.

Seorang pria paruh baya dengan kamera DSLR yang dibawanya juga tidak luput dari pengawasan petugas di pos pemeriksaan itu. "Setiap tahun saya datang ke sini," ujar pria itu dengan nada agak tinggi ketika ditanya petugas keamanan.

Tidak semua yang datang ke Masjid Niujie imenunaikan shalat Idul Adha. Bahkan saat ANTARA memasuki kompleks masjid yang dibangun pada tahun 996 Masehi atau era Dinasti Liao, sudah banyak orang di sana. Beberapa di antaranya tidak berkopiah, bergerombol di lorong sisi selatan masjid, sedangkan yang berkopiah lebih memilih duduk-duduk di bangku panjang di halaman masjid.

Jarum jam telah menunjuk angka 7, namun pintu bangunan utama masjid masih tertutup. Memang tidak terkunci, namun di dalam masjid utama itu tidak ada orang.

Tepat pukul 08.00 waktu setempat (07.00 WIB), beberapa imam, pengurus Masjid Niujie, dan pengurus Asosiasi Islam China (CIA) berkumpul di halaman gerbang utama sebelah selatan. CIA memang bermarkas di Niujie.

Mereka berdiri di bawah bendera nasional China, persis seperti sedang melaksanakan upacara karena dua di antara imam-imam itu bertugas mengerek bendera mengiringi lagu kebangsaan "Yiyongjun Jinxingqu". Upacara bendera itu menjadi penanda dimulainya rangkaian shalat Id.

Sejurus kemudian, alunan kitab suci mulai diperdengarkan di dalam masjid. Bangunan utama masjid yang tadinya kosong berangsur penuh oleh jamaah yang datang secara bergelombang.

Setengah jam kemudian sekelompok imam berjubah putih dan imamah sewarna berbaris melewati karpet merah yang terbentang dari serambi menuju mihrab atau pengimaman.

Bangunan utama masjid yang pernah dikunjungi Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2000 dan Presiden Joko Widodo pada tahun 2017 itu mampu menampung 1.000 orang.

Namun jumlah jamaah shalat Idul Adha pada pagi itu melebihi daya tampung masjid yang berada di kawasan permukiman terbesar etnis minoritas Muslim Hui di Beijing itu. Jamaah pun meluber hingga ke halaman yang diapit oleh bangunan utama dan tiga menara berbentuk mirip kuil. Para pertugas keamaan dan tenaga sukarelawan bersiaga di jalan raya depan Masjid Niujie, Beijing, China, untuk mengamankan jalannya shalat Idul Adha, Selasa (20/7/2021). Shalat Idul Adha di Masjid Niujie diikuti sekitar 1.000 umat Islam yang mayoritas beretnis Hui. ANTARA FOTO/M. Irfan Ilmie/


Tanpa takbiran, tanpa kurban

Gema takbir dan tahmid sama sekali tidak terdengar di setiap momen dua hari raya terbesar bagi umat Islam di China.

Inilah yang membedakan Idul Fitri dan Idul Adha di China dengan di berbagai belahan dunia lainnya. Apalagi dengan di Indonesia, di mana takbir dan tahmid sudah berkumandang sehari menjelang hari raya.

Alunan kitab suci Alquran yang diperdengarkan di Masjid Niujie selama sekitar 30 menit hingga masuknya para imam itu menggantikan gema takbir dan tahmid.

Satu di antara imam kemudian menyampaikan tausiyah dalam bahasa Mandarin tentang fadilah (keutamaan) dan hikmah Idul Adha yang lebih menekankan pada keteladanan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, shalat Id pun dimulai.

Kaifiyah atau tata cara shalat Id di China berbeda dengan di Indonesia pada umumnya. Takbir tiga kali sambil mengangkat kedua tangan dibaca setelah takbiratul ihram pada rakaat pertama.

Perbedaan lainnya adalah pada rakaat kedua yang tidak diawali dengan takbir lima kali seperti di Indonesia, melainkan takbir tiga kali sambil mengangkat tangan menjelang ruku'.

Saat shalat Id berlangsung tidak ada lagi jarak antarmakmum, sama dengan situasi sebelum pandemi COVID-19. Kalau ada jamaah yang lalai mengenakan masker pun tidak ada yang mengingatkannya.

Antusiasme umat Islam di China merayakan Idul Adha pada pagi hari itu terwakili oleh pemandangan shalat Id di masjid-masjid yang penuh sesak oleh jamaah.

Pembacaan dua khutbah berbahasa Arab dan doa bersama menjadi penutup rangkaian Hari Raya Idul Adha di Masjid Niujie.

Asosiasi Islam China (CIA) dalam laman resminya, Selasa (20/7), memperkirakan 13 juta umat Islam setempat merayakan Idul Adha yang memang semaraknya lebih besar daripada Idul Fitri.

Hanya saja pada tahun ini tidak ada ritual pemotongan binatang kurban seperti Idul Adha sebelum pandemi. Halaman belakang Masjid Niujie yang luas pada pagi hari itu sangat sepi.

Kontras dengan pemandangan Idul Adha dua tahun lalu yang banyak dijumpai sapi dan domba sebagai salah satu daya tarik tersendiri bagi umat Islam yang menunaikan shalat Id di masjid yang berada di Distrik Xicheng itu.

"Masjid-masjid diharapkan mempersingkat durasi kegiatan, mengurangi waktu berkumpul jemaah, dan membimbing umat agar selalu bersikap patriotis, mencintai agamanya, bersikap rasional dan moderat."

Maklumat dari CIA Kota Beijing itulah yang menjadi dasar ditiadakannya ritual pemotongan hewan kurban yang sudah mentradisi secara turun-temurun di Masjid Niujie.