Ekonom sebut RAPBN 2022 langkah normalkan fiskal
Selasa, 17 Agustus 2021 12:01 WIB
Dokumentasi. Tangkapan layar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Konferensi Pers Nota Keuangan dan RUU APBN 2022 secara daring di Jakarta, Senin (16/8/2021). ANTARA/AstridFaidlatulHabibah
Jakarta (ANTARA) - Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro menyatakan kombinasi dari target pajak yang agresif dan pemotongan belanja yang substansial dalam RAPBN 2022 merupakan langkah untuk menormalkan bentuk fiskal.
“Ini berarti ada niat yang lebih kuat untuk menormalkan bentuk fiskal yang terpukul oleh krisis ekonomi COVID-19,” katanya di Jakarta, Selasa.
Belanja negara dalam RAPBN 2022 yang ditetapkan sebesar Rp2.708,7 triliun lebih rendah dibandingkan tahun ini yakni mencapai Rp2.750 triliun.
Belanja negara ini di antaranya meliputi belanja pemerintah pusat Rp1.938,3 triliun serta Transfer ke Daerah dan Dana Desa Rp770,4 triliun.
Untuk pendapatan negara dalam RAPBN 2022 ditargetkan sebesar Rp1.840,7 triliun meliputi penerimaan perpajakan Rp1.506,9 triliun dan Pendapatan Negara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp333,2 triliun.
Target penerimaan perpajakan yang sebesar Rp1.506,9 triliun lebih tinggi dibandingkan tahun ini yaitu hanya Rp1.444,6 triliun meliputi pajak Rp1.229,6 triliun serta bea dan cukai Rp215 triliun.
Dengan adanya target belanja dan pendapatan negara ini maka defisit turun menjadi Rp868 triliun atau 4,85 persen dari PDB 2022 yang lebih rendah dibanding perkiraan tahun ini Rp961,5 triliun atau 5,82 persen dari PDB.
Satria menjelaskan penurunan defisit dilakukan untuk mengantisipasi risiko terkait pembiayaan eksternal karena likuiditas global diproyeksikan mengetat pada 2022 seiring perkiraan mundurnya stimulus moneter dan potensi kenaikan suku bunga AS.
Ini juga mengakibatkan pemerintah mengasumsikan imbal hasil obligasi rupiah 10 tahun akan berada di level 6,82 persen tahun depan atau lebih tinggi dari 6,32 persen saat ini.
Selain itu, sinyal pengetatan fiskal turut terlihat dalam usulan APBN 2022 yang menargetkan pemungutan PPN mencapai Rp552,3 triliun atau 10,06 persen lebih tinggi dibandingkan tahun ini.
Kemudian juga pajak bumi dan bangunan diperkirakan mencapai Rp18,4 triliun atau 24,3 persen lebih tinggi serta cukai ditargetkan melebihi Rp203,9 triliun atau 11,92 persen lebih tinggi.
Di sisi lain, Satria menegaskan pengetatan fiskal dalam rangka normalisasi terutama dengan memotong pagu belanja kementerian tahun depan akan berdampak pada pembangunan infrastruktur.
Ia menjelaskan belanja kementerian yang 11,2 persen lebih rendah menjadi Rp940,6 triliun dapat mempengaruhi proyek infrastruktur karena anggaran Kementerian PUPR akan 22,9 persen lebih rendah menjadi Rp100,6 triliun.
Menariknya, pemotongan anggaran tersebut luput dari perhatian aparat keamanan seperti Kementerian Pertahanan dan Polri yang masing-masing anggarannya ditetapkan 13,3 persen dan 14,6 persen atau Rp118,2 triliun dan Rp96,9 triliun.
“Ini berarti ada niat yang lebih kuat untuk menormalkan bentuk fiskal yang terpukul oleh krisis ekonomi COVID-19,” katanya di Jakarta, Selasa.
Belanja negara dalam RAPBN 2022 yang ditetapkan sebesar Rp2.708,7 triliun lebih rendah dibandingkan tahun ini yakni mencapai Rp2.750 triliun.
Belanja negara ini di antaranya meliputi belanja pemerintah pusat Rp1.938,3 triliun serta Transfer ke Daerah dan Dana Desa Rp770,4 triliun.
Untuk pendapatan negara dalam RAPBN 2022 ditargetkan sebesar Rp1.840,7 triliun meliputi penerimaan perpajakan Rp1.506,9 triliun dan Pendapatan Negara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp333,2 triliun.
Target penerimaan perpajakan yang sebesar Rp1.506,9 triliun lebih tinggi dibandingkan tahun ini yaitu hanya Rp1.444,6 triliun meliputi pajak Rp1.229,6 triliun serta bea dan cukai Rp215 triliun.
Dengan adanya target belanja dan pendapatan negara ini maka defisit turun menjadi Rp868 triliun atau 4,85 persen dari PDB 2022 yang lebih rendah dibanding perkiraan tahun ini Rp961,5 triliun atau 5,82 persen dari PDB.
Satria menjelaskan penurunan defisit dilakukan untuk mengantisipasi risiko terkait pembiayaan eksternal karena likuiditas global diproyeksikan mengetat pada 2022 seiring perkiraan mundurnya stimulus moneter dan potensi kenaikan suku bunga AS.
Ini juga mengakibatkan pemerintah mengasumsikan imbal hasil obligasi rupiah 10 tahun akan berada di level 6,82 persen tahun depan atau lebih tinggi dari 6,32 persen saat ini.
Selain itu, sinyal pengetatan fiskal turut terlihat dalam usulan APBN 2022 yang menargetkan pemungutan PPN mencapai Rp552,3 triliun atau 10,06 persen lebih tinggi dibandingkan tahun ini.
Kemudian juga pajak bumi dan bangunan diperkirakan mencapai Rp18,4 triliun atau 24,3 persen lebih tinggi serta cukai ditargetkan melebihi Rp203,9 triliun atau 11,92 persen lebih tinggi.
Di sisi lain, Satria menegaskan pengetatan fiskal dalam rangka normalisasi terutama dengan memotong pagu belanja kementerian tahun depan akan berdampak pada pembangunan infrastruktur.
Ia menjelaskan belanja kementerian yang 11,2 persen lebih rendah menjadi Rp940,6 triliun dapat mempengaruhi proyek infrastruktur karena anggaran Kementerian PUPR akan 22,9 persen lebih rendah menjadi Rp100,6 triliun.
Menariknya, pemotongan anggaran tersebut luput dari perhatian aparat keamanan seperti Kementerian Pertahanan dan Polri yang masing-masing anggarannya ditetapkan 13,3 persen dan 14,6 persen atau Rp118,2 triliun dan Rp96,9 triliun.
Pewarta : Astrid Faidlatul Habibah
Editor : Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Banggar DPR RI akui semua anggaran terkena "refocusing" penanganan COVID
26 August 2021 13:54 WIB, 2021
Sosiolog Unsoed: Pesan Presiden untuk saling peduli harus menjadi perhatian
16 August 2021 14:30 WIB, 2021
Menkeu pastikan lanjutkan reformasi perpajakan wujudkan sistem sehat dan adil
20 May 2021 14:30 WIB, 2021
Alokasi RAPBN 2021 harus diikuti kesiapan birokrasi untuk merealisasikannya
17 August 2020 21:13 WIB, 2020
Sri Mulyani: Pertumbuhan ekonomi RI bisa positif asal penanganan wabah efektif
28 July 2020 13:45 WIB, 2020