Jakarta (ANTARA) - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) fokus meningkatkan nilai tambah manufaktur (Manufacturing Value Added/MVA) di Indonesia sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara agar terus menjadi basis produksi terbesar di kawasan tersebut.

Dengan MVA mencapai 281 miliar dolar AS, Indonesia unggul dibanding negara-negara ASEAN (asosiasi negara-negara di Asia Tenggara) lainnya, dan Indonesia telah mampu menggeser ekonominya menjadi manufactured based.

“Berbagai langkah dilakukan Kemenperin untuk meningkatkan nilai tambah di sektor industri, antara lain mendorong hilirisasi, substitusi impor, dan menjadikan industri di Tanah Air sebagai bagian rantai pasok global,” ujar Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif di Jakarta, Minggu.

Ia mengatakan peningkatan nilai tambah industri dapat menciptakan multiplier effect, antara lain penyerapan tenaga kerja, devisa ekspor, serta meningkatkan kontribusi terhadap pajak dan cukai.

Apalagi, lanjutnya, Indonesia dikenal memiliki keunggulan komparatif berupa sumber daya alam (SDA), juga potensi sumber daya manusia (SDM) produktif yang terampil, sehingga mampu meningkatkan daya saing produksi dalam negeri.

“Kekuatan ekonomi Indonesia terletak pada pasar domestik yang besar, dengan tetap berorientasi ekspor. Ini yang membedakan dengan negara lain di ASEAN, seperti Singapura atau Vietnam,” ujar Febri.

Dengan skala ekonomi yang lebih besar, serta jenis industri yang lebih beragam, MVA Indonesia lebih unggul dibanding negara ASEAN lainnya, seperti Thailand (1,23 miliar dolar), Malaysia (81,19 juta dolar), atau Vietnam (41,7 juta dolar).

“Apalagi, di antara negara-negara di ASEAN, Indonesia merupakan satu-satunya yang masuk dalam G20. Ini menandakan Indonesia telah menjadi salah satu ekonomi terbesar di dunia,” kata Febri.

Pada 2022, Indonesia akan menjadi Presiden G20 sekaligus tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20.

Dalam presidensi G20 tahun 2022, isu prioritas bidang industri yang diangkat adalah akselerasi industri 4.0 untuk industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan.

“Hal ini juga untuk mendukung pemulihan ekonomi global akibat pandemi,” kata Jubir Kemenperin itu.

Lebih jauh ia mengatakan keunggulan komparatif membuat manufaktur RI menonjol seperti pada industri pengolahan kayu dan furnitur.

Ekspor produk furnitur (HS 9401-9403) di tahun 2020 mengalami peningkatan 7,6 persen menjadi 1,91 miliar dolar dibanding tahun 2019 senilai 1.77 miliar dolae.

Hal ini membuat Indonesia masuk jajaran eksportir produk-produk funitur besar seperti China, Jerman, Polandia, Italia, dan Vietnam. Adapun negara-negara tujuan ekspor terbesar furnitur Indonesia tahun 2020 adalah Amerika Serikat, Jepang, Belanda, Belgia, dan Jerman.

Selain itu di sektor otomotif, Indonesia memiliki target sebagai ekspor hub kendaraan bermotor, baik untuk kendaraan berbasis bahan bakar minyak maupun kendaraan listrik.

“Saat ini sudah ada peta jalan pengembangan kendaraan listrik yang meliputi rencana pengembangan industri komponen utama EV berupa baterai, motor listrik dan inverter,” ujar Febri.

Selanjutnya, Kemenperin juga fokus memberdayakan industri kecil dan menengah (IKM) agar bisa lebih produktif, berdaya saing, dan menjadi bagian dari rantai pasok global.

“Hal ini bertujuan untuk meningkatkan nilai ekspor nasional dan mendukung program substitusi impor,” kataFebri.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah IKM mencapai 4,41 juta unit usaha, yang menyerap tenaga kerja sebanyak 15,64 juta orang. IKM mampu berkontribusi terhadap pertumbuhan industri non-migas sebesar 21,22 persen, dengan sektor yang paling dominan adalah makanan dan minuman, fesyen, dan kerajinan.

Beberapa program yang dijalankan Kemenperin untuk IKM meliputi pengembangan ekosistem rantai pasok seperti link and match serta kemitraan dengan industri besar dan BUMN. Selain itu, membangun ekosistem digital dengan mendorong IKM masuk ke platform marketplaces, serta fasilitas sertifikasi TKDN agar IKM dapat terlibat dalam pengadaan barang/jasa pemerintah dan BUMN.