Jakarta (ANTARA) - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim mengatakan Permendikbudristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) bertujuan memenuhi hak setiap warga atas pendidikan yang aman.
“Permendikbudristek PPKS adalah salah satu upaya untuk pemenuhan hak pendidikan setiap WNI atas pendidikan tinggi yang aman,” ujar Nadiem dalam peluncuran Merdeka Belajar episode 14 : Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual yang dipantau di Jakarta, Jumat.
Selanjutnya, Permendikbudristek itu bertujuan untuk melakukan penanggulangan kekerasan seksual dengan pendekatan inkonstitusional dan berkelanjutan. Hal itu dikarenakan substansi Permendikudristek itu memberikan kepastian hukum bagi pemimpin perguruan tinggi untuk mengambil langkah tegas.
Nadiem menambahkan saat ini belum ada payung hukum yang jelas bagi kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus. Sehingga kadang kala, pemimpin perguruan tinggi kesulitan mengambil langkah tegas.
Kemudian, peningkatan pengetahuan tentang kekerasan seksual. Seluruh kampus di Indonesia menjadi semakin teredukasi tentang isu dan hak korban kekerasan seksual.
Tujuan terakhirnya adalah penguatan kolaborasi antara Kemendikbudristek dan perguruan tinggi. Semangat kolaboratif antara kementerian dan kampus-kampus dalam menciptakan budaya akademik yang sehat dan aman semakin kuat.
“Sasaran Permendikbudristek ini adalah mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, warga kampus, dan masyarakat umum yang berinteraksi dengan mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan dalam pelaksanaan Tridharma,” terang dia.
Nadiem menambahkan dalam Permendikbudristek area abu-abu dihilangkan dan aturan itu menegaskan tindakan yang perlu dipahami sebagai kekerasan seksual diantaranya verbal, non fisik, fisik, dan teknologi informasi dan komunikasi.
“Inovasi dalam Permendikbudristek ini, apa permutasi dalam kekerasan seksual yang fisik, nonfisik, verbal, dan melalui teknologi informasi dan komunikasi. Kadang dianggap sepele, tapi dampak psikologisnya sama. Kategorisasinya sesuai dengan standar Komnas Perempuan, UNICEF dan WHO,” terang dia.
Dalam aturan tersebut disebutkan kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan atau menyerang tubuh, dan atau fungsi reproduksi seorang karena ketimpangan relasi kuasa yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis, dan atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan, reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi yang aman dan optimal.
Peraturan tersebut juga merinci bentuk tindakan dengan konsekuensi sanksi administratif diantaranya menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan atau identitas gender korban, memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja tanpa persetujuan korban, menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon dan atau yang bernuansa seksual pada korban, menatap korban dengan tatapan seksual dan atau tidak nyaman, mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio dan atau video bernuansa seksual pada korban meskipun sudah dilarang korban.
Berikutnya mengambil, merekam dan atau mengedarkan foto dan atau rekaman audio dan atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban, mengunggah foto tubuh dan atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban, dan lainnya.
Sejumlah kalangan menilai klausul "tanpa persetujuan" dalam Permendikbudristek perlu direvisi karena menimbulkan persepsi bahwa bila ada persetujuan maka sikap dan tindakan-tindakan mengarah aktivitas seksual menjadi legal.