Pakar ungkap kemiripan COVID-19 India dan RI sebab kasus melandai
Selasa, 16 November 2021 17:15 WIB
Guru Besar Paru Fakultas Ilmu Kedokteran UI Prof Tjandra Yoga Aditama. ANTARA/Andi Firdaus
Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Profesor Tjandra Yoga Aditama mengungkapkan kemiripan pola transmisi COVID-19 yang terjadi di India dan Indonesia yang menyebabkan kasus di kedua negara padat penduduk ini melandai.
Ia menduga fenomena tersebut karena hampir seluruh warganya sudah terinfeksi oleh virus corona.
Prof Tjandra dalam webinar bertema "Libur Natal dan Tahun Baru dan Varian Baru Strategi Cegah Gelombang ke-3 Pandemi COVID-19" yang dipantau di Jakarta, Selasa, mengungkapkan bahwa India melakukan penelitian tes antibodi COVID-19 bagi warga India di dua kota besar, yakni New Delhi sebagai Ibu Kota Negara dan Mumbai sebagai pusat industri.
"Di New Delhi itu baru keluar hasil penelitian tes antibodi, yang hasilnya masyarakat 90 persen positif, walaupun hasilnya belum dipublikasikan resmi di jurnal internasional, tapi 90 persen positif. Kemudian yang di Mumbai 86 persen positif," kata Tjandra.
Tjandra menganalisis bahwa terinfeksinya hampir seluruh masyarakat di dua kota besar tersebut sebagai salah satu faktor bagaimana India berhasil menekan laju infeksi COVID-19 dengan sangat signifikan dan cepat, serta kasus yang terus melandai hingga saat ini.
Tjandra yang pernah menetap di India selama menjabat sebagai Direktur WHO mengemukakan bahwa pola lonjakan kasus COVID-19 dan menurunnya kasus setelahnya diikuti dengan melandainya kasus COVID-19 di India memiliki pola yang sama dengan yang terjadi di Indonesia.
Indonesia memiliki lonjakan kasus yang sangat tinggi pada pertengahan tahun 2021, kemudian kasus menurun secara sistematis dalam dua bulan setelahnya dan bertahan melandai di bawah 1000 kasus per hari sejak 15 Oktober hingga hari ini, atau telah bertahan selama sebulan penuh.
Kendati demikian, Tjandra menekankan bahwa seluruh dunia masih dilanda ketidakpastian terkait pandemi COVID-19 yang hampir 2 tahun ini.
Dia menerangkan bahwa COVID-19 baru berumur dua tahun dan masih banyak informasi yang perlu digali lebih dalam oleh para peneliti untuk bisa melakukan pencegahan dan pengendalian lebih tepat.
Dia membandingkan dengan penyakit-penyakit berbahaya lain yang usianya sudah puluhan hingga ratusan tahun cenderung bisa dikendalikan melalui tata cara pencegahan dan penanganan yang adekuat (memadai) karena sudah memiliki informasi mengenai penyakit tersebut.
Ia menduga fenomena tersebut karena hampir seluruh warganya sudah terinfeksi oleh virus corona.
Prof Tjandra dalam webinar bertema "Libur Natal dan Tahun Baru dan Varian Baru Strategi Cegah Gelombang ke-3 Pandemi COVID-19" yang dipantau di Jakarta, Selasa, mengungkapkan bahwa India melakukan penelitian tes antibodi COVID-19 bagi warga India di dua kota besar, yakni New Delhi sebagai Ibu Kota Negara dan Mumbai sebagai pusat industri.
"Di New Delhi itu baru keluar hasil penelitian tes antibodi, yang hasilnya masyarakat 90 persen positif, walaupun hasilnya belum dipublikasikan resmi di jurnal internasional, tapi 90 persen positif. Kemudian yang di Mumbai 86 persen positif," kata Tjandra.
Tjandra menganalisis bahwa terinfeksinya hampir seluruh masyarakat di dua kota besar tersebut sebagai salah satu faktor bagaimana India berhasil menekan laju infeksi COVID-19 dengan sangat signifikan dan cepat, serta kasus yang terus melandai hingga saat ini.
Tjandra yang pernah menetap di India selama menjabat sebagai Direktur WHO mengemukakan bahwa pola lonjakan kasus COVID-19 dan menurunnya kasus setelahnya diikuti dengan melandainya kasus COVID-19 di India memiliki pola yang sama dengan yang terjadi di Indonesia.
Indonesia memiliki lonjakan kasus yang sangat tinggi pada pertengahan tahun 2021, kemudian kasus menurun secara sistematis dalam dua bulan setelahnya dan bertahan melandai di bawah 1000 kasus per hari sejak 15 Oktober hingga hari ini, atau telah bertahan selama sebulan penuh.
Kendati demikian, Tjandra menekankan bahwa seluruh dunia masih dilanda ketidakpastian terkait pandemi COVID-19 yang hampir 2 tahun ini.
Dia menerangkan bahwa COVID-19 baru berumur dua tahun dan masih banyak informasi yang perlu digali lebih dalam oleh para peneliti untuk bisa melakukan pencegahan dan pengendalian lebih tepat.
Dia membandingkan dengan penyakit-penyakit berbahaya lain yang usianya sudah puluhan hingga ratusan tahun cenderung bisa dikendalikan melalui tata cara pencegahan dan penanganan yang adekuat (memadai) karena sudah memiliki informasi mengenai penyakit tersebut.
Pewarta : Aditya Ramadhan
Editor : Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
IAI Banyumas imbau obat sirop ditarik sesuai edaran BPOM, Yoga akui merugi
21 October 2022 14:26 WIB, 2022
Polda Jateng periksa Wakil Ketua DPRD Kota Tegal karena gelar konser dangdut
25 September 2020 4:49 WIB, 2020