Kudus (ANTARA) - Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPN APTRI) menilai kenaikan harga jual gula di pasaran saat ini hanya menguntungkan pedagang, sedangkan petani tebu tidak ikut menikmati karena terjadi bukan saat musim giling.

"Harapannya, terjadi kenaikan harga jual gula tani saat musim giling sehingga petani ikut menikmatinya," kata Sekjen DPN APTRI M. Nur Khabsyin di Kudus, Selasa.

Ia berharap impor gula juga dibatasi agar saat musim giling tidak berdampak pada harga gula petani.

Rencana impor gula tahun 2022, kata dia, berkisar 1,1 juta ton, sedangkan kebutuhan konsumsinya per bulan sekitar 230.000 ton. Sehingga selama lima bulan kebutuhan gula nasional sekitar 1 juta ton karena bulan Mei 2022 sudah memasuki musim giling.

Sementara sisa stok gula tahun lalu, kata dia, berkisar 1 juta ton, sehingga impor gula seharusnya dibatasi 300-an ton saja, karena Mei 2022 sudah mulai giling tebu untuk menghasilkan gula putih.

"Jika impor gula masuknya telat, bisa berimbas pada petani karena saat ini belum semua alokasi gula masuk ke Indonesia," ujarnya.

Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani tebu, dia mendesak pemerintah segera merevisi acuan harga pokok pembelian (HPP) karena sudah enam tahun tidak naik.

Ia mengungkapkan bahwa HPP gula tani sebesar Rp9.100/kilogram saat ini sudah jauh di bawah biaya pokok produksi (BPP) yang kini sudah berkisar pada angka Rp11.000 per kilogram. Idealnya HPP harus berada di atas BPP agar petani tebu bisa merasakan keuntungan.

"APTRI merekomendasikan ke pemerintah untuk menetapkan HPP sebesar Rp11.500/kg sebagai angka yang wajar agar petani bisa untung dan tidak memberatkan konsumen. Kami berharap kenaikan HPP karena bulan Mei 2022 sudah memasuki musim giling," ujarnya.

Sementara itu, harga jual gula pasir lokal di pasar tradisional di Kabupaten Kudus saat ini berkisar Rp14.000 per kilogram. Sedangkan gula pasir premium di sejumlah toko swalayan pembeliannya dibatasi dan stok juga terbatas.