Banyumas (ANTARA) - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, juga dikenal sebagai Bintang Puspayoga, mengatakan anak-anak yang menjadi korban rudapaksa tidak boleh putus sekolah.

"Anak tidak boleh mengalami stigma," kata Bintang usai menghadiri penandatanganan Pakta Integritas Pencegahan Perkawinan Anak dan Dialog Disiplin Positif di SMP Negeri 3 Kebasen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu sore.

Oleh karena itu, pihaknya sudah sampaikan bahwa ada beberapa praktik baik, salah satunya di Sidoarjo ada anak berusia 12 tahun yang tengah hamil difasilitasi pendidikan secara daring oleh pihak sekolah.

Menurut Bintang, kebijakan yang diberikan sekolah terhadap anak tersebut sangat bagus karena bagaimanapun anak pasti akan malu dan mendapat perundungan ketika datang ke sekolah dalam kondisi hamil.

Fasilitas pendidikan secara daring itu diberikan pihak sekolah agar jangan sampai anak yang jadi korban, masa depannya hilang karena mereka punya cita-cita yang harus dipenuhi.

"Nah, ini makanya Pak Bupati (Bupati Banyumas Achmad Husein, red.) sudah setuju juga karena di sini (SMPN 3 Kebasen, red.) ada kasus anak yang menjadi korban, kemudian harus keluar dari sekolah," jelas Bintang,

Akan tetapi, kata dia, Bupati Banyumas sudah membuat kebijakan bahwa anak itu akan sekolah kembali.

Disinggung mengenai kemungkinan anak itu bersekolah kembali di SMPN 3 Kebasen, Bintang mengatakan hal itu tergantung pada yang bersangkutan karena anak tersebut harus diasesmen terkait dengan bagaimana rasa aman dan nyaman baginya.

Selain itu, anak tersebut dipersilakan untuk memilih sekolah formal atau memilih Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).

"Tetapi untuk sementara yang terjadi di Banyumas, anak tersebut memilih di PKBM," kata Bintang.

Kasus di Banyumas itu dialami oleh AZ (12), warga Desa Kedungrandu, Kecamatan Patikraja, yang diketahui bersekolah di SMPN 3 Kebasen.

Dalam kasus tersebut, AZ diketahui hamil setelah mengalami pencabulan dan persetubuhan oleh enam pelaku pada waktu dan tempat berbeda, empat pelaku di antaranya merupakan lansia.*