Jakarta (ANTARA) - Debat kelima Pilpres 2024 sekaligus debat pamungkas yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah berlangsung pada Ahad (4/2) malam. Debat ketiga yang mempertemukan para capres tersebut mengusung tema pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, kebudayaan, teknologi informasi, serta kesejahteraan sosial dan inklusi.
 
Sekarang saatnya bagi para pemilih untuk menentukan pilihannya pada 14 Februari mendatang. Tak hanya memilih presiden, tapi perlu diingat bahwa pemilihan umum ini juga memilih perwakilan kita di badan legislatif mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional, serta wakil provinsi di tingkat nasional atau Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
 
Pemilu pada tahun ini, menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU) didominasi oleh pemilih muda. KPU mencatat total pemilih dalam Pemilu 2024 mencapai 204.807.222 pemilih. Sebanyak 66.822.389 atau 33,60 persen di antaranya adalah pemilih milenial (kelahiran 1981-1996) dan 46.800.161 atau 22,85 persen adalah generasi Z  (kelahiran 1997-2012).
 
Badan Pusat Statistik (BPS) menggolongkan pemilih muda ini dengan pemilih milenial  dan pemilih generasi Z.  Kedua generasi tersebut dikenal dekat dengan teknologi dan juga internet. Hidup kedua generasi tersebut pun sulit lepas dari gawai dan internet.

Tak heran, Francis dan Hoefel dalam artikelnya "True Gen: Generasi Z dan implikasinya bagi perusahaan" pada 2018 menyebut generasi Z sebagai generasi pertama digital native karena sejak masa mudanya sudah terhubung dengan internet, jaringan sosial, dan sistem seluler. Generasi ini juga dikenal ini bisa memanfaatkan perkembangan teknologi.
 
Oleh karena itu, tak mengherankan jika  ruang-ruang digital seperti media sosial seperti X, Tiktok, Instagram, bahkan Facebook dipenuhi oleh generasi milenial dan juga generasi Z.
 
Survei yang dilakukan McKinsey di 26 negara termasuk Indonesia pada 2022, menyebut generasi Z lebih sering mengakses media sosial ketimbang kelompok usia lainnya. Generasi Z atau Gen Z menghabiskan waktu lebih dari satu jam bermain media sosial.
 
Tentu saja, kondisi itu dipahami benar oleh politisi untuk meraup suara dari kelompok usia dominan tersebut. Maka, Pemilu 2024 berbeda dengan pemilu sebelumnya. Kampanye di ruang - ruang virtual pun lebih masif. Penggunaan teknologi kecerdasan buatan pun diperkenalkan pada pemilu kali ini. Semata untuk menggaet suara dari kelompok usia muda ini.
 
Hasil pemantauan dari Indonesian Corruption Watch (ICW) terkait pengeluaran iklan di platform Meta pada periode 16 November hingga 15 Desember 2023, menunjukkan tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden yang bertarung di Pilpres 2024, telah mengeluarkan dana ratusan juta rupiah untuk iklan politik di jejaring media sosial Facebook dan Instagram.
 
Pasangan calon Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar mengeluarkan dana sebesar Rp444,34 juta, pasangan calon Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mengeluarkan dana sebesar Rp778,93 juta, dan pasangan calon Ganjar Pranowo dan Mahfud Md mengeluarkan dana sebesar Rp829,16 juta.
 
Hal ini menunjukkan bahwa kampanye di ruang digital menjadi aspek penting dalam pesta demokrasi kali ini. Tim pemenangan adu strategi dan kreativitas agar dapat menjangkau algoritma pemilih. Celakanya, algoritma yang merupakan hasil umpan balik dari apa yang disukai atau dikomentari, akan mereferensikan segala hal yang berkaitan dengan aktivitas yang mereka lakukan sebelumnya. Baik itu like, comment, share atau bahkan search.
 
Tentu saja, aliran informasi yang sejenis tersebut kurang baik bagi demokrasi karena dikhawatirkan akan menciptakan polarisasi dan berkurangnya gagasan di ruang publik.
 
Kondisi ini kurang baik bagi generasi Z, yang mungkin saja belum terlalu berpengalaman dalam pesta demokrasi. Beda halnya, dengan generasi milenial yang sudah berkali-kali merasakan geliat pesta demokrasi. Apa yang dikhawatirkan adalah generasi Z tersebut menjadi pemilih yang cenderung emosional dan mengesampingkan rasionalitas. Idealnya, seorang pemilih menggunakan haknya dengan mengedepankan rasionalitas.
 
Pemilih rasional
 
Menjadi pemilih yang mengedepankan rasionalitas pada pemilu di era media sosial tentunya tidak mudah. Perlu usaha lebih untuk mencari tahu dan mengkaji apakah visi misi pasangan calon yang dipilih sudah sesuai dengan apa yang diinginkan pada masa depan. Tentunya bukan menjadi pemilih emosional yang melupakan logika, hanya karena jatuh cinta dengan satu sosok atau pasangan calon karena gimmick politik di media sosial, maka hilang akal sehat.
 
Rektor Unika Atma Jaya yang juga seorang neurolog, Prof Yuda Turana, mengakui bahwa saat seseorang jatuh cinta atau bahkan sedih maka bagian otak yang bersifat emosional (amygdala) lebih dominan dibandingkan logika atau rasional (korteks prefrontal).
 
Begitu juga saat pemilu, saat seseorang jatuh cinta atau kagum maka kekurangan orang tersebut pun menjadi sebuah pemakluman. Oleh karena itu, dalam mengambil keputusan penting hendaknya tidak dilakukan pada saat jatuh cinta atau emosional, karena hanya bersifat jangka pendek dan sering kali keputusan yang dibuat salah.
 
Padahal, memilih pemimpin atau wakil kita di parlemen bukanlah perkara sesaat tapi jangka panjang. Kebijakan-kebijakan yang diambil maupun aturan-aturan yang dibuat akan berdampak pada kehidupan kita ke depan.
 
Maka tak salah kiranya, perlu berjarak sejenak dari media sosial, sedikit upaya untuk mempelajari rekam jejak dan visi-misi agar tak salah pilih. Jangan memilih hanya karena alasan kerupawanan, kesukuan, agama, ras, kekerabatan, atau karena artis idola. Jangan sampai karena pilihan yang emosional, malah menghasilkan pemimpin yang tidak tepat. 
 

Baca juga: Akademisi: Para capres terlihat menahan diri di debat terakhir