Pati (ANTARA) - Sebanyak tiga desa di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menjadi fokus tanah objek reforma agraria, menyusul banyaknya lahan di kawasan tanah timbul serta kawasan hutan yang dikuasai masyarakat, kata Penjabat Bupati Pati Henggar Budi Anggoro.

"Ketiga desa tersebut, yakni Desa Sumbermulyo (Kecamatan Tlogowungu), Desa Dororejo (Kecamatan Tayu), dan Desa Bakalan (Kecamatan Dukuhseti)," ujarnya saat menghadiri Rakor Gugus Tugas Reforma Agraria di Hotel New Merdeka di Pati, Rabu.

Ia menjelaskan di Desa Sumbermulyo terdapat ratusan bidang tanah kawasan hutan dalam penguasaan masyarakat, sedangkan di Desa Dororejo dan Desa Bakalan di dalamnya terdapat kawasan tanah timbul yang dikuasai dan dikelola masyarakat.

Reforma agraria sendiri, kata dia, merupakan program strategis nasional yang bertujuan menata kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah secara lebih berkeadilan.

"Tujuan tersebut dicapai melalui penataan aset yang disertai penataan akses untuk kemakmuran rakyat," ujarnya.

Sementara itu, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Pati Jaka Pramono mengungkapkan bahwa fokus rapat koordinasi Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Kabupaten Pati memang di tiga desa tersebut.

"Pertama di kawasan hutan di Dukuh Jatiurip, Desa Sumbermulyo, Kecamatan Tlogowungu. Di sana ada kurang lebih 540 bidang dikuasai oleh masyarakat yang sejak sebelum kemerdekaan sudah bermukim di situ," ujarnya.

Karena statusnya masuk kawasan hutan, kata Jaka, lahan yang dikuasai masyarakat tersebut belum bisa dilegalisasi asetnya lewat sertifikat tanah.

"Begitu juga tanah-tanah timbul di Desa Bakalan dan Dororejo. Berawal dari terjadinya endapan di situ, kemudian ada penguasaan, masyarakat pun mengelolanya. Tetapi karena statusnya, Letter C juga belum ada pada waktu itu, maka butuh penegasan. Hadirlah negara untuk memberi penegasan itu," ujarnya.

Ia menjelaskan tanah timbul merupakan daratan yang terbentuk secara alami maupun buatan karena proses pengendapan di sungai, danau, pantai, atau pulau timbul.

Tanah timbul dikuasai oleh negara. Namun tanah timbul dengan luasan paling luas 100 meter persegi merupakan milik dari pemilik tanah yang berbatasan langsung dengan tanah timbul dimaksud.

Sementara tanah timbul dengan luas lebih dari 100 meter persegi dapat diberikan hak atas tanah asalkan mendapat rekomendasi Kementerian ATR/BPN dan pemanfaatannya sesuai rencana tata ruang. Sedangkan luas tanah timbul yang dikuasai masyarakat di Desa Dororejo mencapai 46 hektare dan di Desa Bakalan 26 hektare.

Reforma Agraria hadir dalam konteks penataan aset ketika banyak terjadi penguasaan tanah oleh masyarakat tetapi kepastian hak kepemilikannya belum terwujud.