Purwokerto (ANTARA) - Pegiat Forum Interaksi Guru Banyumas (Figurmas) FA Agus Wahyudi menilai standardisasi pendidikan tidak bisa dilakukan melalui Ujian Negara (UN), sehingga pihaknya tidak sepakat jika UN akan diterapkan kembali untuk penentuan kelulusan siswa.

"Penghapusan UN itu sudah diperjuangkan secara 'berdarah-darah', berpuluh-puluh tahun dengan seluruh aktivis pendidikan di Indonesia, dan akhirnya berhasil. Kalau UN sebagai dasar penentuan kelulusan, kita tidak sepakat," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Selasa.

Ia mengatakan ketidaksepakatan itu disebabkan kondisi setiap sekolah berbeda-beda dari sisi sarana dan prasarananya, guru, serta letak geografisnya, sehingga tidak bisa distandardisasi.

Selain itu, kata dia, UN justru pemborosan dari sisi keuangan negara dan tidak berdampak langsung terhadap peningkatan mutu pendidikan karena selama ini sudah terbukti.

"Lalu yang ketiga, UN itu justru menimbulkan ketidakjujuran, mulai dari aparat pemerintah, Dinas Pendidikan, bupati, sampai sekolah. Bahkan, ada joki, ada yang menjual kunci jawaban, dan segala macamnya," kata guru SMA Negeri 2 Purwokerto itu.

Sementara yang keempat, kata dia, UN kalau mau dilaksanakan itu mestinya di kelas 2 SMA sebagai pemetaan mutu pendidikan seperti halnya ujian PISA (Programme for International Student Assessment) yang dijadikan sebagai dasar untuk menentukan peningkatan kualitas pendidikan secara menyeluruh, sehingga bukan menjadi dasar penentuan kelulusan.

Bahkan, kata dia, UN sebenarnya diskriminatif karena hanya menguji beberapa mata pelajaran yang diajarkan di sekolah.

"Padahal, anak menjadi cerdas, anak menjadi pribadi yang baik, anak menjadi pribadi yang religius itu 'kan karena menerima seluruh mata pelajaran, masak yang di-UN-kan hanya beberapa mata pelajaran," katanya menegaskan.

Oleh karena itu, dia mempersilakan UN kembali dilaksanakan tetapi sebagai pemetaan mutu pendidikan, bukan sebagai penentu kelulusan siswa.

Kendati demikian, dia mengatakan nilai ujian sekolah merupakan penentu kelulusan siswa yang terbaik karena sesuai dengan otoritasnya, tugas guru ada tiga hal yang terdiri atas merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi.

"Jadi, mengevaluasi ujian itu adalah otonomi guru. Bisa saja pemerintah nanti menyiapkan kisi-kisinya sebagai bentuk standardisasi, lalu biarlah guru yang membuat soal ujiannya," katanya.

Lebih lanjut, dia mengatakan problem pendidikan saat sekarang sebenarnya bukan pada UN atau tidak UN, tetapi dari sisi guru dalam konteks jumlah atau kuantitas maupun kualitasnya.

Jika Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti akan meningkatkan mutu pendidikan, kata dia, kuncinya adalah memenuhi kekurangan guru serta meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru.

Sebagai pelaku pendidikan, dia mengharapkan Mendikdasmen fokus pada pemenuhan jumlah guru dan peningkatan mutu serta kembalikan pola guru diperbantukan.

"Jadi sekolah-sekolah swasta, coba diberi bantuan guru yang dibayar oleh negara seperti zaman Orde Baru. Dulu zaman Orde Baru, bantuan guru untuk sekolah-sekolah swasta berdasarkan statusnya," katanya menjelaskan.

Ia mencontohkan sekolah swasta berstatus "disamakan" akan mendapatkan bantuan guru sekolah negeri sebanyak setengah plus satu dari jumlah kelas, sehingga jika jumlah kelasnya 20 akan mendapatkan bantuan guru negeri sebanyak 11 orang.

Menurut dia, hal itu akan meringankan yayasan karena tidak perlu membayar guru tersebut, sehingga biaya pendidikan yang dikeluarkan orang tua siswa menjadi murah.

Ia mengatakan sejelek-jeleknya kurikulum dan tidak terpenuhinya sarana-prasarana, selama gurunya kreatif dan cerdas maka pendidikan akan maju karena kunci dari kemajuan dunia pendidikan ada pada guru

Terkait dengan hal itu, dia pun mengusulkan supaya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah mendirikan sekolah kedinasan calon guru.

"Lha, untuk mendidik calon pamong praja saja didirikan IPDN, untuk membuat pegawai pajak ada STAN, tapi mengapa sekolah kedinasan untuk guru tidak ada," katanya.

Menurut dia, untuk mendirikan sekolah kedinasan guru dapat dilakukan dengan cara memetakan kebutuhan guru dalam 5 hingga 10 tahun ke depan dan selanjutnya dilakukan perekrutan.

Agus mengatakan calon guru yang mendaftar sekolah kedinasan tersebut tentunya siswa-siswa terbaik dan cerdas, sehingga nantinya akan menghasilkan guru yang berkualitas.


Baca juga: Penanganan ODGJ butuh keterlibatan semua pihak