Semarang (ANTARA) - Indonesia berpotensi menjadi jembatan penghubung antara BRICS dan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), yang didominasi negara-negara barat. Indonesia telah melamar menjadi anggota OECD pada 2024, tetapi keanggotaan tersebut belum disetujui. Politik luar negeri yang bebas aktif, Indonesia menekankan manfaat dari BRICS bersifat ekonomi, tanpa mengubah posisi politiknya.

“Jembatan ini efektif karena posisi politik luar negeri kita yang bebas aktif,” kata Jose Antonio Morato Tavares. Siradj Parwito, Asisten Deputi Stabilisasi Harga Kementerian Koordinator Pangan, mendukung langkah Indonesia bergabung ke BRICS.

Ia menyebut New Development Bank (NDB)—bank pembangunan milik BRICS—sebagai sumber alternatif pembiayaan untuk proyek-proyek pembangunan Indonesia.

“Dana NDB dapat digunakan untuk mendanai proyek-proyek berisiko tinggi yang sulit menarik minat investor swasta, seperti proyek energi geotermal. Kata kuncinya adalah bankable. Pendanaan ini, proyek-proyek kita yang berisiko tinggi bisa direstrukturisasi agar lebih menarik bagi investor,” jelas Siradj.

Kritik terhadap proses pengambilan keputusan meskipun manfaat BRICS tampak signifikan, kritik terhadap proses pengambilan keputusan pemerintah Indonesia tetap ada.

Irman Gurmilang Lanti, staf pengajar Politik Luar Negeri, di Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran menilai kebijakan ini diambil tanpa diskusi publik yang memadai. Menurutnya, perdebatan justru muncul setelah Indonesia melamar sebagai anggota BRICS.

“(Mahluk) Apa ini? Untung ruginya baru dibahas. Ini jadi terbalik, ibaratnya bukan ‘kuda menarik kereta, tapi kereta menarik kuda’, artinya keputusan diumumkan sebelum analisis mendalam dilakukan,” kata Irman. 

Di era Presiden Jokowi, sebelum ke BRICS, Indonesia tengah melamar ke OECD, namun belum ada kejelasan status, tiba-tiba Indonesia di bawah Prabowo melamar ke BRICS dan disetujui.

Jika diharuskan memilih antara BRICS dan OECD, bila ingin bertahan di tengah perekonomian global yang semakin keras persaingannya, maka menurut Irman, Indonesia lebih cocok bergabung dengan OECD karena status ini dapat meningkatkan reputasi ekonomi Indonesia di mata dunia. 

“Keanggotaan OECD akan menaikkan peringkat kredit dan membuat investor lebih percaya bahwa uang mereka aman di Indonesia,” tegas Irman Gurmilang Lanti yang selama belasan tahun menjadi ahli ekonomi politik di badan-badan PBB.

Irman juga mengingatkan kebijakan ekonomi global, terutama di bawah pengaruh Amerika Serikat, dapat berdampak langsung pada negara-negara BRICS. Ia mempertanyakan kekuatan ekonomi Indonesia menghadapi dampak tarif perdagangan yang mungkin diberlakukan AS di era Presiden Donald Trump terhadap BRICS.

Staf pengajar Hubungan Internasional Unpad Teuku Rezasyah menekankan pentingnya sosialisasi yang baik agar manfaat keanggotaan BRICS dipahami semua pihak. Ia mengusulkan pendekatan yang mencakup penyamaan paradigma  dan pemikiran.

“Untuk menjadi isu nasional, thought level-nya harus sama di pemerintah, lembaga negara, kementerian. Rumuskan semua dalam konstelasi strategis dengan penjabaran yang tepat,” kata Teuku Rezasyah.

Reza menilai BRICS saat ini cocok dengan karakter Indonesia yang memperjuangkan kerja sama Selatan-Selatan atau Global South. Dalam karakter ini, kata Reza, Indonesia bisa ikut menentukan reformasi PBB, khususnya dalam berbagai keputusan untuk isu penting yang seringkali didominasi Barat dan mendapat veto.

Anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang menjadi tulang punggung PBB, seringkali tak sepaham dengan sejumlah isu yang tak menguntungkan Barat. Tantangan utama Indonesia sebagai anggota BRICS adalah memastikan keseimbangan dalam hubungan dengan negara-negara Barat. 

Diskusi publik bertajuk “BRICS: Menakar Langkah Indonesia” ini merupakan kegiatan kick off dari rangkaian diskusi publik berwawasan akademik yang akan digelar secara rutin oleh Ikatan Alumni Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran (IKAHI Unpad).

Saat menutup gelaran diskusi publik ini, Raja Syamsurizal, Ketua Umum IKAHI Unpad  menyatakan harapannya dengan kegiatan itu menunjukkan alumni dan almamater dapat terus aktif berkontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.

“Diskusi publik ini menjadi wadah bagi alumni dari berbagai angkatan dan latar belakang profesi untuk berinteraksi, berbagi pengetahuan, dan memperkuat jejaring. Alumni yang telah berkarier di berbagai bidang dapat berbagi pengalaman dan wawasan mereka dengan sesama alumni dan masyarakat umum. Diskusi ini menjadi forum untuk menyebarkan ide-ide inovatif dan solusi atas berbagai permasalahan masyarakat,” tutup Raja Syamsurizal.