Pola Asuh Menjadi Tantangan Pemberantasan Gizi Buruk
Sabtu, 2 Maret 2013 14:52 WIB
Azura Zanasyah (17 bulan) balita penderita gizi buruk duduk di rumahnya Jalan Mundu, Tegal, Jateng, Jumat (18/11). Azura balita dengan berat 7 kg puteri pasangan Budi Murtupo (34) dan Karmilasari (33) menderita gizi buruk sejak usia 7 bulan. FOTO ANT
Terlebih lagi, tingkat kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Kudus cenderung meningkat karena jumlah lapangan kerja yang tersedia cukup banyak.
Bahkan, pemerintah daerah setempat juga turut berperan serta mengentaskan masyarakat miskin lewat pemberian bekal pelatihan kerja sebagai bekal membuka usaha secara mandiri.
"Banyaknya peluang kerja di Kudus, justru bukan jaminan bahwa kasus gizi buruk di Kudus tidak ada. Pasalnya, kesibukan kedua orang tua dengan aktivitas kerja juga berpotensi mengakibatkan anak mengalami kekurangan gizi," kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus Maryata didampingi Kasi Gizi Kemasyarakatan Sigit Joko Riyanto, di Kudus, Jumat.
Apabila pola asuh terhadap anak berlangsung secara terus menerus, katanya, anak bisa mengalami kasus gizi buruk.
Menurut dia, tantangan dalam memberantas kasus gizi buruk, tidak hanya lewat penciptaan lapangan kerja untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, melainkan pola asuh terhadap anak juga patut diwaspadai.
Ia mencatat, puluhan ribu kaum perempuan di Kudus bekerja di sektor rokok, sehingga perhatian terhadap anak dimungkinkan ada yang terabaikan.
"Jika asupan gizi anak kurang memadai berlangsung terus menerus, maka anak rawan terserang gizi buruk, terutama saat masih balita," ujarnya.
Apalagi, kata dia, kasus gizi buruk yang terjadi di Kudus merupakan anak usia antara tujuh bulan hingga empat tahun.
Selain itu, lanjut dia, asupan gizi yang masih kurang bagi ibu hamil, juga rawan mengakibatkan anak yang dilahirkannya mengalami gizi buruk.
Untuk mengatasi permasalahan pola asuh anak di tempat kerja, katanya, DKK Kudus pernah mengusulkan dibuatkannya tempat titipan anak di lingkungan kerja pabrik rokok di Kudus.
Hanya saja, usulan tersebut tidak bisa direalisasikan karena berbagai pertimbangan.
Fasilitas Pojok ASI
Untuk memberikan kesempatan bagi ibu menyusui agar tetap bisa memberikan ASI eksklusif terhadap anaknya, DKK Kudus mengusulkan pembuatan pojok ASI di berbagai lokasi dibiayai oleh APBN.
"Nantinya, setiap Puskesmas di Kudus diharapkan akan dilengkapi dengan pojok ASI," ujar Sigit Joko Riyanto.
Selain itu, dia juga berharap, di lingkungan perusahaan, terutama perusahaan rokok yang lebih banyak mempekerjakan perempuan juga dilengkapi dengan fasilitas pojok ASI.
Saat ini, kata dia, terdapat sebuah perusahaan swasta di Kudus yang dilengkapi fasilitas tersebut.
Ia berharap, perusahaan lainnya juga mengikuti langkah perusahaan tersebut dengan menyiapkan fasilitas serupa.
Upaya lain untuk mengurangi angka kasus gizi buruk, yakni dengan meningkatkan peran petugas Puskesmas dan bidan desa dalam menyosialisasikan pemberian gizi seimbang kepada balita.
Selain itu, lanjut dia, keberadaan Posyandu di masing-masing daerah juga turut menjadi ujung tombak dalam menyosialisasikan pemberian gizi seimbang terhadap anak balita.
"Biasanya, ketika ditemukan anak yang terindikasi gizi buruk langsung diupayakan mendapat pengobatan," ujarnya.
Apalagi, lanjut dia, kasus gizi buruk juga ada yang disebabkan karena kelainan bawaan serta infeksi saluran pernapasan atas (ISPA).
Ia mengakui, pernah mendapatkan anak diduga menderita gizi buruk, ternyata menderita talasemia.
Meski demikian, kata dia, temuan tersebut tetap ditindaklanjuti dengan memberikan bantuan pengobatan.
"Pemkab Kudus akan membantu mendapatkan pengobatan gratis lewat program Jamkesmas atau Jamkesda," ujarnya.
Bahkan, lanjut dia, warga yang tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP) tetap diupayakan mendapat bantuan pengobatan, terutama dari keluarga kurang mampu.
Untuk membantu warga yang sudah lama tinggal di Kudus, namun tidak memiliki KTP Kudus, katanya, akan diupayakan tetap mendapat bantuan lewat Dinsosnakertrans Kudus.
Layanan Konseling Gizi
Dalam memerangi gizi buruk, Pemkab Kudus juga berencana membuka layanan konseling gizi untuk wilayah perkotaan.
"Untuk pertama, layanan tersebut hanya disediakan di wilayah perkotaan, karena disesuaikan dengan ketersediaan anggaran," ujar Kasi Gizi Kemasyarakatan Sigit Joko Riyanto.
Dengan adanya layanan konseling gizi, dia berharap, masyarakat yang belum memahami pemberian gizi seimbang terhadap balita bisa mendatangi layanan tersebut.
Rencananya, kata dia, dalam waktu dekat akan ada program tambahan makanan di masing-masing desa.
Di antaranya, program tambahan makanan untuk pemulihan direncanakan berlangsung selama 90 hari, sedangkan untuk penyuluhan dilakukan lewat peragaan pemberian tambahan makanan di masing-masing Posyandu setiap satu bulan sekali.
Dari 787 Posyandu yang ada di Kudus, katanya, program tersebut hanya bisa dilaksanakan di 672 Posyandu karena disesuaikan dengan ketersediaan anggaran.
Adapun jumlah kasus gizi buruk, katanya, pada awal 2013 terdapat empat kasus, sedangkan selama tahun 2012 sebanyak 25 kasus, dan 2011 hanya 14 kasus.
Kasus gizi buruk yang ditemukan, katanya, sudah ditindaklanjuti dan mayoritas sudah sembuh, termasuk kasus yang ditemukan selama 2012.
"Saat ini, terdapat empat anak yang menjalani pengobatan karena mengalami gizi buruk," ujarnya.
Pewarta : Akhmad Nazaruddin
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025
Terkait
Menteri Bintang Puspayoga beri perhatian ibu muda asal Bekasi tuntut hak asuh anak
25 July 2023 10:34 WIB, 2023
Polresta Banyumas ungkap kasus pimpinan panti asuhan cabuli anak asuh
17 February 2023 11:20 WIB, 2023
Terpopuler - Pumpunan
Lihat Juga
"Sepenggal Kisah" BPJS Ketenagakerjaan bagi penggali kubur dan pemandi jenazah
22 November 2024 21:06 WIB