Perspektif Optimistis Anies Baswedan
Rabu, 15 Mei 2013 8:42 WIB
Anies Baswedan. Foto: Antara
Pembingkaian suatu peristiwa itulah yang menyebabkan terjadinya jarak antara kenyataan dengan realitas hasil konstruksi media. Alhasil, realitas hasil konstruksi media yang diproduksi terus-menerus itu menghasilkan persepsi pesimistis khalayak terhadap bangsa ini.
Media belakangan ini ikut menciptakan perasaan pesimisme bangsa ini menguat. Media audio visual, katanya, merupakan mesin penumbuh pesimisme yang luar biasa.
"Media harus bertanggung jawab," kata Anies di hadapan peserta Sekolah Jurnalisme Indonesia Tingkat Utama Angkatan I 2013 PWI Jateng di Semarang, Senin (13/5).
Pemahaman yang mengendap pada banyak orang adalah munculnya kekisruhan pada setiap penyelenggaraan pilkada. Salah satu indikator yang digunakan mereka adalah dengan banyaknya sengketa pilkada yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi.
"Ada sekitar 320 kasus sengketa pilkada yang dibawa ke MK. Hanya bangsa beradab yang menyelesaikan sengketa pemilu melalui pengadilan," kata mantan aktivis mahasiswa UGM Yogyakarta itu.
Di tingkat elit Indonesia, terutama pada posisi jabatan presiden, kepala negara Indonesia sejak era Bung Karno hingga Presiden Gus Dur sudah menunjukkan kepada semua bangsa bahwa para pemimpin negeri ini tahu akan ambang batasnya sendiri.
Oleh karena itu Bung Karno, Pak Harto, Habibie, Megawati, hingga Gus Dur dengan kesadaran ambang batasnya tidak mau ngotot bertahan di tampuk kekuasaan setelah terjadi krisis politik besar.
"Lihat Pak Harto. Kalau saat itu dia mau ngotot bertahan dan mengerahkan Angkatan Darat, dia mungkin tidak akan menyerahkan kekuasannya. Begitu pula Habibie. Kalau dia mau ngotot bertahan, itu bisa saja karena toh masalahnya cuma pertanggungjawabannya sebagai Presiden ditolak oleh MPR," kata cucu tokoh pers nasional AR Baswedan itu.
Akan tetapi, menurut Anies, para pemimpin puncak di negeri ini -- terlepas dari segala kekurangannya -- tahu kapan turun untuk menghindari konflik yang memicu jatuh korban lebih banyak lagi.
Krisis politik di Mesir, Libya, dan Suriah telah memakan puluhan ribu nyawa karena pemimpin mereka tidak tahu ambang batas untuk menyudahi kekuasaan yang dipertahankan dengan cara berkonflik dan memakan banyak korban jiwa.
"Mengapa bangsa ini dan media tidak mau melihat dari sisi optimistis. Betapa bangsa ini telah menjalani proses demokrasi yang jauh lebih beradab. Menyelesaikan sengketa pemilu dan pilkada melalui pengadilan adalah langkah paling beradab di negara demokrasi. KIta harus baca dari perspektif itu, bukan dari sisi problem," kata mantan Ketua Senat Mahasiswa UGM Yogyakarta itu.
Bangsa ini juga tidak sepantasnya terus melihat ke luar yang dianggapnya lebih maju. Indonesia dengan belasan ribu pulau dan beragam suku dan bahasa jauh lebih sukses ketimbang Uni Eropa dengan 27 anggota namun berbeda bahasa.
"Kita hanya gunakan satu bahasa, sedangkan delegasi Uni Eropa harus menggunakan 'headset' terjemahan bahasa ketika mendengarkan pidato dari anggota Uni Eropa lainnya," katanya.
Anies mengkritik orang yang tidak mau membedakan cara berpikir kritis dengan pesimistis serta bersikap optimistis dengan sikap propemerintah. Yang membedakan dua sisi itu hanyalah cara pandang ketika seseorangmelihat suatu masalah, namun hasilnya akan sangat beda kendati masalah yang dihadapi sama.
Pada awal Kemerdekaan, kata Anies, jumlah penduduk di Tanah Air yang melek huruf hanya lima persen, namun oleh Bung Karno kala itu yang ditonjolkan bukan 95 persen penduduk yang buta huruf, melainkan kekuatan para pemuda.
Jadi, katanya, masyarakat termasuk media, harus membaca dari perspektif optimistis, jangan selalu dibaca dari sisi masalah tak berkesudahan. "Cobalah matikan media audio visual selama tiga minggu, nanti kita punya cara pandang lebih optimistis," katanya.
Persoalan besar bangsa ini, menurut Anies, bisa dikelompokkan menjadi tiga, yakni ekonomi, politik dan pemerintahan, serta penegakan hukum. Pemerintah Indonesia relatif berhasil mengelola sektor pertama dan kedua.
Namun, katanya, dalam penegakan hukum justru berada di ambang kehancuran sehingga bila di bidang ini masih saja dipermainkan, bangunan bangsa ini dikhawatirkan bakal hancur. "Penegakan hukum menjadi unsur penting dalam ikatan sebuah bangsa," katanya.
Jangan sampai, katanya, penegakan hukum, termasuk dalam pemberantasan korupsi, terhalang oleh intervensi dan manuver politik. Di tengah meluasnya praktik korupsi yang juga melibatkan kaum elit, media harus mengambil peran untuk membuat mereka malu.
"Mereka korupsi bukan karena lapar, melainkan serakah. Serakah itu tidak ada ambang batasnya untuk berhenti. Namun, koruptor itu juga bodoh karena wajah dan nama mereka akan abadi di internet," katanya.
Pewarta : Achmad Zaenal M
Editor : Zaenal A.
Copyright © ANTARA 2025
Terkait
Pilkada 2024, Sadewo optimistis menang lawan kolom kosong di Pilkada Banyumas
27 November 2024 13:16 WIB
Terpopuler - Pumpunan
Lihat Juga
"Sepenggal Kisah" BPJS Ketenagakerjaan bagi penggali kubur dan pemandi jenazah
22 November 2024 21:06 WIB