Selisih satu suara sangat berpengaruh terhadap hasil Pemilihan Umum (Pemilu) Anggota DPR, DPD, dan DPRD, 9 April 2014, apalagi jumlah pemilih pemula mencapai 10 juta hingga 20 juta orang. Hal ini berulang-ulang disampaikan oleh anggota Komisi I DPR RI Tjahjo Kumolo SH saat tampil sebagai pembicara pada acara tersebut.

"Silakan pilih calon anggota legislatif yang Anda kenal dan menurut penilaian Anda memiliki integritas. Siapa pun itu. Yang penting Anda datang ke tempat pemungutan suara (TPS) pada tanggal 9 April mendatang," kata Tjahjo yang juga Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan.

Di hadapan ratusan mahasiswa dan pelajar sekolah menengah atas yang memenuhi Gedung Gradhika Bhakti Praja, kompleks Kantor Gubernur Jateng, Jalan Pahlawan No. 9 Semarang, Senin (11/11), pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Dr R. Siti Zuhro pun mengingatkan kepada mereka agar tidak mengedepankan emosi, tetapi rasional ketika menentukan pilihannya.

Oleh karena itu, Siti memandang perlu para pemilih pemula mendapat informasi yang memahamkan dan mengedukasi sehingga menjadi tertarik untuk menggunakan hak politiknya.

"Kalau suara pemilih pemula sampai golput atau tidak digunakan, menurut saya ada kesalahan besar, baik dari penyelenggara maupun partai politik," katanya.

Saat ini, menurut dia, pemilih pemula bersikap skeptis dan apatis sehingga hal tersebut harus dijembatani oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat maupun KPU di tingkat kabupaten/kota, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan pemangku kepentingan setempat.

Partai politik harus ikut mengedukasi dan dimintai pertanggungjawabannya kalau golput meningkat. Jadi, kata Siti, tidak sekedar KPU serta Bawaslu yang kapasitasnya terbatas.

Analis politik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang M. Yulianto berpendapat bahwa pendidikan politik, terutama kepada kalangan pemilih pemula, sebenarnya merupakan tanggung jawab partai politik.

"Salah satu tugas parpol kan melakukan 'political education' (pendidikan politik). Akan tetapi, parpol-parpol di Indonesia selama ini kurang maksimal menjalankan peran itu," katanya di Semarang, Senin.

Ia mencontohkan parpol di negara-negara maju dan mapan memang sudah sejak awal menyiapkan pendidikan politik untuk warga negaranya, mulai usia anak-anak hingga dewasa, sehingga proses demokrasi berjalan bagus.

Yulianto meminta parpol mulai sekarang semestinya menyiapkan pemilih-pemilih loyalnya pada masa depan melalui proses pendidikan politik yang baik mengingat jumlah pemilih pemula cukup signifikan.

"Jumlah pemilih pemula itu cukup banyak, sekitar 10 juta sampai 20 juta orang. Ini harus ditangkap oleh parpol dengan memberikan pendidikan politik secara berkesinambungan untuk menjadi pemilih loyalnya," kata Yulianto.

Tentunya, kata dia, tidak proporsional kalau hanya KPU yang dibebani tugas memberikan pendidikan politik karena porsi pendidikan politik berada pada tanggung jawab setiap parpol.

"Ibaratnya begini, 'masa' KPU sudah disuruh jadi tukang fotokopi, cuci piring, 'ngepel', masih dibebani tugas menyediakan makanan. KPU penyelenggara pemilu, substansi tugasnya kan bukan pendidikan politik," katanya.

Pengajar FISIP Undip itu mengungkapkan bahwa pendidikan politik selama ini memang belum berjalan secara masif dan intens sehingga menyebabkan tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu kurang menggembirakan.

"Kesannya kan pendidikan politik diberikan sekadarnya, yang penting ada kegiatan kalau mendekati pemilu. Padahal, pendidikan politik harus dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan," katanya.

Selain itu, dia mengatakan bahwa model pendidikan politik yang berjalan selama ini kurang menarik karena tidak melihat perkembangan situasi dan kondisi zaman yang terus-menerus mengalami perubahan.

"Model pendidikan politik, ya, harus menyesuaikan, misalnya, dibuatlah sedikit lebih 'gaul', canggih, sesuaikan dengan anak-anak sekarang. Kalau masih membosankan, tidak menarik, ya, percuma," kata Yulianto.

DPT Jadi Penentu
Karena selisih satu suara berpengaruh terhadap hasil pemilu, PDI Perjuangan memandang penting daftar pemilih tetap (DPT) bermasalah yang jumlahnya mencapai 10,4 juta perlu segera dituntaskan.

"Paling tidak satu bulan ke depan, DPT bermasalah sudah tuntas," kata Tjahjo, calon anggota DPR RI periode 2014-2019 dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah I (Kota/Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, dan Kabupaten Kendal).

Hal itu mengingat, kata Sekjen DPP PDI Perjuangan itu, penyelesaian berbagai permasalahan terkait dengan DPT menjadi kunci sukses Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014.

"Satu suara sangat menentukan masa depan bangsa, mudah-mudahan 10,4 juta DPT bermasalah bisa diselesaikan KPU dalam waktu satu bulan," tegasnya.

Pemilu 2014 bagi partai politik merupakan momentum yang harus terselenggara supaya ada pemerintahan yang adil dan demokratis.

Oleh karena itu, parpol beserta seluruh pihak, termasuk Bawaslu, terus mengawal masalah daftar pemilih tetap karena DPT itu sesuatu yang sangat prinsip. Bahkan, akan mengancam partai politik peserta Pemilu 2014 kehilangan tujuh juta sampai 10 juta suara atau setara 35-50 kursi DPR RI.

Tahjo mengungkapkan bahwa saat ini, menurut Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan KPU, tersisa sekitar 7.000.000 nama yang tercatat dalam DPT bermasalah terkait dengan nomor induk kependudukan (NIK).

Ia lantas menyebutkan beberapa hal yang mengkhawatirkan sebagai faktor X yang akan mengganggu demokratisasi Pemilu 2014, antara lain faktor Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg), institusi ini diidentifikasikan tetap akan bekerja sama dengan KPU.

Anggota Komisi I DPR RI memberi gambaran, begitu DPT ditetapkan, proses enkripsi (tulisan dalam kode atau sandi) berjalan. Dan, ini yang membahayakan.

"Suara yang diperoleh Lemsaneg ataupun lembaga intelijen karena di situ murni institusi Tentara Nasional Indonesia. Kalau begitu, di mana netralitas TNI?" kata Tjahjo mempertanyakan.

Di sisi lain, lanjut dia, DPT betul-betul harus dijadikan alat pemenangan murni parpol sebagaimana pilihan politik masyarakat yang mempunyai hak pilih atau hak politik.

Ia menilai wajar kalau parpol, termasuk PDI Perjuangan, masih melihat posisi pelaksana Pemilu 2014 terancam jujur dan adil (jurdil).

Oleh karena itu, kata dia, "political will" (kemauan politik) KPU dan Bawaslu membuat Pemilu 2014 lebih demokratis, bersih, dan jurdil harus didukung seluruh komponen kekuatan rakyat Indonesia, TNI, dan Polri tanpa pandang bulu.

"Mereka harus berani menyatakan sikap siapa lawan dan siapa kawan kalau ada individu, kelompok, parpol, atau institusi yang berani menjadikan Pemilu 2014 tidak jujur dan tidak demokratis sebagai pilihan rakyat Pancasilais," katanya.

Menurut Tjahjo, pemilu bisa dikatakan jurdil asalkan KPU, TNI, dan Polri harus netral, serta tidak diwarnai praktik politik uang (money politics). Hal ini perlu pengawasan dari semua pihak agar dana bantuan sosial dan dana lain yang telah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tidak disalahgunakan.

"Jadi, hak politik warga negara harus kita jaga dan kita jamin dalam peran partisipasi politiknya dalam pemilu yang akan datang. Hal ini mengingatkan Pemilu 2014 masih terancam karena di hulu masih ada masalah terkait dengan DPT, sementara di hilirnya masih jadi catatan terkait dengan internal Mahkamah Konstitusi (MK)," kata Tjahjo.