Memasuki Pintu Gerbang dengan Kerukunan
Minggu, 22 Juni 2014 18:36 WIB
Andi Arief. (Dok.)
Kerja keras pemimpin dan rakyat pada masa-masa mendatang menentukan seberapa jauh tapak kaki berada jauh dari pintu masuk. Secara garis besar dua capres yang saat ini ada, menawarkan dua jalan berbeda, yaitu tentang cara mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Cara cinta kasih caritatif dan cara cinta kasih aktif. Misalnya, tema menyayangi rakyat atau tema populisme. Tema Kuliah Gratis, misalnya, mampu memenangkan Michelle Bachele sebagai Presiden di Chile dengan melalui putaran kedua Pilpres 2013.
Sementara itu, Deklrasi Partai Gerakan Republik Ke-5 (Fifth Republic Movement) dengan mengusung isu kemandirian bangsa sebagai signal perubahan cara berjuang dari tentara menjadi politikus telah membawa Chaves menjadi Presiden dengan perolehan di atas 52 persen.
Michelle Bachele sebelumnya mantan Presiden yang populer. Akan tetapi, sistem politik di Chile tidak memperkenankan dua kali jabatan berturut-turut. Sementara itu, Chavez berpangkat kolonel ditahan dan dipecat karena melakukan kudeta yang gagal. Namun, yang bersangkutan sudah mendapat tempat di hati masyarakat atas kegagalannya itu. Rakyat Venezuela mendambakan program itu. Venezuela sejak 1960-an tidak pernah memberi tempat jalan di luar demokrasi.
Memang tidak sama, tetapi inilah dua pilihan yang "tidak terhindar" dan harus dipilih rakyat Indonesia pada tanggal 9 Juli 2014. Meski kartu populisme yang diusung itu, jauh lebih sulit dioperasionalisasi ketimbang kuliah gratis. Kenapa? Kartu populisme ala jokowi bukanlah tuntutan masyarakat, uang kuliah di Chile adalah tuntutan aksi tanpa henti sejak 2011 sampai 2013 oleh ratusan ribu mahasiswa di berbagai kota.
Tidak akan ada program yang bisa dimenangkan tanpa ada tuntutan besar oleh rakyat. Namun, kartu populisme adalah tanda cinta kepada rakyat. Karena cinta itu buta, fanatisme muncul di mana-mana. Namun, fanatisme itu bisa lebur karena ada jumlah yang banyak datang dengan logika yang lebih objektif. Meski kemandirian bangsa dalam bentuk apa, belum tergambar jalannya oleh Prabowo. Akan tetapi, itulah resep yang selama ini didengar sebagai syarat negeri berdikari yang kuat.
Kemandirian bisa munculkan semangat pendukung bererak aktif karena rakyatnya ingin menjadi bagian aktif dari bangsa yang kuat. Isu kemandirian ini sudah jadi trend gerakan rakyat tujuh tahun terakhir di negara kita. Cinta itu gerak bersama-sama. Namun, cinta juga sering membuat benci tiba-tiba. Bukankah cinta kadang tempat menggantungkan semua keinginan baik yang mungkin dan sebaliknya.
Inilah tahap politik kita. Ada dua pasang figur, Salah satu pasangnya akan jadi pemimpin negara besar, heterogen dan luas serta penuh kekayaan alam. Ini pemilu ketiga, dimana partai yang dibangun mantan petinggi militer yang secara demokratis mengikuti pemilu berhadapan dengan partai tua dengan penghuni baru. Politik itu bukan pertarungan catur yang mengenal draw, pasti ada pemenangnya.
Pendukung adalah pemcinta. Cintailah idolamu dan jangan mengganggu kecintaan orang lain pada idolanya. Ada garis batas untuk tidak saling mengganggu. Sejumlah dan bergembira dalam pesta. Siapa pun pemenangnya, tentu dengan cara-cara demokratis akan hindari instabilitas di semua level. Namun, sering kali dilupakan datangnya potensi dari internal kekuatan politik pendukung.
Dari mana datangnya? Jangan anggap remeh potensi yang datang kibat keretakan hubungan antara Presiden dan Wakil Presiden. Soekarno dan Hatta, Soeharto dan Sri Sultan HB IX, Gus Dur dan Megawati, SBY dan JK.. Dalam sistem presidensial itu wakil Presiden adalah pembantu utama Presiden dan tidak boleh memiliki agenda independen yang lepas dari Presiden. Hal ini penting karena hanya kesadaran konstitusilah yang bisa membuat seorang Wapres tahu diri atas perannya. Sebab, Wapres bisa saja mengingkari konstitusi dan membentengi dirinya dengan satu alasan bahwa dia juga dipilih langsung oleh rakyat.
Pak Jusuf Kalla dan Pak Hatta Rajasa diharapkan untuk tetap sadar diri sebagai posisi Wapres nantinya (jika salah satu terpilih). Tidak ada matahari kembar dalam sistem presidensial. Walau ada pelangi di kabinetnya, demokrasi tidak akan bisa mundur. Namun, ekspektasi bisa saja tidak seperti yang dimimpikan. Karena itulah hakekat pemilu, selalu mencari harapan memenuhi ekspektasi.
(*) Staf Khusus Presiden RI
Pewarta : Andi Arief (*)
Editor : Kliwon
Copyright © ANTARA 2025
Terkait
Terpopuler - Pumpunan
Lihat Juga
"Sepenggal Kisah" BPJS Ketenagakerjaan bagi penggali kubur dan pemandi jenazah
22 November 2024 21:06 WIB