Logo Header Antaranews Jateng

Jerman vs Aljazair, Bongkarlah Sejarah Cinta Didapat

Senin, 30 Juni 2014 21:11 WIB
Image Print
Stephanie, warga Brazil yang mendukung timnas Jerman, mengusapkan warna bendera Jerman di pipinya sebelum menyaksikan tayangan langsung pertandingan Grup G Piala Dunia 2014 antara Jerman melawan Amerika Serikat di Belo Horizonte, Brazil, Kamis (26/6)


Kalau dua ditambah dua, menurut kacamata masa lampau dan masa kini, hasilnya tetap empat saja. Nah, bila skuad Aljazair pernah mengalahkan Tim Panzer di Spanyol pada 1982, apakah serta merta sejarah akan berulang? Bukanlah ada ujaran populer, jangan lupakan sejarah atau jasmerah.

Jerman akan ditantang Aljazair dalam laga perdelapan final Piala Dunia 2014 yang akan diadakan di Estadio Beira-Rio, Porto Alegre, pada Selasa, pukul 03.00 WIB. Pemirsa setia tayangan sepak bola di Tanah Air dapat menyaksikan laga itu lewat tayangan yang disiarkan oleh ANTV dan TVOne.

Bermodal kecintaan akan horison sejarah bahwa kemajuan atau progres adalah segalanya, maka pasukan asuhan pelatih Vahid Halihodzic ingin membenamkan optimisme skuad asuhan pelatih Joachim Loew.

Sebagai negara yang terus bertumbuh, Aljazair memegang erat rumus mendasar "pembangunan dan pertumbuhan" yang dihembus-hembuskan oleh pemikir ekonomi pembangunan Rostow dalam buku monumental berjudul "Four Stages of Economic Growth".

Berbekal prediksi Rostow itulah, kini skuad Aljazair punya dogma anyar tentang sejarah, bahwa perjalanan waktu layaknya Malin Kundang yang terus mencari sang ibunda tercinta karena kecinta dan kerinduan kerapkali membakar mereka yang tidak ingin dininabobokan oleh masa lampau.

Di mata dan hati Islam Slimani dan kawan-kawan, Aljazair tentunya tidak tanpa harapan dapat mengalahkan Mueller dan kawan-kawan.

Yang perlu dibangkit-bangkitkan oleh tim wakil Afrika ini, yakni masa depan perlu disandingkan dengan harapan, karena harapan merupakan obat ampuh bagi masa lampau. Masa lampau bukan semata-mata sederet fakta setelah masa kini yang terus berlarian.

Seakan menggenggam masa lampau yang menyakitkan karena menelan kekalahan di Spanyol pada 1982, Jerman langsung merangsek lewat perang kata-kata nyerempet-nyerempet semangat satu Nusa dan satu Bangsa.

"Ein Land, eine Mannschaft, ein Traum" (satu nasion, satu tim, satu mimpi), begitu sematan kata-kata yang dilekatkan dan disanubarikan kepada seluruh punggawa dan tim pelatih Jerman ketika melakoni laga demi laga pesta bola empat tahunan ini di Brasil.

Kata-kata sarat tuah itu memakan korban. Dalam perjalanan mencapai babak 16 besar, Jerman mengalahkan Portugal dengan skor 4-0 (16/6), bermain imbang 2-2 melawan Ghana (21/6), dan mengatasi tim "saudara serumpun" Amerika Serikat dengan 1-0 (26/6).

Penampilan Jerman layaknya deru bergulir mesin. Bagi skuad asuhan Loew, yang ada sekarang adalah masa depan tanpa akhir, karena perkembangan iptek dan sains berciri tidak memiliki akhir.

Tidak heran, bila barisan depan Jerman yang dimotori oleh trio Oezil, Mueller, dan Goetze terus melaju ke depan merangsek pertahanan lawan. Ketiganya bakal menjadi momok bagi pertahanan Aljazair yang digalang oleh empat sekawan, masing-masing Mandi, Bougherra, Haliche, dan Mesbah.

Setelah Jerman menundukkan Portugal, tabloid Bild menurunkan judul berita "Ini Piala Dunia kita". "Jerman akan keluar sebagai juara dunia. Tiada ada tim yang sebaik kita. Pesaing kita hanyalah Brasil," kata mantan pemain timnas Jerman pada 1990, Juergen Kohler. "Ini tim terbaik yang pernah ada," kata mantan personel timnas Jerman yang kini meniti karier sebagai pengamat sepak bola, Guenter Netzer.

"Jogi" panggilan akrab untuk Joachim Loew tahu betul bahwa setelah membongkar sejarah, maka muncullah kenangan akan cinta yang meluap-luap. Meminjam istilah filosof Georg Lukacs, sejarah dari mereka yang terpinggirkan adalah mengisahkan kembali apa yang sesungguhnya terjadi di masa lampau, dengan pernyataan bahasa latin klasik "memoria rerum gestarum".

Loew lantas menerjemahkan rumusan itu dalam menyusun skema permainan. Ia mengisi posisi gelandang yang ditinggalkan Sami Khedira yang boleh dianggap sebagai masa lalu untuk diisi oleh Bastian Schweinsteiger, Philipp Lahm dan Toni Kroos sebagai pemain masa depan.

Menghadapi Aljazair, maka Schweinsteiger akan memerankan skema "passing game". Hanya saja, apakah "Schweini" dapat tampil dengan performa terbaiknya.

"Ia punya segudang masalah cedera dan hal itu dapat saja menghalangi penampilannya melawan Aljazair. Kalau saja Jerman tidak menjadi juara Piala Dunia, maka keputusan menurunkan dia benar-benar catatan kelam bagi masa lalu kita," kata mantan pemain timnas Jerman pada Piala Dunia 2002, Dietmar Hamann.

Perjalanan cinta yang meluap tidak artinya bila tidak menyertakan pertukaran makna dalam kata-kata. Agar ada lintas sejarah, maka manusia wajib hadir secara proaktif dalam proses berkata-kata. Bagaimana mungkin, dua sejoli yang sedang terbakar bara cinta tidak mengungkapkannya dalam kata-kata?

Keputusan menurunkan Lahm di posisi gelandang merupakan hasil diskusi Loew bersama dengan pelatih Bayern Muenchen, Pep Guardiola. Pilihan ini bukan tanpa resiko. "Lahm sebenarnya ingin tampil di posisi bek tengah karena selama ini posisi itulah yang dipercayakan Guardiola kepadanya," kata Hamann.

Lahm memang telah memainkan posisi barunya itu selama enam sampai tujuh bulan, tetapi apakah torehan sejarah itu cukup memadai untuk menunjang penampilan timnas Jerman, mengingat Aljazair bukan lawan yang semenjana juga.

Lahm diharapkan mampu membongkar sejarah yang telah ditorehkan oleh Loew dengan meluapkan dan membangkitkan kecintaan akan Nationalmannschaft dengan berperan sebagai full-bek. Jerman telah memasang dua full-bek, yakni Jerome Boateng dan Benedikt Hoewedes.

Jerman sedang menghidupi gemerlap sejarah dalam diri Thomas Mueller. Tentu saja, pemain ini tidak ingin dijuluki "pencari nikmat sejarah" dengan semata mengejar predikat sebagai pemenang Sepatu Emas, menyejajarkan diri bersama dengan Neymar dan Lionel Messi dengan torehan empat gol, dan James Rodriguez dengan mengemas lima gol.

Berbekal asa ingin membongkar sejarah untuk mendapat tuah cinta akan kemenangan itulah, pelatih Vahid Halilhodzic mendaulat anak buahnya untuk tampil heroik, artinya mengabaikan dan melupakan Kenangan Manis Gijon.

"Kita memang kecil, Aljazair memang kecil dan sekarang kami harus menghadapi Jerman yang punya nama besar di dunia sepak bola dunia. Pertandingan ini bakal berlangsung sengit," kata pelatih Aljazair itu.

Halilhodzic diharapkan menurunkan mantan bek Rangers, Madjid Bougherra dalam "starting XI". Ia kemudian mengutarakan bahwa sejarah senantiasa berpihak kepada mereka yang selalu berusaha dan berniat bekerja keras dengan bermodal pengharapan.

"Timnas ini (Aljazair) telah melewati serangkaian (kemajuan), dan saya berharap bahwa kami mampu tampil lebih baik utamanya ketika melawan Jerman," katanya.

Kini, seluruh pasukan Aljazair memerankan diri sebagai Homo Faber, manusia pekerja, sebuah roman karya pengarang Swiss, Max Frisch (1930-1991), yang mengkritik segala watak rasional dari masyarakat industri Barat.

Semua yang abadi (kemenangan) melebihi yang kini, atau dalam artikulasi Latin: praestat aeterna caducis.

Pewarta :
Editor: Mugiyanto
COPYRIGHT © ANTARA 2024