Festival Lima Gunung Kembali ke Warangan
Sabtu, 9 Agustus 2014 20:38 WIB
"'Wis ayo nang ngomah wae. Wong tuwo ngene mung nggo seneng-seneng nyang ngalas. Sing enom-enom sing mokoki'. (Ayo ke rumah saja. Orang tua begini hanya untuk senang-senang kalau ke kebun. Yang muda-muda yang utama kerja di kebun, red.)," kata Mbah Dargo yang istrinya, Salmi, telah berpulang pada tahun 2002.
Macam-macam hal diomongkan Mbah Dargo dengan sesekali suaranya berapi-api, antara lain tentang laku spiritual, kalimat-kalimat kearifan desa, dan pengalaman hidup pribadinya, termasuk pada zaman penjajahan Belanda, Jepang, kemerdekaan RI, maupun pada tahun 1965 (pemberontakan PKI).
Selain itu, menyangkut pentas wayang orang, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 yang hingga saat ini masih berbuntut proses hukum di Mahkamah Konstitusi, tanaman sayuran dan tembakau di kebunnya, serta anak, cucu, dan buyutnya. Dia memiliki dua anak, dan masing-masing 10 cucu serta buyut.
Setiap kali beralih topik pembicaraan, dia mengawali dengan kalimat, "Iki tak enggokke ya!' (Ini saya alihkan pembicaraan, red.)".
Perbincangan juga termasuk soal rencana Festival Lima Gunung yang digelar pada tanggal 23--24 Agustus 2014 di kampungnya itu.
Nama Mbah Dargo memang dikenal kuat di kalangan para seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh), antara lain karena karakter orisinalnya yang desa terpancar kukuh saat berkesempatan pidato.
Festival yang menjadi puncak silaturahmi tahunan para pegiat Komunitas Lima Gunung itu, pertama kali pada tahun 2002 di Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan, Kecamatan Pakis, pada 2003 juga berlangsung di dusun tempat tinggal Mbah Dargo. Selanjutnya, berpindah-pindah ke dusun-dusun lain di kawasan lima gunung sesuai dengan kesepakatan para petinggi komunitas.
Pada tahun 2004 dan 2006, di kawasan Merbabu, Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis; pada tahun 2005, di Desa Petung, Kecamatan Candimulyo yang juga kawasan Merbabu; pada tahun 2007, di kawasan Sumbing, Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran; dan pada tahun 2008 di kawasan Merapi di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun.
Selain itu, pada tahun 2009 dan 2013, di kawasan Andong, Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak; pada tahun 2010, di kawasan Menoreh, Studio Mendut Kelurahan Mendut, Kecamatan Mungkid; pada tahun 2011, di kawasan antara Merapi dan Merbabu, Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan; dan pada tahun 2012, di Krandegan dan Gejayan.
Festival untuk tahun ke-13 mendatang seakan-akan kembali ke lokasi pertama komunitas tersebut menggelar hajatan seni dan budaya mereka secara mandiri dengan menyuguhkan kekuatan alamiah dan kearifan masyarakat dusun.
"'Legan maneges, Gusti Allah ngijabahi. Madhep, mantep, teteg. (Selalu melakukan pencarian suara batin, Tuhan merestui. Tekun berdoa, mantab melangkah, dan kukuh berpribadi, red.)," katanya yang seakan memberi restu atas festival mendatang di kampungnya itu.
Gotong Royong
Masyarakat setempat sejak seminggu terakhir memang sedang giat bergotong royong menyiapkan areal pementasan kesenian. Mereka juga menghias tepi kanan dan kiri jalan dusun itu dengan umbul-umbul berbahan baku jerami dan bambu menjadi aneka bentuk instalasi alam.
Lokasi pementasan dihias dengan berbagai instalasi berbahan alam dengan membuat bangku dari bambu berbentuk melingkar, beralas duduk dari daun kelapa. Penonton akan ditata duduk di bangku itu, mengelilingi panggung beralas tanah di bawah rerimbun pepohonan cengkih.
Sejumlah instalasi dari rajutan jerami membentuk sepeda kuno, becak, dan sepeda motor tua juga menghiasi arena pementasan.
Mereka juga telah memperhitungkan penempatan tata suara dan tata lampu sesuai dengan kemampuan dusun.
"Sudah seminggu ini kerja bakti, kami perkirakan nanti dua hari sebelum festival sudah selesai," kata warga setempat Darsin (45).
Mereka yang akan menggelar pementasan bukan hanya berbagai grup kesenian Komunitas Lima Gunung, melainkan juga kelompok-kelompok lain yang selama ini menjadi bagian dari jejaring komunitas dengan pemimpin tertinggi budayawan Magelang, Sutanto Mendut itu.
Para penyaji antara lain beberapa grup kesenian dari Kota Surakarta, Kota Magelang, Yogyakarta, Jakarta, Cirebon, Malang, dan Kota Surabaya, sedangkan komunitas itu akan menyuguhkan tarian topeng ireng, topeng saujana, soreng bocah, kuda lumping, sendratari seto kencono, wayang orang, wayang gunung, tarian lengger, dan musik tradisional madyopitutur.
Puncak festival, antara lain ditandai dengan kirab seniman melewati jalan-jalan Dusun Warangan, peluncuran buku "Sanak Kadang" yang isinya tentang kegiatan Komunitas Lima Gunung selama beberapa tahun terakhir, dan pidato kebudayaan.
"Tahun ini, tema festival 'Tapa ing Rame' (Bertapa di tengah keramaian, red.)," kata Ketua Panitia Festival Lima Gunung 2014 Titik Sufiani yang juga warga setempat.
Ia mengatakan bahwa para pimpinan berbagai grup kesenian, terutama dari luar Magelang, telah mengonfirmasi kepada panitia untuk hadir dan menggelar keseniannya dalam festival mendatang.
Pihaknya juga telah mendapat informasi bahwa para tokoh seniman, budayawan, dan penikmat seni, serta kalangan akademi seni budaya juga akan menyaksikan festival.
Warga setempat, kata dia, juga menyediakan rumah-rumah mereka untuk tamu yang hendak menginap secara gratis selama berlangsung festival.
Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto menyebut Festival Lima Gunung telah menjadi kekuatan karakter komunitas itu, justru karena penyelengaraannya yang terus menerus mempertahankan kemandirian.
"Tetap kukuh tidak meminta sponsor dan donatur, dan tidak bicara uang," katanya.
Ia menjelaskan tentang tema festival tahun ini yang menjadi momentum refleksi pegiat komunitas, baik secara individu maupun kelompok, dalam menemukan makna kebatinan, nilai keluhuran budaya, dan harapan kehidupan mendatang yang makin bermanfaat.
Komunitas seniman petani di kawasan lima gunung di Kabupaten Magelang, katanya, selama ini melakukan "perjalanan" untuk kepentingan pertolongan budaya dan kegembiraan manusia dengan tanpa pamrih keuntungan, demi kedamaian sesama.
Usaha-usaha menjalani kehidupan pada masa mendatang, katanya, harus bermanfaat untuk kepentingan kemanusiaan, kemasyarakatan, bangsa, negara, dan perubahan kehidupan dunia yang lebih baik serta bermartabat.
"Arus kehidupan yang kuat dan berkecamuk menjadi terpaan, baik pribadi maupun bersama. Kami berjuang tidak larut dalam arus yang kacau dan bahkan merusak, menemukan makna batin lewat berkesenian dan menjaga nilai budaya desa. 'Ngeli ning ora keli' (Ikut arus tetapi tidak terbawa arus, red)," katanya.
Mbah Dargo pun mengulukkan kalimat doa pribadinya dalam bahasa Jawa yang kira-kira maksudnya agar Festival Lima Gunung 2014 berlangsung lancar, terbebas dari segala kesulitan, sedangkan kegiatan itu membawa manfaat kebaikan untuk semua orang.
"'Niat ingsun arep nisihke sambekala godha rencana, nyaketake barang kang utama. Muga-muga lumasana kula lan panjenengan, sami pinaringan rahayu. Kula mboten wani nolak sambekala, kula nyusun sisihan. Mugi-mugi Gusti Allah ngleksanani panyuwun kula'," demikian penggalan kalimat doa Mbah Dargo untuk festival yang tahun ini bertempat lagi di dusunnya.
Pewarta : M Hari Atmoko
Editor:
M Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025