Refleksi Kemerdekaan di Puncak Gunung Tidar
Minggu, 17 Agustus 2014 17:46 WIB
Melalui beberapa kali pertemuan sebelumnya oleh mereka yang membentuk nama "Gabungan Wartawan Magelang" tersebut, diputuskan bahwa penyelenggaraan peringatan penting untuk seluruh rakyat Indonesia itu di ikon kota setempat, Gunung Tidar.
Mereka gandeng kalangan pers kampus dari Universitas Tidar Kota Magelang, Universitas Muhammadiyah Magelang, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Magelang, dan para pekerja seni di Kota dan Kabupaten Magelang, seperti Mbilung Sarawita, Gepeng Nugroho, Begawan Prabu, Narwan Satra Kelana, Andretopo Kalabendu, dan Bambang Eko Prasetyo.
Ketua Panitia Peringatan HUT Ke-69 RI Gabungan Wartawan Magelang Asep Farid Amani mengatakan bahwa sekitar 50 wartawan dan seniman setempat melakukan upacara yang dikemas secara khas. Namun, tetap khidmat dan bermakna.
Di puncak tertinggi Gunung Tidar, yang sering disebut khalayak sebagai "Pakuning Tanah Jawa" itu, mereka berbagi tugas. Inspektur upacara Frietqi Suryawan (wartawan Radar Jogja), dirigen Puput Dwi Aprilia Puspitasari (Radar Semarang), komandan upacara Asep (Suara Merdeka), protokol Ika Fitriana (kompas.com), dan pembaca doa Nur Imron Rosyadi (Magelang Ekspres).
Dengan takzim, Mbilung yang mantan Ketua Dewan Kesenian Kota Magelang membacakan teks proklamasi kemerdekaan RI dan penyair tua Bambang Eko dengan performa yang terkesan menggetarkan dada setiap wartawan yang menjadi peserta upacara, membacakan teks Pancasila.
Seniman Begawan Prabu dengan tubuhnya berbalut koran dan mata tertutup kain warna hitam tampak berdiri di tengah lapangan di puncak Gunung Tidar, dekat tugu bertulis tiga huruf jawa "Sa" ('Sopo salah seleh', maksudnya siapa bersalah akan jatuh, red.), sambil memegang bambu dengan kibaran bendera pusaka, Sang Merah Putih, secara lantang tanpa teks menyuarakan Pembukaan UUD 1945. Andretopo dan kawan-kawan memainkan performa gerak saat pembacaan teks Pembukaan UUD 1945.
Lagu kebangsaan "Indonesia Raya" pun mereka kumandangkan saat penghormatan terhadap bendera Merah Putih. Mereka juga melantunkan lagu nasional "Padamu Negeri".
Penyair Narwan Satra Kelana membacakan geguritan "Bumi Wutah Getihku" mewarnai khidmat upacara. Para peserta upacara membentuk lingkaran sambil memegang kain ukuran relatif cukup panjang dengan warna merah dan putih.
Gambaran tentang Gunung Tidar saat upacara khas wartawan setempat pada peringatan Hari Kemerdekaan ditorehkan dalam bait pertama geguritan karya Narwan.
"'Esuk iki bumi katon asri. Gumelar jembar ing pucuk Tidar. Sumunar sumringah sunare bagaskara. Padhang sumilak hanelai Nuswantara. Bumi pusaka wus kawentar. Ombak-ombak samodra, kencana kang ngrenggani. Bumi wutah getihku kang daktresnani'," begitu bait tersebut yang kira-kira maksudnya, suasana pagi Gunung Tidar tampak asri dengan matahari bersinar cerah. Nusantara yang sudah kondang itu, bergembira ditemani ombak yang bagaikan berhias emas. Itulah tanah tumpah darahku yang tercinta.
Dia pun menebarkan pesan tentang pentingnya kemerdekaan terus-menerus dijaga oleh seluruh bangsa.
"'Kairing kumlebeting gendera gula kepala. Isining atiku ginurit. Prasetyaku thukul saka ati kang tulus. Njaga langgenging kamardikan. Donga pujiku kebak kaendahan, kanggo bumi wutah getihku'. (Teriring kibaran bendera Merah Putih. Hatiku terpanggil. Tumbuh kesetiaan dari ketulusan hati. Untuk menjaga kemerdekaan agar abadi. Doa dan pujian penuh keindahan, untuk Tanah Air, red.)," demikian bait terakhir geguritan itu.
Asep menyebut wartawan Magelang juga merefleksikan makna aktual tentang peringatan Hari Kemerdekaan melalui upacara itu. Para peserta upacara mengenakan kaus warna hitam dengan tulisan "Wartawan Belum Merdeka".
"Tidak sekadar upacara bendera, tetapi juga kami refleksikan makna kemerdekaan untuk pekerja pers di kota kami ini melalui orasi budaya," kata Asep.
Ia menjelaskan tentang satu perkara dihadapi seorang anggota GWM Frietqi Suryawan yang biasa dipanggil Demang. Pada tanggal 2 Februari 2014 dini hari, rumahnya dilempar bom molotov. Perkara itu telah masuk tahap sidang perdana pada hari Kamis (14/8) di pengadilan setempat dengan tiga terdakwa yang saat itu memutuskan tidak didampingi penasihat hukum.
Para terdakwa tersebut, yakni Choirun Naim (38), warga Kampung Krajan, Desa Maduretno, Kecamatan Kaliangkrik, Kabupaten Magelang; Heri Utama (39), warga Sangrahan Legok, Kelurahan Wates, Kecamatan Magelang Utara; dan Yordan Setiawan, warga Samban, Kelurahan Panjang, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang.
Demang menduga perkara yang bisa menjadi ancaman terhadap kemerdekaan pers itu terkait dengan berita yang ditulisnya tentang pembangunan kembali Pasar Rejowinangun Kota Magelang. Pasar tradisional terbesar di tengah kota setempat itu, terbakar pada pertengahan 2008, sedangkan pembangunan kembali sempat menghadapi persoalan berlarut-larut selama beberapa tahun.
Saat sidang perdana perkara pelemparan bom molotov di rumah Demang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Irwan Effendi itu, jaksa penuntut umum Sandra Liliana Sari dalam dakwaannya mengatakan bahwa terdakwa dikenai Pasal 187 KUHP tentang pembakaran yang menganggu ketertiban umum dan Pasal 55 KUHP tentang tindakan yang dilakukan bersama-sama.
"Menjadi pertanyaan kami, mengapa tidak dimasukkan juga Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers supaya dibuktikan di pengadilan," kata Demang.
Tentang ancaman terhadap kemerdekaan pers di kota kecil dengan tiga kecamatan dan 17 kelurahan, penyair Gepeng Nugroho seakan menebarkan pesan reflektif melalui suguhan karyanya berjudul "Merdeka itu Mutlak".
"Merdeka takperlu menjadi slogan dan materi reklame sebab memang menjadi hak yang harus didapatkan bagi jiwa raga manusia. Merdeka itu bukan sekadar upacara pengibaran bendera karena terbebas dari todongan senjata. Karena merdeka butuh penjelasan dan dipelajari dengan kitab-kitab tebal kehidupan," begitu penggalan puisi Gepeng yang juga pengajar seni di Universitas Tidar Kota Magelang.
Setelah memainkan performa tunggal dengan mengelilingi para pekerja pers Magelang yang dalam upacara itu membentuk barisan melingkar, penyair Bambang Eko pun masuk dalam lingkaran tersebut.
Dia berdiri di samping bendera Merah Putih yang berdiri tegak dipegang oleh Begawan Prabu, untuk menyampaikan pesan melalui puisi "Bendera Jarit Parang".
Salah satu pesan itu, kira-kira bahwa kemerdekaan sebagai negara yang bebas dari penjajahan, telah diraih bangsa Indonesia pada 69 tahun lalu, sedangkan kemerdekaan kehidupan semua kalangan dan lapisan masyarakat Indonesia masih terus diperjuangkan.
"Tak akan tergadai keberanian merah, kesucian putih. Pertanda berjuang takpernah henti. Hari ini kukibarkan bendera jarit parang bunda, dengan berani dan suci jiwa takgentar. Melahirkan anak-anak bangsa, di antara kerikil tajam menghampar," demikian bagian dari puisinya.
Peringatan HUT Ke-69 RI rupanya juga menjadi saat tepat para wartawan Kota Magelang merefleksikan pesan aktual kemerdekaan mereka dalam menjalani panggilan hidup mulia sebagai pewarta.
Pewarta : M Hari Atmoko
Editor:
M Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025