Catatan Akhir Tahun -Dana Desa dan Maraknya Korupsi Kades
Rabu, 31 Desember 2014 06:30 WIB
Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, 15 Oktober 2014, Jaksa Penuntut Umum Agus Darmawijaya menyatakan terdakwa bersama bendahara desa Srining Nuryani telah menggunakan dana bantuan 2011-2012 tidak sesuai dengan peruntukannya.
"Perbuatan terdakwa tersebut menyebabkan negara rugi hingga Rp103 juta," ungkapnya
Jaksa dalam uraiannya menjelaskan perbuatan terdakwa bermula dari pengajuan proposal bantuan ke Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
Dari tiga proposal yang diajukan ke pemerintah provinsi tersebut, Desa Bringin memperoleh bantuan dengan total Rp180 juta.
Dana tersebut, menurut jaksa, tidak sepenuhnya dipergunakan untuk keperluan kegiatan yang dimaksud dalam proposal. "Sejumlah dana yang telah ditransfer ke rekening desa dicairkan oleh terdakwa," ucapnya.
Namun, ada sejumlah uang yang justru diminta oleh terdakwa untuk keperluan pribadinya.
Pada 27 Oktober 2014, mantan Kepala Urusan Pemerintahan Desa Asinan, Kalibening, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Yoto Yudiono, dijatuhi hukuman dua tahun penjara dalam kasus penyimpangan alokasi dana desa pada kurun waktu 2008 hingga 2011.
Hakim Ketua Dwi Prapti dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, juga menjatuhkan hukuman denda sebesar Rp100 juta yang jika tidak dibayar maka akan diganti dengan hukuman kurungan tiga bulan penjara.
Terdakwa Yoto Yudiono juga diwajibkan membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp23,2 juta, sebagai pidana tambahan.
Yoto yang menjabat sebagai sekretaris panitia pelaksanaan penggunaan alokasi dana desa dinilai telah menyalahgunakan wewenangnya bersama dengan mantan Kepala Desa Asinan Subarkah yang juga dimejahijaukan.
Dalam kurun waktu 2008 hingga 2011, Desa Asinan memperoleh alokasi dana yang besarnya Rp100 juta per tahun.
Dana tersebut sedianya digunakan untuk program pemberdayaan masyarakat serta pembangunan fisik.
Namun, terdakwa bersama mantan Kepala Desa Asinan Subarkah diduga menggunakan dana tersebut tidak sesuai dengan peruntukannya.
Sementara itu, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang menghukum Kepala Desa Kebonagung, Sumowono, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Sri Joko Waluyo, dengan vonis 5 tahun penjara dalam kasus korupsi dana bantuan rehabilitasi rumah tidak layak huni di wilayah tersebut.
Dalam sidang yang digelar 22 Desember 2014 tersebut, majelis hakim juga menjatuhkan pidana denda sebesar Rp50 juta yang jika tidak dibayar makan akan diganti dengan hukuman kurungan selama dua bulan.
Orang nomor satu di Desa Kebonagung tersebut juga diharuskan membayar uang ganti kerugian negara sebesar Rp97,5 juta, sesuai dengan perhitungan penyimpangan yang dilakukan atas dana APBN yang disalurkan Kementerian Sosial itu.
Perkara korupsi itu sendiri bermula dari kucuran dana APBN sebesar Rp680 juta bagi 68 warga penerima bantuan rehabilitasi rumah di Desa Kebonagung.
Masing-masing warga seharusnya menerima bantuan Rp10 juta untuk program rehabilitasi tersebut.
Terdakwa diduga menggelembungkan perkiraan harga material bangunan yang akan disalurkan serta membuat pertanggungjawaban yang tidak sesuai dengan kenyataan.
"Terdakwa telah menyalahgunakan wewenangnya sebagai seorang kepala desa," kata Hakim Ketua Gatot Susanto itu.
Tiga perkara korupsi tersebut merupakan sedikit dari puluhan kepala desa dan perangkatnya yang harus diadili karena kasus korupsi.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang mencatat sekitar 30an kasus korupsi yang menyeret para penyelenggara pemerintahan desa tersebut.
Juru bicara Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Gatot Susanto mengatakan berbagai kasus korupsi yang menjerat puluhan penyelenggara pemerintahan desa tersebut cukup beragam.
"Ada yang terkait dengan alokasi dana desa, penjualan aset, dan sebagainya," tutur Gatot.
Motif atas perbuatan pidana ini sendiri, lanjut dia, juga tidak terlalu jelas apakah karena faktor ekonomi atau bukan.
Menurut dia, dasar dari perbuatan korupsi tersebut sebagian besar disebabkan oleh penyalahgunaan wewenang.
"Mungkin karena merasa punya kewenangan, kemudian ada kesempatan untuk melakukannya," katanya.
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Hartadi mengakui cukup banyak kepala desa atau perangkatnya yang terjerat dalam kasus korupsi.
Ia menuturkan penanganan kasus korupsi yang dilakukan penyelenggara pemerintahan desa ini menunjukkan kejaksaan tidak tebang pilih.
Ia menjelaskan korupsi yang idlkukan para kepala desa atau perangkat desa tersebut mungkin jumlahnya relatif kecil.
"Jangan dilihat besar kecilnya uang yang dikorupsi. Apakah kalau korupsinya kecil lalu tidak ditangani?" ujarnya.
Upaya pengawasan
Maraknya korupsi yang dilakukan penyelenggara pemerintahan desa tersebut tentu menjadi perhatian tersendiri, menyusul keputusan pemerintah yang akan mulai mengucukan alokasi dana desa pada 2015.
Tidak tanggung-tanggung, tiap desa nantinya akan memperoleh antara Rp800 juta hingga Rp1,4 miliar.
Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Hartadi mengatakan hal tersebut tentu menjadi perhatian tersendiri kejaksaan.
Menurut dia, uang yang akan dikucurkan pemerintah tersebut tidak sedikit.
"Levelnya miliaraan rupiah, kita kawal terus agar tidak terjadi penyimpangan," tukasnya.
Salah satu upaya yang akan dilakukan, kata dia, yakni dengan memberikan penyuluhan tentang pengelolaan dana desa tersebut.
Ia menegaskan pengawasan administrasi terhadap pengelolaan dana desa tersebut tidak akan sampai lepas agar tidak terjadi penyimpangan.
Pewarta : Immanuel Citra Senjaya
Editor:
Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025