Perlu Keharmonisan Antaraproduk Hukum Terkait Pembangunan Perbatasan
Sabtu, 10 Januari 2015 08:18 WIB
Oleh karena itu, pemerintah perlu serius menyerasikan antarproduk hukum, baik dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, maupun peraturan-peraturan menteri, yang terkait dengan kebijakan pembangunan daerah perbatasan Indonesia di sejumlah provinsi.
Masalahnya, jika relatif banyak produk hukum yang tidak koordinatif dan tumpang-tindih, akan mengganggu percepatan suatu kebijakan pembangunan. Oleh sebab itu, perlu memperhatikan keselarasan tersebut agar tidak menghambat pelaksanaan tugas aparat di lapangan, apalagi bersangkut paut dengan daerah perbatasan Indonesia dengan negara lain.
Berdasarkan informasi dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, pada awal tahun ini Presiden RI Joko Widodo sudah menetapkan keputusan terkait dengan tugas Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) yang diketuai Mendagri dengan menunjuk koordinatornya Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Hal itu, kata Mendagri, untuk mempercepat agenda strategis dan skala prioritas 2015 dalam program yang terkait dengan daerah perbatasan agar sejalan dengan semangat sembilan agenda atau Program Nawacita.
Menyinggung pembangunan daerah perbatasan di sejumlah provinsi, Mendagri yang notabene Kepala BNPP mengungkapkan bahwa selama 10 tahun terakhir pembangunan di wilayah itu tidak terkoordinasi dengan baik sehingga wajah pembangunan perbatasan terpuruk atau terkesan seadanya, padahal dana relatif cukup besar di 17 kementerian/lembaga.
"Sekarang melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam mempercepat pembangunan infrastruktur perbatasan bersama pemerintah daerah setempat," kata mantan anggota Komisi I (Bidang Pertahanan, Intelijen, Luar Negeri, Komunikasi, dan Informasi) DPR RI itu.
Komitmen Presiden Jokowi, menurut Tjahjo, jelas dan tegas untuk pembangunan kawasan perbatasan. Oleh karena itu, penyegaran struktur BNPP perlu dipercepat oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan menyempurnakan peraturan-peraturan yang mengganggu proses percepatan pembangunan kawasan dan kerja koordinatif BNPP yang dikoordinasi oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Mendagri menegaskan bahwa skala prioritas pembangunan harus berkesinambungan untuk tahun-tahun berikutnya dengan mengefektifkan koordinasi perencanaan dan anggaran, di samping volume pembangunan kawasan harus terpadu dan ditingkatkan.
"Dengan instruksi Presiden RI Bapak Jokowi, percepatan pembangunan kawasan perbatasan yang dimulai pada tahun 2015 akan mengubah wajah kawasan perbatasan negara, khususnya 'exit entry point strategies'," kata Mendagri.
Revisi Perpres BNPP
Agar ada keselarasan antarproduk hukum, pemerintah perlu segera merevisi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan (Perpres BNPP).
Pasalnya, sejak penerbitan Keputusan Presiden Nomor 121/P Tahun 2014 tentang Pembentukan Kementerian dan Pengangkatan Menteri, 27 Oktober 2014 hingga sekarang, belum ada revisi terhadap Perpres BNPP. Padahal, susunan keanggotaan BNPP itu masih mengacu pada nomenklatur kabinet sebelumnya.
Berdasarkan Perpres No. 12/2010, susunan keanggotaan BNPP terdiri atas: Ketua Pengarah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Wakil Ketua Pengarah I Menteri Koordinator Bidang Perekonomian; Wakil Ketua Pengarah II Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (berganti nama menjadi Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan).
Kepala BNPP Menteri Dalam Negeri dengan anggota: Menteri Luar Negeri; Menteri Pertahanan; Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; Menteri Keuangan; Menteri Pekerjaan Umum (kini, Menteri PU dan Perumahan Rakyat); dan Menteri Perhubungan.
Anggota BNPP lainnya, yakni Menteri Kehutanan (kini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan); Menteri Kelautan dan Perikanan; Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (kini, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi).
Selain itu, Panglima TNI; Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri); Kepala Badan Intelijen Negara (BIN); Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional; dan gubernur provinsi terkait.
Menyinggung revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan daerah perbatasan, Mendagri berpendapat bahwa tidak perlu merevisi UU Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Akan tetapi, Perpres Nomor 12/2010 tentang BNPP saja yang perlu direvisi dengan segera.
"Tanpa disadari, ada perintah UU tentang Wilayah Negara yang alot penyelesaiannya, yakni membuat Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Kewenangan Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota yang sudah empat tahun belum berhasil dirumuskan pemerintah lalu," kata Kepala BNPP, "
Pria kelahiran Kota Surakarta itu menegaskan, "Peraturan pemerintah pelaksanaan saja belum dibuat, kok, lembaganya yang akan dibubarkan? Bagi kepentingan politik pemerintah, strategi mempertahankan dengan penguatan akan lebih menguntungkan ketimbang membubarkannya."
Dengan demikian, Mendagri selaku Kepala BNPP bisa mengawasi lebih intensif perencanaan koordinasi pemerintah daerah di bawah kementerian koordinator, di samping terlibat dalam koordinasi program pembangunan yang terkait dengan koordinasi departemen/instansi, seperti infrastruktur pekerjaan umum, perhubungan, ESDM, kesehatan, matra-matra TNI, dan pemberdayaan masyarakat desa, kecamatan, melalui pemda setempat.
Wacana Pembubaran BNPP
Menjelang akhir 2014, sempat mengemuka wacana pembubaran BNPP. Padahal, hal yang terkait dengan daerah perbatasan itu sudah termaktub di dalam poin ketiga Program Nawacita. Pemerintah bertekad membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Mendagri merespons wacana tersebut. Tjahjo Kumolo memandang perlu mempertahankan keberadaan BNPP karena sejalan dengan semangat sembilan agenda prioritas pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Program Nawacita.
"Keberadaan BNPP dibutuhkan untuk sukses Nawacita, terutama poin ketiga, yakni membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka NKRI," kata Mendagri.
Bila bubar, menurut mantan Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI itu, akan kontradiktif dengan arah semangat Nawacita.
Sejumlah alasan lain mengapa BNPP perlu dipertahankan dan diperkuat serta direformasi strukturnya atau tidak dibubarkan, kata Tjahjo, antara lain pemerintah harus konsisten melaksanakan amanah UU Nomor 43/2008 tentang Wilayah Negara. Keberadaan BNPP tidak lain untuk mempercepat pembangunan wilayah negara.
"Jadi, pembubaran BNPP akan menjadi perdebatan dan sekaligus tidak menaati undang-undang," kata alumnus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang itu.
Di lain pihak, kata Mendagri, konsisten dengan pergeseran paradigma penanganan perbatasan yang lebih mengedepankan pendekatan "prosperity" (kesejahteraan) seiring dengan pendekatan "security".
Dalam hal ini, lanjut Tjahjo, TNI berada di garda depan dan dilibatkan penuh dalam pembangunan kawasan perbatasan atau tidak semata pertahanan perbatasan NKRI. Di samping itu, kelestarian lingkungan atau menaati tata ruang.
"Terbentuknya BNPP yang optimal, serius, dan terencana akan menjadi wujud keseriusan pemerintah mengedepankan 'prosperity' masyarakat perbatasan," kata Mendagri.
Hal itu, kata Tjahjo, konsisten dengan upaya pemerintahan Kabinet Kerja untuk memperhatikan pembangunan perbatasan.
Oleh karena itu, perlu diwujudkan dengan upaya mengatasi kelemahan, baik birokrasi maupun optimalisasi yang ada selama ini yang melekat pada BNPP. Misalnya, terkait dengan aspek manajerial, khususnya dalam perencanaan dan penganggaran program pembangunan perbatasan, yang tidak terdukung dengan otoritas yang memadai.
Faktor lainnya, lanjut Mendagri, bersifat tata kerja dan kebijakan yang mudah bisa dipecahkan dengan menyempurnakan Perpres Nomor 12/2010 tentang BNPP.
Mereformasi BNPP
Di lain pihak, Mendagri memandang perlu mereformasi BNPP agar lebih meningkatkan kinerjanya mengingat kondisi daerah perbatasan yang saat ini sudah memprihatinkan.
"Presiden RI Bapak Joko Widodo sangat perhatian terhadap kondisi perbatasan kita. Beliau ingin mempercepat pembangunan kawasan perbatasan," kata Tjahjo.
Mendagri menekankan, "Yang penting struktur organisasi BNPP direformasi, dirampingkan, dan dipangkas birokrasinya, serta mempercepat pembangunan kawasan perbatasan yang kondisinya sekarang ini sudah memprihatinkan dari berbagai aspek."
Menyinggung soal implementasi dan alokasi anggaran 2015, Mendagri menjelaskan bahwa hal itu akan ditempatkan pada empat kementerian/lembaga (K/L).
"Secara periode harus digelar rapat koordinasi dengan menko terkait dan dilaporkan kepada Presiden RI guna mengetahui progres pembangunan wilayah perbatasan tiap tahun yang harus ada perubahan signifikan," paparnya.
Hal yang berkaitan dengan anggaran pada tahun 2015, Mendagri mengatakan, dengan anggaran pusat sebesar Rp12 triliun, pemerintah bisa berbuat banyak untuk kawasan perbatasan dan kesejahteraan serta pembangunan yang terencana serius di wilayah perbatasan.
Tjahjo menyebutkan 187 kecamatan yang berada di daerah perbatasan RI dengan negara lain, yakni mulai dari Aceh, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
Mendagri juga mengunjungi kembali daerah perbatasan RI-Papua Nugini di Skaw Wutung, Papua, Minggu (28/12).
Sebelumnya, Kepala BNPP itu juga telah melihat dari dekat kondisi warga negara Indonesia di sejumlah daerah perbatasan, antara lain di Pulau Sebatik (daerah perbatasan RI-Malaysia) yang berada di Kabupaten Nunukan, Kalimatan Utara; Sangir Talaud (RI-Filipina) yang berada di Sulawesi Utara; daerah perbatasan RI-Malaysia dan RI-Singapura yang berada di Kepulauan Riau.
Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor:
M Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025