Gaji, Tanggung Jawab, dan Risiko Kerja
Rabu, 4 Februari 2015 12:06 WIB
Begitu pula camat dan wali kota yang di Jakarta merupakan jabatan karir. Tabungan mereka kini dan di masa mendatang benar-benar bakal semakin gemuk.
Begitu pula para kepala dinas dan seluruh pejabat struktural. Dengan hanya rajin bekerja saja, mereka mendapat apa yang disebut tunjangan statis yang besarnya belasan juta rupiah. Kalau berprestasi, itu ada tunjangannya sendiri. Namanya tunjangan dinamis. Itu belum termasuk tunjangan transpor.
Pendek kata, PNS di DKI Jakarta di bawah asuhan Ahok ini bakal menangguk banyak uang halal bila mereka berkinerja memuaskan. Ukuran dari memuaskan adalah memberi pelayanan prima kepada publik. Satu lagi, mereka tidak korupsi, menerima gratifikasi/suap, atau imbalan tidak sah lainnya.
Otonomi daerah memang memberi keleluasaan bagi pemimpin daerah untuk mengatur penggunaan anggaran bagi perbaikan kesejahteraan PNS. Besaran gaji pokok PNS di satu daerah dengan daerah lain memang sama. Akan tetapi, besaran tunjangan atau apa pun namanya, itulah yang membedakan. PNS di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah kini juga menikmati gaji jauh lebih tinggi dibanding sebelumnya sejak Gubernur Ganjar Pranowo menerapkan tunjangan prestasi kerja. PNS di level terendah sedikitnya menerima TPP Rp3,5 juta/bulan.
DKI Jakarta dengan APBD 2015 sekitar Rp72 triliun memang jauh lebih leluasa mengelola anggaran untuk memacu kinerja pegawainya dengan cara meningkatkan gaji PNS. Namun, masalahnya, tidak semua kabupaten, kota, dan provinsi memiliki anggaran cukup untuk memberi tambahan kesejahteraan bagi PNS. Jadi, jangankan meniru bisa memberi setara dengan gaji PNS Jakarta. Sepertiganya saja masih sulit.
Bahkan, beberapa daerah, termasuk di Jawa Tengah, APBD-nya malah terkuras untuk belanja gaji PNS. Angka pendapatan asli daerah (PAD) yang kecil menjadi penyebab daerah selalu tergantung anggaran dari pusat, termasuk dalam memberi gaji pegawai.
Oleh karena itu, sampai hari ini kita masih menyaksikan banyak PNS dengan gaji pas-pasan kendati pangkat dan golongan mereka mungkin sama dengan koleganya yang ada di DKI Jakarta. Nasib guru PNS jauh lebih merata karena tunjangan sertifikasi guru berlaku sama.
"Hujan" rupiah bagi PNS di DKI Jakarta itu akhirnya memang mengundang kecemburuan PNS dari daerah lain. Mungkin beban tugas kerja di DKI dengan di daerah memang beda. Namun, dengan melihat besarnya penghasilan yang bisa dibawa pulang, tentu membuat "ngeces" bagi PNS dan profesi lain. Yang dikhawatirkan, pemberian gaji fantastis PNS di Jakarta ini merembet ke daerah-daerah.
Sekadar perbandingan, gaji lurah Rp33 juta itu setara dengan gaji direktur sebuah BUMN kecil. Bedanya, risiko dipecat direktur BUMN ini jauh lebih besar dibandingkan dengan lurah di DKI Jakarta. Setelah dipecat, direktur ini bisa menjadi pengangguran bila tak cepat dapat pekerjaan lagi. Sedangkan lurah, sebagai PNS, paling hanya kehilangan posisi, namun dia tidak kehilangan gaji dan pekerjaan meskipun sama sekali tidak berprestasi.
Berlimpah ruahnya rupiah para PNS di DKI Jakarta itu juga membuat iri PNS di daerah karena secara umum sebenarnya tidak ada perbedaan tugas dan tanggung jawab. Mereka sama-sama melayani masyarakat. Ahok juga beralasan bahwa pemberian gaji besar agar PNS tidak terima suap atau korupsi. Akan tetapi, itu bukan berarti PNS di daerah bergaji kecil mendapat toleransi untuk korupsi atau menerima gratifikasi.
Kita bukannya tidak setuju ada perbaikan kesejahteraan bagi pelayan publik seperti PNS. Namun, sekali lagi, seharusnya kebijakan tersebut melihat kepantasan atas upah dengan tanggung jawab dan risiko kerja. Bandingkan dengan tentara dan polisi muda yang masih banyak bertahan hidup di asrama karena belum cukup duit untuk cicil rumah sendiri. Padahal, beban dan risiko kerja dua profesi tersebut sangat tinggi.
Bandingkan pula dengan risiko kerja seorang dokter muda bergaji di bawah Rp5 juta yang setiap bertugas dibayangi ancaman pasal malapraktik. Kalau terbukti, dokter malang ini tidak saja kehilangan penghasilan, tapi tamat juga profesinya. ***
Pewarta : Achmad Zaenal M
Editor:
Zaenal A.
COPYRIGHT © ANTARA 2024