Menilik Kesiapan Nusakambangan sebagai "Pulau Eksekusi"
Jumat, 20 Februari 2015 15:01 WIB
Lima terpidana mati yang dieksekusi di Nusakambangan terdiri atas Namaona Denis (48) warga negara Malawi, Marco Archer Cardoso Mareira (53) warga negara Brasil, Daniel Enemua (38) warga negara Nigeria, Ang Kim Soei (62) warga negara Belanda, dan Rani Andriani atau Melisa Aprilia (38) warga negara Indonesia.
Sementara terpidana mati yang dieksekusi di Boyolali, yakni Tran Thi Bich Hanh (37) warga negara Vietnam.
Setelah sukses melaksanakan eksekusi tahap pertama, Kejaksaan Agung kembali merencanakan eksekusi mati tahap kedua.
Meskipun belum diketahui secara pasti kapan waktunya, Kejaksaan Agung sempat menyatakan bahwa eksekusi mati tahap kedua akan dilaksanakan pada Februari 2015.
Bahkan, Jaksa Agung H.M. Prasetyo memberi sinyal bahwa eksekusi mati akan kembali dilakukan di Nusakambangan.
"Nusakambangan tempat eksekusi paling ideal," kata Prasetyo di Jakarta, Jumat (13/2).
Sama seperti pelaksanaan eksekusi mati tahap pertama yang sempat tertunda dari waktu yang direncanakan pada akhir 2014 menjadi pertengahan Januari 2015, eksekusi mati tahap kedua pun kembali ditunda dengan berbagai alasan.
Salah satu alasan Kejaksaan Agung menunda pelaksanaan eksekusi mati tahap kedua itu terkait kesiapan lembaga pemasyarakatan (lapas) di Pulau Nusakambangan.
"Tim eksekutor sudah meninjau Nusakambangan, ternyata ada kendala teknis didapati bahwa lokasi agak sulit untuk dilakukan eksekusi terpidana mati secara bersamaan," kata Kepala Pusat Penerangan Umum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Tony Tribagus Spontana di Jakarta, Selasa (17/2).
Oleh karena itu, lanjut dia, pemindahan terhadap terpidana mati yang bakal dieksekusi tidak akan dilakukan dahulu hingga ruang isolasi dan lokasinya siap digunakan.
Dalam hal ini, Kejaksaan Agung menunda pemindahan terpidana mati dari lima lokasi di Tanah Air ke Nusakambangan yang semula akan dilaksanakan pada pekan ketiga Februari.
Lima lokasi itu, yakni Kerobokan (Bali), Madiun (Jawa Timur), Tangerang (Banten), Palembang (Sumatra Selatan), dan Yogyakarta.
Menurut dia, pihaknya juga menerima permintaan dari pihak Divisi Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kememkumham) Jawa Tengah agar pemindahan terpidana mati itu tiga hari sebelum pelaksanaan eksekusi.
Dalam kesempatan terpisah, Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Jawa Tengah Mirza Zulkarnain mengatakan bahwa Pulau Nusakambangan siap menerima terpidana mati yang akan dieksekusi.
"Kalau kita siap saja kapan diperlukan tetapi kita juga mempertimbangkan kondisi pengamanan," katanya di Cilacap, Selasa (17/2).
Menurut dia, pihaknya selalu berkoordinasi terkait masalah tempat atau ruang isolasi bagi terpidana mati yang akan menjalani eksekusi di Pulau Nusakambangan.
"Kalau soal tempat, berapa kemampuan kita, ya diputuskan nanti dalam koordinasi itu. Jadi, sesuai dengan kemampuan," katanya.
Ia mengatakan bahwa selama ini, ruang pengamanan atau isolasi bagi terpidana mati akan dieksekusi untuk sementara masih memadai.
"Kalau nanti akan di-'setting' untuk lebih maksimal ya kita harapkan, tapi itu tingkat pusat (kebijakan Kemenkumham, red.)," katanya.
Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kemenkumham Jateng Yuspahrudin mengatakan bahwa pihaknya hingga saat ini belum mengetahui berapa jumlah pasti terpidana mati yang akan dieksekusi karena hal itu menyangkut kapasitas ruang isolasi yang tersedia di Nusakambangan.
"Kalau kurang, berapa yang akan dieksekusi, kalau yang kemarin (ruang isolasi di Lapas Besi saat eksekusi pada 18 Januari 2015, red.) bisa diisi lima orang. Kalau diisi 100 orang ya tidak cukup," katanya.
Ia mengatakan jika jumlah terpidana mati yang bakal dieksekusi sudah dipastikan, pihaknya akan segera menyiapkan ruang isolasi tersebut.
Akan tetapi, kata dia, pihaknya hingga saat ini masih menunggu tanggal pelaksanaan eksekusi karena yang berwenang menentukan tanggalnya adalah jaksa.
Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa di dalam lapas sebenarnya tidak ada ruang isolasi khusus untuk terpidana mati yang akan dieksekusi.
"Yang ada (adalah) ruang pengasingan untuk diamankan sementara, kalau isolasi khusus itu (terpidana mati yang akan dieksekusi, red.) enggak ada. Kita saja yang membuatnya untuk itu (isolasi)," katanya.
Dalam kesempatan berbeda, Yuspahruddin mengakui bahwa pihaknya kesulitan untuk menyiapkan ruang isolasi di satu lapas jika terpidana mati yang akan dieksekusi dalam jumlah banyak.
"Agak rumit juga, kita susah cari tempatnya. Kalau yang kemarin (ruang isolasi di Lapas Besi, Nusakambangan) cukup sih tapi riskan sekali kalau di dalamnya banyak," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, pihaknya akan menyiapkan beberapa lokasi seperti Lapas Batu karena para terpidana mati itu harus diisolasi sebelum dieksekusi.
Pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof. Hibnu Nugroho menduga Pemerintah Republik Indonesia agak bergeming setelah adanya tekanan-tekanan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, Australia, dan sebagainya sehingga menunda rencana eksekusi mati tahap kedua.
"Hal itu saya kira sebagai alasan yang bijak karena tidak langsung 'counter' atau melawan. Tetapi diulur-ulur untuk merespons apa yang diinginkan PBB maupun Pemerintah Australia," katanya.
Kendati demikian, dia mengatakan bahwa golnya tetap harus dieksekusi karena Indonesia saat ini dalam kondisi darurat narkoba.
"Idealnya harus dieksekusi, tidak usah ibarat 'baik-baik' tetapi belakangnya eksekusi. Kita harus tegas karena punya kedaulatan," katanya.
Ia mengatakan bahwa masalah kesiapan di Nusakambangan bukan suatu alasan untuk menunda eksekusi mati.
Menurut dia, alasan untuk menunda pelaksanaan eksekusi mati itu hanya alasan yang dibuat-buat.
"Kalau masalah ruang isolasi yang dikatakan belum siap, ruangan itu bisa disiapkan karena yang terpenting dapat dilakukan pengamanan khusus," katanya.
Disinggung mengenai kondisi salah satu terpidana mati yang mengalami gangguan jiwa, Hibnu mengatakan bahwa hal itu harus segera dibuktikan secara medis.
Ia mengaku khawatir gangguan jiwa itu hanya alasan yang dibuat-buat hanya untuk menghindari pelaksanaan eksekusi mati.
"Ini tanggung jawab pemerintah untuk memastikan terpidana mati itu benar-benar gila atau hanya 'gila-gilaan,'," katanya.
Kejaksaan Agung menerima surat dari Lembaga Pemasyarakatan Pasir Putih, Pulau Nusakambangan, yang menyatakan bahwa salah satu terpidana mati asal Brasil, Rodrigo Gularte, mengalami gangguan jiwa.
"Diterima Surat Lapas Nusakambangan, salah satu terpidana mati mengalami gangguan jiwa," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Tony Tribagus Spontana di Jakarta, Selasa (17/2).
Dikatakan, pihak Lapas sudah meminta Kejagung untuk melakukan pemeriksaan medis di luar Nusakambangan mengingat fasilitas yang ada di sana terbatas.
Oleh karena itu, kata dia, Kejagung sedang mempertimbangkan "second opinion" atas terpidana mati tersebut.
Adanya terpidana mati yang mengalami gangguan jiwa itu, menjadi salah satu pertimbangan juga dengan ditundanya pelaksanaan eksekusi mati tahap kedua.
Terkait kondisi kejiwaan Rodrigo Gularte, Kepala Lapas Pasir Putih Hendra Eka Putranto mengatakan bahwa Kedutaan Besar Brasil meminta dilakukan pemeriksaan psikologi terhadap terpidana mati tersebut.
Oleh karena itu, kata dia, pihaknya memeriksakan kondisi psikologi Rodrigo Gularte ke Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas.
"Bener enggak sakit jiwa, prosedurnya kan seperti itu," katanya.
Kendati demikian, dia mengaku belum mengetahui hasil pemeriksaan kejiwaan Rodrigo Gularte.
Tempat Eksekusi
Pulau Nusakambangan yang selama ini dikenal sebagai "Alcatraz"-nya Indonesia telah beberapa kali menjadi tempat pelaksanaan eksekusi bagi sejumlah terpidana mati.
Data yang dihimpun, dua eksekusi mati di Nusakambangan terjadi pada 1985 dan 1987 terhadap Umar dan Bambang Suswoyo yang merupakan terpidana kasus subversi.
Selanjutnya pada 26 Juni 2008 telah dilaksanakan eksekusi terhadap dua terpidana mati kasus narkoba berkewarganegaraan Nigeria, Samuel Iwuchukwu Okoye dan Hansen Anthony Nwaolisa.
Selang satu tahun kemudian, Nusakambangan pada 9 November 2009 menjadi tempat eksekusi bagi tiga terpidana mati kasus bom Bali I, yakni Imam Samudra, Mukhlas, dan Amrozi.
Eksekusi berikutnya telah dilaksanakan pada 17 Mei 2013 terhadap tiga terpidana mati kasus pembunuhan berencana asal Palembang, yakni Jurit, Ibrahim, dan Suryadi.
Enam terpidana mati itu menjalani eksekusi mati di kawasan perbukitan Nirbaya, Pulau Nusakambangan. Nirbaya merupakan salah satu penjara peninggalan zaman penjajahan Belanda yang ditutup sejak 1986 dan saat ini hanya tinggal puing-puingnya saja.
Memasuki 2015, Nusakambangan kembali menjadi "tuan rumah" pelaksanaan eksekusi bagi para terpidana mati.
Sebanyak lima terpidana mati kasus narkoba, yakni Namaona Denis (48) warga negara Malawi, Marco Archer Cardoso Mareira (53) warga negara Brasil, Daniel Enemua (38) warga negara Nigeria, Ang Kim Soei (62) warga negara Belanda, dan Rani Andriani atau Melisa Aprilia (38) warga negara Indonesia telah dieksekusi di Nusakambangan pada 18 Januari 2015.
Akan tetapi eksekusi terhadap lima terpidana mati kasus narkoba itu tidak dilaksanakan di Nirbaya seperti eksekusi-eksekusi sebelumnya, melainkan di lapangan tembak Limus Buntu yang merupakan bekas bangunan penjara.
Kejaksaaan Agung berencana akan mengeksekusi 11 terpidana mati yang sudah ditolak permohonan grasinya dengan lokasi eksekusi di Nusakambangan.
Ke-11 terpidana mati itu, Syofial alias Iyen bin Azwar (WNI) kasus pembunuhan berencana, Mary Jane Fiesta Veloso (WN Filipina) kasus narkotika, Myuran Sukumaran alias Mark (WN Australia) kasus narkotika, Harun bin Ajis (WNI) kasus pembunuhan berencana, Sargawi alias Ali bin Sanusi (WNI) kasus pembunuhan berencana, dan Serge Areski Atlaoui (WN Prancis) kasus narkotika.
Martin Anderson alias Belo (WN Ghana) kasus narkotika, Zainal Abidin (WNI) kasus narkotika, Raheem Agbaje Salami (WN Cordova) kasus narkotika, Rodrigo Gularte (WN Brasil) kasus narkotika, dan Andrew Chan (WN Australia) kasus narkotika.
Akan tetapi hingga saat ini belum diketahui kapan eksekusi mati itu akan dilaksanakan.
Pewarta : Sumarwoto
Editor:
Mahmudah
COPYRIGHT © ANTARA 2025