Logo Header Antaranews Jateng

Mungkinkah Mary Jane Terbebas dari Eksekusi Mati?

Kamis, 30 April 2015 06:13 WIB
Image Print
Aktivis KontraS melakukan aksi menolak eksekusi hukuman mati bagi terpidana kasus narkoba khususnya Mary Jane asal Filipina di depan Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (28/4). Mereka mendesak Presiden Joko Widodo untuk membatalkan eksekusi mati

Akan tetapi, jumlah terpidana kasus narkoba yang dieksekusi berkurang dari data yang dirilis Kejagung pasca-eksekusi tahap pertama yang dilaksanakan pada 18 Januari 2015.

Dalam hal ini, Kejagung merilis 10 nama terpidana kasus narkoba yang masuk daftar eksekusi tahap kedua, yakni Andrew Chan (warga negara Australia), Myuran Sukumaran (Australia), Raheem Agbaje Salami (Nigeria), Zainal Abidin (Indonesia), Serge Areski Atlaoui (Prancis), Rodrigo Gularte (Brazil), Silvester Obiekwe Nwaolise alias Mustofa (Nigeria), Martin Anderson alias Belo (Ghana), Okwudili Oyatanze (Nigeria), dan Mary Jane Fiesta Veloso (Filipina).

Sementara dalam praktiknya, Kejagung hanya mengeksekusi delapan terpidana mati karena eksekusi terhadap dua terpidana ditunda pelaksanaannya.

Sebanyak dua terpidana mati yang eksekusinya ditunda, yakni Serge Areski Atlaoui dan Mary Jane Fiesta Veloso.

Berbeda dengan Serge yang ditarik keluar dari daftar eksekusi tahap kedua beberapa hari sebelum pelaksanaan eksekusi karena adanya gugatan yang diajukan terpidana tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara, penundaan eksekusi Mary Jane disampaikan kepada yang bersangkutan setelah perempuan terpidana mati itu berada di ruang isolasi Lembaga Pemasyarakatan Besi, Pulau Nusakambangan, selama tiga hari.

Bahkan, penundaan tersebut disampaikan kepada Mary Jane menjelang penjemputan para terpidana mati untuk dibawa ke lokasi eksekusi.

Oleh karena eksekusinya ditunda, Mary Jane tidak dibawa ke lokasi eksekusi dan kini telah kembali ke Lapas Wirogunan, Yogyakarta, setelah dipindahkan dari Lapas Besi, Pulai Nusakambangan.

Jaksa Agung H.M. Prasetyo mengatakan penundaan atau penangguhan eksekusi pidana mati terhadap Mary Jane dilakukan atas permintaan pemerintah Filipina karena terpidana tersebut dibutuhkan untuk mengungkap kasus perdagangan manusia.

"Mary Jane diminta untuk memberikan keterangan dan testimoni. Inilah yang menyebabkan kita menghormati proses hukum yang sedang dilaksanakan di Filipina, Mary Jane ditunda pelaksanaan eksekusi matinya. Saya katakan di sini adalah penundaan, bukan pembatalan karena bagaimanapun faktanya Mary Jane tertangkap tangan di Yogyakarta, di wilayah hukum Indonesia, memasukkan heroin ke Indonesia," kata Prasetyo di Cilacap, Rabu (29/4).

Oleh karena itu, Kejagung menunggu hasil dari proses pemeriksaan kasus perdagangan manusia yang dilakukan Filipina.

Menurut dia, jika pemerintah Filipina membutuhkan keterangan dari Mary Jane, merekalah yang harus datang ke Indonesia.

"Jadi, selama diperlukan oleh Filipina untuk mengungkap kasus 'human trafficking', Mary Jane tetap berada di Indonesia," katanya.

Terkait hal itu, dia mengatakan status Mary Jane tetap terpidana karena eksekusi pidana matinya bukan dibatalkan melainkan ditunda.

"Selanjutnya tentu akan kita lihat seperti apa nanti," katanya.

Menurut dia, Mary Jane sudah mengajukan peninjauan kembali (PK) hingga dua kali.

Akan tetapi, katanya, jika kasus hukum di Filipina bisa dijadikan novum baru, Mary Jane memiliki peluang untuk mengajukan PK lagi berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi bahwa PK dapat diajukan lebih dari satu kali.

"Kalaupun dia betul korban dari 'human trafficking', perdagangan manusia, tapi faktanya dia kedapatan membawa heroin ke Indonesia. Jadi, tidak meniadakan tanggung jawab pidana yang selama ini dilakukan oleh Mary Jane," katanya.

Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Badrodin Haiti mengatakan Polri siap membantu melakukan penyelidikan terkait dengan informasi yang menyebutkan Mary Jane merupakan korban perdagangan manusia.

"Polri siap membantu melakukan penyelidikan, apakah ini benar terjadi satu tindak pidana perdagangan orang, 'human trafficking', apakah benar bahwa Mary Jane itu korban 'human trafficking'," katanya di Cilacap, Rabu (29/4).

Aktivis Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) Iweng Karsiwen bersyukur atas kebijakan pemerintah yang menunda pelaksanaan eksekusi hukuman mati terpidana kasus narkoba asal Filipina Mary Jane Fiesta Veloso.

"Saya bersama teman-teman sangat senang sekali atas keputusan yang sementara ini. Tidak sia-sia di mana kami hampir sebulan ini mengunjungi beberapa gereja, beberapa organisasi, lembaga negara, dan melobi pemerintah untuk menghentikan eksekusi Mary Jane," katanya.

Kendati demikian, dia mengaku belum puas karena masih menunggu berlangsungnya proses hukum kasus di Filipina.

Dalam hal ini, kata dia, bandar narkoba sekaligus pelaku "trafficking" yang merekrut Mary Jane, Maria Christina telah menyerahkan diri bersama kekasihnya, Julius.

"Kalau Christina dan Julius sudah dinyatakan bersalah sebagai pihak yang memiliki barang itu, sudah seharusnya pemerintah Indonesia membebaskan Mary Jane. Itulah yang sedang kita kejar, bagaimana meyakinkan Christina dinyatakan bersalah," katanya.

Menurut dia, Mary Jane adalah korban perdagangan manusia yang dilakukan Christina.

"Mary Jane berangkat dari Manila, Filipina, dijanjikan sebagai pekerja rumah tangga di Malaysia. Dia telah membayar uang perekrutan sebesar 7.000 peso dengan memberikan sepeda motornya dan juga HP (telepon seluler, red) dia," katanya.

Sesampainya di Malaysia, Mary Jane diberitahu Christina jika pekerjaannya belum siap dan dibelikan baju-baju bekas.

Selanjutnya, Mary Jane diminta Christina menunggu pekerjaan tersebut selama tujuh hari di Yogyakarta dan dibelikan koper untuk membawa barang bawaannya.

"Koper tersebut terasa berat sehingga Mary Jane memeriksanya karena curiga. Setelah yakin tidak ada apa-apa, Mary Jane segera berkemas untuk berangkat ke Yogyakarta," katanya.

Akan tetapi, katanya, saat menjalani pemeriksaan di Bandara Adisutjipto Yogyakarta, Mary Jane ditangkap petugas Bea dan Cukai karena di balik kulit kopernya ditemukan heroin 2,6 kilogram senilai Rp5,5 miliar.

Dalam hal ini, lanjut dia, petugas curiga terhadap koper yang dibawa Mary Jane sehingga minta izin untuk menyobek kulit kopernya.

"Padahal, Mary Jane sama sekali tidak mengetahui jika ada heroin di kopernya. Dia juga tidak tahu siapa yang akan dituju selama di Yogyakarta karena hanya diberi nomor telepon seseorang," katanya.

Pakar hukum dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho mengatakan jika Mary Jane memang benar-benar korban perdagangan manusia, hal itu harus diuji kebenarannya.

"Pemerintah dalam hal ini pengadilan harus menguji kebenaran bahwa kesaksian itu betul atau tidak, memenuhi unsur kesaksian atau tidak, jadi jangan asal percaya. Kuncinya adalah sejauhmana menguji bahwa Mary Jane hanya sebagai korban," katanya.

Ia mengatakan pemerintah Indonesia bertanggung jawab untuk menguji kebenaran atas kasus perdagangan manusia yang menjadikan Mary Jane sebagai korban, meskipun tempat kejadian perkaranya di negara lain, sedangkan yang narkoba di Indonesia.

Menurut dia, jika kasus perdagangan manusia itu terbukti kebenarannya, bisa dijadikan sebagai novum baru bagi Mary Jane untuk kembali mengajukan PK.

"Tapi lagi-lagi, sejauhmana pengadilan negara melihat keabsahan bukti -bukti tadi. Kita harus berpikir negatif, yang namanya narkoba itu mafianya tinggi sekali sehingga negara harus hati-hati," katanya.

Dengan demikian, Mary Jane belum bisa 100 persen terbebas dari eksekusi atas vonis mati yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Sleman pada 2010 karena TKP kasus perdagangan manusia berada di negara lain, sedangkan kasus narkoba terjadi di Indonesia.


Pewarta :
Editor: Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024