Penguatan Kewenangan DPD RI Suatu Keniscayaan
Minggu, 3 April 2016 18:50 WIB
Bahkan, pemerintah dan DPR RI tidak memasukkan putusan MK dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD-3). Misalnya, terkait dengan Pasal 146 Ayat (1) UU No. 27/2009 yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh MK (vide Putusan MK No. 92/PUU-X/2012).
Namun, dalam salah satu pasal UU No. 17/2014 tentang MD-3, ketentuan itu masih ada. Dalam Pasal 166 Ayat (2), disebutkan bahwa rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) beserta naskah akademik disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR.
Padahal, majelis hakim konstitusi yang diketuai Mohammad Mahfud Md., 27 Maret 2013, menyatakan Pasal 146 Ayat (1) UU No. 27/2009 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, "Rancangan undang-undang beserta penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan kepada Presiden."
Hal itu terjadi, menurut pengamat politik dari Universitas Diponegoro Semarang Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin., karena tidak ada lembaga yang mengeksekusi putusan MK.
Karena melalui pintu nonamendemen UUD 1945 hingga sekarang belum berhasil, satu-satunya jalan adalah mengubah Pasal 20 UUD 1945 dengan menambah "Dewan Perwakilan Daerah" sehingga Pasal Pasal 20 Ayat (1) berbunyi sebagai berikut: "Dewan Perwakilan Rakyat dan 'Dewan Perwakilan Daerah' memegang kekuasaan membentuk undang-undang."
Pada Ayat (2)-nya menjadi: "Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat, 'Dewan Perwakilan Daerah', dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama."
Pasal 22D Pasal Ayat (1) UUD 1945, kata Teguh Yuwono, juga perlu diamendemen karena penempatan kata "dapat" membuat posisi hukum dan posisi DPD tidak kuat, tidak jelas, dan lemah. Sebaiknya dihilangkan lema tersebut sehingga menjadi: "DPD mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah."
"Penghilangan kata itu harus diikuti harmonisasinya terhadap pasal-pasal lain, khususnya menyangkut kewenangan DPD, DPR, dan Presiden. Artinya, harmoni ini tentu harus berawal dari pasal-pasal yang ada pada bagian awal UUD 1945," kata dosen senior pada Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Undip Semarang itu.
Teguh Yuwono juga memandang perlu meniadakan kata "ikut" dalam Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945. "Ikut berarti ada yang mengajak. Kalau tidak ada yang mengajak, ya, tidak bisa ikut," katanya dalam diskusi publik bertajuk Penguatan DPD RI Melalui Amendemen UUD 1945 di Semarang, Selasa (22/3).
Perlu Dukungan Parpol
Pasal-pasal dalam UUD 1945 itu bisa diubah melalui "pintu" amendemen UUD 1945. Namun, kata Teguh Yuwono, bukan hal yang mudah karena membutuhkan usul persetujuan 2/3 anggota MPR RI. Sementara itu, jumlah anggota DPD saat ini tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR atau sebanyak 132 orang dari 33 provinsi.
Dengan demikian, perlu dukungan DPR RI terkait dengan usulan perubahan ke-5 UUD 1945. "Artinya, hampir mustahil amendemen UUD 1945 tanpa dukungan dan pelibatan DPR RI yang secara tidak langsung pasti membutuhkan dukungan politik, khususnya partai politik," katanya.
Teguh Yuwono menegaskan bahwa pasal-pasal dalam UUD 1945 yang masih menempatkan DPD dalam posisi yang lemah. Oleh karena itu, perlu diamendemen.
Pasalnya, kalaupun putusan MK ditindaklanjuti oleh pemerintah dan DPR RI dengan merevisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU MD-3, kewenangan DPD RI tidak sampai memberi persetujuan atau pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-undang.
Dalam UUD 1945 Pasal 22D Ayat (1), disebutkan bahwa DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang. Akan tetapi, kata Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Prof. Dr. Retno Saraswati, S.H., M.Hum., pada kenyataannya DPR RI tidak menindaklanjuti 34 rancangan undang-undang hasil inisiatif DPD RI.
Pasal 22D Ayat (3) menyebutkan: "DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti."
Namun, kata Teguh Yuwono, selama dua periode keanggotaan DPD RI (2004 sampai dengan 2009 dan 2009 s.d. 2014), dari 138 rekomendasi pengawasan yang disampaikan ke DPR RI, ternyata tidak satu pun yang ditindaklanjuti oleh DPR.
Oleh karena itu, Ketua Badan Pengkajian (BP) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Sadono berpendapat bahwa penguatan peran DPD sangat penting.
"Sekarang ini, dalam praktiknya menyerap aspirasi masyarakat, DPD kerap mentok. Pasalnya, tidak bisa ikut langsung membuat keputusan legislasi dan anggaran," katanya.
Dewan Perwakilan Daerah, kata Bambang, hanya bisa memberikan saran dalam penganggaran dan hanya bisa membahas dalam bidang legislasi. Misalnya, ketika dia mengusulkan pembentukan Undang-Undang tentang Bahasa dan Kesenian Daerah, DPR menerima dan membahasnya. "Namun, tinggal UU Bahasa Daerah. Tidak ada keseniannya," katanya.
Bambang mengungapkan bahwa DPD tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak bisa membuat keputusan sehingga penting untuk memperkuat peran DPD supaya perannya lebih optimal.
"Dalam soal anggaran juga. Bagaimana mau memperjuangkan anggaran renovasi Pasar Johar dan sebagainya? Kami sampaikan kepada pihak eksekutif, menteri, dan DPR. Keputusan akhir pada mereka," kata anggota DPD RI asal Jawa Tengah itu.
Ia pun berharap peran DPD bisa lebih diperkuat melalui amendemen UUD 1945 seiring dengan reaktivasi atau pengaktifan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor:
Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025