Logo Header Antaranews Jateng

Kirab "Pala Kependhem" Tandai Puncak Festival Lima Gunung

Minggu, 24 Juli 2016 19:12 WIB
Image Print
Properti patung "Dewi Sri" membawa "pala kependhem" dibawa dalam kirab budaya menandai puncak Festival Lima Gunung XV/2016 di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang di kawasan antara Gunung Merapi dan Merbabu, Minggu (24
Magelang, Antara Jateng - Kirab budaya "Pala Kependhem" secara meriah oleh ratusan seniman petani menandai puncak Festival Lima Gunung XV/2016 di kawasan antara Gunung Merapi dan Merbabu Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu.

Kirab dengan dipimpin salah satu tokoh kejawen Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Sitras Anjilin itu, melewati lingkar dusun yang telah dihiasi dengan berbagai properti berbahan baku alam dari bambu dan jerami.

Mereka yang ikut dalam kirab tersebut juga berbagai kelompok kesenian dari desa-desa sekitar dan seniman yang selama ini berjejaring dengan komunitas seniman petani tersebut, serta puluhan orang yang sedang berjuang mempertahankan tradisi kegiatan Pasar Tiban Paingan Alun-Alun Kota Magelang dari rencana pemerintah kota setempat memindahkan ke kawasan Lapangan Rindam IV/Diponegoro di daerah setempat.

Dalam kirab itu, mereka mengenakan berbagai pakaian kesenian tradisional dan kontemporer. Mereka mengusung properti berupa patung "Dewi Sri" (lambang kesuburan pertanian) yang sedang membawa "pala kependhem" antara lain umbi, singkong, gembili, dan tales.

Sejumlah kelompok kesenian juga membawa dengan tampah berupa "pala kependhem" dalam kirab tersebut. Tema festival selama seminggu (19-24 Juli 2016) adalah "Pala Kependhem" untuk merefleksikan berbagai kekuatan ketahanan pangan dan nilai-nilai moral budaya yang tersimpan dalam masyarakat.

Berbagai tetabuhan alat musik gamelan mengiringi para peserta kirab dari halaman "Panggung Tela" dan berakhir di "Panggung Kimpul" atau panggung utama pementasan kesenian dalam festival tersebut.

Suasana di kawasan antara Gunung Merapi dan Merbabu yang cerah, terkesan makin memperkuat kemeriahan kirab budaya yang menjadi ciri khas penyelenggaraan Festival Lima Gunung.

Mereka kemudian berkumpul di depan "Panggung Kimpul" dengan properti antara lain gunungan raksasa terbuat dari anyaman bambu dan jerami, penjor jerami dengan berbagai motif karya masyarakat Dusun Keron di bawah Sanggar Saujana pimpinan Sujono yang juga salah satu pimpinan Komunitas Lima Gunung.

Dalam konfigurasi yang eksotik di arena panggung itu, mereka melakukan doa dipimpin Sitras Anjilin dan Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto untuk kemakmuran pertanian di kawasan lima gunung dan kesuburan tanah pertanian.

"Di tempat ini berkumpul hati dan kepercayaan sendiri-sendiri. Semua tercipta oleh Tuhan dan mendapatkan perlindungan keselamatan dari Tuhan. Kita berdoa untuk ketenteraman keluarga dan sanak kadang petani," kata Supadi dalam bahasa Jawa ketika mengajak berdoa mereka semua yang terlibat dalam festival dan ribuan masyarakat yang menyaksikan pergelaran tersebut.

Sitras mengatakan "Dewi Sri" sebagai lambang kesuburan pertanian, sedangkan kirab budaya itu mengingatkan masyarakat luas agar mencintai alam dan makhluk hidup.

"Makhluk hidup dan alam, bagaikan air dengan ikan. Ikan yang tidak memperhatikan air, tentu sama dengan bunuh diri. Petani yang menggarap sawah tanda cinta kepada alam," katanya.

Hadir dalam puncak festival tahunan secara mandiri yang diselenggarakan Komunitas Lima Gunung dengan inspirator utama budayawan Sutanto Mendut itu, antara lain Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, budayawan dari Yogyakarta Romo Budi Subanar dan Romo Sindhunata, pimpinan Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegal Rejo yang juga tokoh spiritual Komunitas Lima Gunung K.H. Muhammad Yusuf Chudlori, serta Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Magelang Edy Susanto.

Sejumlah pementasan kesenian pada puncak festival tersebut, antara lain tari topeng Losari "Panji Sutrawinangun" dan "Klana Bandepati" (Sanggar Purwa Kencana Cirebon), tari "Jingkrak Sundang" (Sanggar Saujan Keron), tari "Trunthung Ora Dibahas" (Sanggar Warangan Merbabu Kabupaten Magelang), tari "Gunungan" (Sanggar Wonoseni Bandongan), tari "Nila Tuaku" (Elisabett Nila, Yogyakarta), tari "Dua Sisi" (Kirana Laksita Solo), musik "Batang Hari Sembilan" (Arza Bae, Sumatera Selatan), tari "Kuda Lumping" (Sanggar Andong Jiwani Mantran Wetan Gunung Andong).

Selain itu, sendratari "Aryo Penangsang Gugur" (Padepokan Wargo Budoyo Gejayan Gunung Merbabu), tari "Titis Cahyo Mudo" (Sanggar Cahyo Budoyo Sumbing), wayang waton "Bomanarakasura" (Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor Gunung Merapi), tari "Satu Titik" (Satriyo Ayodya Yogyakarta), performa "Pancandriya dan Puisigetargitar" (Forum Kilometer Nol Borobudur), tari "Muhung Saniskara" (Etta Ayodya Yogyakarta), performa musik eksploratif (Kelompok Bohemian Yogyakarta, Wukir Suryadi Malang, dan Arif Planet Bambu Ubud, Bali), musik "Moco Kahanan Zaman" (Kelompok Jodhokemil Magelang), dan ketoprak (Sanggar Budi Aji Sawangan Kabupaten Magelang).


Pewarta :
Editor: Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025