Logo Header Antaranews Jateng

Fokus pada Keamanan Siber Bakal Meningkat

Selasa, 3 Januari 2017 15:01 WIB
Image Print
Pratama Persadha. (Sumber: CISSReC)
Semarang, Antara Jateng - Menjelang detik-detik pergantian tahun, Sabtu (31/12), jumlah pengguna internet Indonesia naik secara signifikan. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat lebih dari 132 juta pengguna internet di Tanah Air.

"Ini naik lebih dari 50 persen sejak 2015," kata Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi atau Communication and Information System Security Research Centre (CISSReC) Pratama Persadha.

Menurut dia, naiknya pengguna internet disebabkan oleh makin luasnya cakupan internet yang diikuti oleh makin terjangkaunya harga smartphone. Gawai satu ini memang menjadi alat utama dari interaksi dan komunikasi netizen di Tanah Air, khususnya lewat media sosial dan aplikasi pesan singkat.

Naiknya pemakai internet dengan drastis ini ternyata juga diikuti dengan beberapa peristiwa yang berkait langsung dengan keamanan di dunia maya. Selama 2016, misalnya, ada masalah pada aplikasi GoJek sehingga beberapa kali ada peristiwa hilangnya saldo GoPay pengguna.

Belum lagi, kata Pratama yang juga pakar keamanan siber, Yahoo yang diretas dan 1.000.000.000 akun penggunanya terekspos oleh pihak ketiga.

Melihat semangat sumber daya manusia (SDM) lokal dalam menghasilkan aplikasi dan layanan internet, menurut Pratama, relatif cukup besar, perlu diperkuat dengan kesadaran untuk membangun sistem yang aman pula.

Pada tahun 2016, kata dia, adalah tahun pembelajaran. Aplikasi dan layanan internet lokal harus membuktikan bahwa keamanan juga menjadi perhatian serius. Oleh karena itu, pada tahun 2017 fokus pada keamanan siber akan meningkat tajam di semua sektor, terutama perbankan yang mulai mengakrabi "fintech".

Masalah keamanan perbankan memang ramai sepanjang 2016. Setidaknya beberapa peristiwa hilangnya uang nasabah menghiasi media-media nasional. Pencurian dana nasabah di Batam dan Mataram setidaknya mengungkit kembali betapa lemahnya keamanan sistem anjungan tunai mandiri (ATM) perbankan nasional.

Setidaknya, menurut Pratama, kartu yang masih menggunakan pita magnetik dan mesin ATM yang masih memakai Windows XP adalah dua hal yang paling mudah dimanfaatkan pihak ketiga untuk mencuri dana nasbah.

Pada tahun 2017, Pemerintah harus memperkuat regulasi untuk memaksa perbankan melakukan "upgrade" sistem ATM demi keamanan nasabah. Kartu ATM dengan pita magnetik rawan pencurian datanya, belum lagi mesin ATM berbasis Windows XP yang sangat rawan karena tidak mendapat dukungan keamanan lagi dari Microsoft.

Pakar keamanan siber itu memandang perlu mempercepat migrasi ke kartu ATM berbasis chip (cip). Begitu pula, dengan pembaharuan pada mesin ATM. Pasalnya, mesin ATM ini menjadi pintu masuk para pencuri ketika mengambil data nasabah.

Pratama memperkirakan pada tahun 2017 isu keamanan siber akan makin mendapat tempat. Oleh karena itu, semua pihak sebaiknya belajar dari pengalaman sepanjang tahun 2016.


Serangan DDoS

Serangan DDoS, Ransomware, dan email phising diperkirakan masih akan menjadi masalah terbesar masyarakat dunia di wilayah siber. Ditambah lagi, dengan "poor patch management" yang memungkinkan lubang keamanan terbuka karena kelalaian manajerial.

"Ini semua bisa dikurangi dengan peningkatan keamanan siber secara kultural sekaligus didorong oleh Pemerintah," kata Pratama yang pernah menjadi Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg).

Selain isu keamanan, di pertengahan sampai pada akhir 2016, isu tentang aplikasi dan layanan internet asing di Tanah Air juga jadi sorotan. Hal ini terkait dengan keberadaan raksasa teknologi, seperti Google dan Facebook, yang belum jelas bentuk dan pembayaran pajaknya di Indonesia.

Menurut dia, sebaiknya Pemerintah mendorong betul berkembangnya industri aplikasi dan layanan internet buatan dalam negeri. Hal ini untuk mendorong masyarakat sedikit demi sedikit terlepas dari ketergantungan pada raksasa teknologi asing, seperti Google dan Facebook.

Fintech (financial technology) diprediksi bakal makin berkembang seiring dengan keputusan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengeluarkan regulasi tentang fintech di akhir tahun 2016. Fintech merupakan platform digital yang memudahkan masyarakat untuk melakukan transaksi.

Dalam surat elektroniknya, Pratama menyebutkan sejumlah hal yang masuk kategori fintech, antara lain, pembayaran, transfer, jual beli saham, investasi "online", dan peminjaman uang secara "online".

Fintech memberi berbagai kemudahan bagi masyarakat dalam mengakses layanan keuangan kapan saja dan di mana saja. Berbagai macam platform fintech sudah bermunculan di Indonesia. Mobile banking, e-banking, rekening ponsel, "online payment" adalah beberapa contoh dari fintech yang sudah sering digunakan saat ini. Ditambah lagi, dengan maraknya pembayaran aplikasi transportasi "online" yang menggunakan kartu kredit dan dompet digital.

Fintech itu adalah keniscayaan, tidak bisa dihindari dan akan menjadi primadona pada tahun 2017. Menurut Pratama, fintech akan berkembang sangat pesat seiring dengan makin luasnya penggunaan internet dan layanan komunikasi lainnya.

Perkembangan pemakaian fintech di Indonesia relatif cukup bagus. Menurut Survei Fintech Indonesia 2016, perkembangan fintech di Tanah Air sudah mencapai 78 persen pada tahun 2016. Sebagian adalah layanan "payment" sebesar 43 persen. Layanan ini akan makin banyak dan digemari, apalagi anak muda sekarang sudah menjadikan smartphone dan internet sebagai kebutuhan primer.


Regulasi Belum Jelas

Regulasi fintech di Tanah Air masih belum jelas jika dibandingkan dengan negara tetangga, terutama terkait dengan keamanan. Hal ini menjadi salah satu hal yang sangat dipertimbangkan oleh nasabah maupun investor.

Pratama menekankan, "Penyedia layanan Fintech harus memberi jaminan keamanan lebih bagi para penggunanya. Hal ini tidak berbeda dengan perbankan yang masih menjadi sasaran para peretas. Salah satu solusinya adalah penggunaan teknologi enkripsi."

Pemerintah pun, menurut Pratama, perlu mendukung dengan membuat regulasi yang melindungi konsumen jika sewaktu-waktu terjadi hal yang merugikan. Selain itu, perlu juga dilakukan pengawasan dan pengaturan terhadap semua layanan fintech yang ada agar tidak terjadi hal-hal yang menyimpang dan menimbulkan masalah.

"Jangan sampai terjadi kejadian peretasan, lantas pihak nasabah yang disalahkan," kata pria asal Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, ini.

Teknologi yang akan mulai banyak digunakan pada tahun 2017 adalah "digital signature". Teknologi ini sebenarnya sudah banyak dipakai di luar negeri, utamanya untuk mempermudah melakukan "agreement", baik antarswasta maupun antarpemerintah.

Ia berharap pemerintah bisa mengadopsi regulasi untuk mendukung "digital signature' dengan segera. Teknologi ini secara langsung bisa mempercepat laju investasi di Tanah Air karena memotong banyak waktu dan anggaran.

Perjanjian tidak lagi harus datang dan ditandatangani kedua pihak. Namun, dengan teknologi ini masing-masing pihak bisa memastikan bahwa dokumen autentik dan bisa segera melakukan persetujuan.

Pewarta :
Editor: Kliwon
COPYRIGHT © ANTARA 2025