Logo Header Antaranews Jateng

Asa Baru Nelayan setelah Cantrang Dilarang

Jumat, 14 Juli 2017 14:21 WIB
Image Print
Aziz Tarsono nelayan asal Dukuh Sulur RT 04 RW 05 Kelurahan Karangasem Utara, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang, menunjukkan dua alat temuannya yang diberi nama jaring Apollo dan jaring Kelelawar. Ia mengklaim dua jenis alat tangkap ikan tersebut me
Kami lihat alat temuan Pak Aziz ini ramah lingkungan, murah, dan bisa digunakan siapa saja, baik nelayan besar maupun kecil
Semarang, ANTARA JATENG - Alat tangkap ikan bagi kalangan nelayan merupakan nyawa agar bisa memperoleh hasil tangkapan ikan yang banyak dengan harga jaring yang terjangkau.

Sayangnya, dengan jaring biasa, ikan yang didapat para nelayan tentu tidak sesuai harapan, sedangkan untuk memperoleh ikan yang banyak, nelayan harus menggunakan jaring "purse seine" atau pukat cincin yang harganya bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Harga tersebut tentu saja tidak bisa dijangkau nelayan sehingga sebagian besar nelayan terutama di wilayah perairan utara Jawa memilih cantrang sebagai sarana untuk mencari ikan.

Cantrang adalah penangkap ikan berbentuk kantong terbuat dari jaring dengan dua panel dan tidak dilengkapi alat pembuka mulut jaring.

Secara teknis, cantrang dioperasikan dengan menangkap ikan yang ada di dasar perairan dengan menarik jaring menggunakan kapal yang sedang bergerak.

Sehingga apapun yang ada di dasar perairan dan berada di depan mulut jaring tersebut akan ikut masuk ke dalamnya, termasuk biota laut dan habitatnya.

Alat tangkap ini memiliki kemiripan dengan trawl atau biasa disebut dengan pukat harimau.

Dengan sistem seperti itu, cantrang termasuk alat tangkap yang dinilai tidak ramah lingkungan sehingga perlu diganti.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawl) dan Pukat Tarik (Seine Nets) yang ditandatangani pada 9 Januari 2015.

Kebijakan ini ungkap sang menteri diambil karena kondisi laut semakin memburuk yang dibuktikan dengan semakin menurunnya hasil tangkap ikan nelayan akibat eksploitasi berlebih.

Salah satunya dengan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan sehingga tidak mampu menjaga ekosistem laut. Susi menyebut, jumlah kapal cantrang di Provinsi Jawa Tengah terus meningkat dari 3.209 unit pada 2004, naik menjadi 5.100 unit pada 2007, dan 10.758 unit pada 2015 sehingga sebaran cantrang di pantura menurutnya sudah melebihi batas.

Susi juga mengatakan bahwa selain merusak ekosistem, banyak pemilik cantrang tidak membayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang semestinya, sebab mereka dengan sengaja menurunkan kapasitas kapal (mark down).

Hingga saat ini, pro dan kontra masalah cantrang masih terus menjadi perdebatan, bahkan gelombang penolakan dari para nelayan dan politikus juga terus muncul karena cantrang yang sudah digunakan berpuluh-puluh tahun itu oleh sebagian besar nelayan dianggap menjadi alat tangkap yang menguntungkan.

Tidak mau turut dalam hiruk pikuk pelarangan cantrang, seorang nelayan asal Dukuh Sulur RT 04 RW 05 Kelurahan Karangasem Utara, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang yang bernama Aziz Tarsono, justru sibuk berinovasi dengan menciptakan alat tangkap baru yang ramah lingkungan.

Ramainya berita tentang pelarangan penggunaan cantrang itu menjadi titik awal penyempurnaan inovasinya yang sempat terpendam selama lebih dari 30 tahun.

Hingga akhirnya, pada 5 Agustus 2015, ia menyelesaikan purwarupa alat tangkap baru ramah lingkungan yang diharapkan menjadi inovasi baru bagi nelayan.

Dua alat tangkap ikan temuan Aziz itu diberi nama Apollo dan Kelelawar karena memiliki bentuk yang seperti pesawat luar angkasa serta sayap binatang kelelawar.

Pria kelahiran 12 Oktober 1961 ini menceritakan, inovasi yang diciptakannya berawal dari kegagalan orang tuanya menjadi nelayan.

Ketika itu, ayahnya yang seorang nelayan harus benar-benar bangkrut karena jaring yang digunakan tidak memberikan hasil tangkapan yang bisa menghidupi keluarga.

"Ayah saya pelaku, punya kapal dan sudah berganti-ganti alat tangkap, seperti millenium dan gillnet yang semuanya cepat rusak dan tak memberikan hasil," katanya.

Hingga suatu hari, modal satu-satunya dari keluarga tersebut adalah sepeda motor Aziz yang turut terjual untuk membeli alat tangkap ikan baru.

Merasa penasaran, Aziz yang saat itu masih muda kemudian ikut melaut bersama sang ayah, namun sayang karena cuaca ekstrem dan gelombang tinggi yang melanda, jaring yang sudah dibentangkan hingga sekitar 2 kilometer hilang terbawa arus.

Mengetahui kondisi itu, Aziz kemudian mencari tahu dan mempelajari tentang alat tangkap ikan berdasarkan pengamatan yang dilakukan saat ikut melaut.

"Lalu pada sekitar tahun 1981 muncul pembicaraan tentang alat yang saya buat ini dengan ayah saya, tapi waktu itu masih sebatas pembicaraan, dan ide itu hilang begitu saja sepeninggal ayah saya," ceritanya.

Tidak lama kemudian, Aziz mengikuti sosialisasi tentang alat tangkap lain selain cantrang yakni millenium dan gillnet yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Batang.

Dari situlah muncul kembali ide yang pernah ia pendam sejak lama. "Pada sosialisasi pengganti cantrang itu, saya tahu semua alat tangkap yang digunakan. Alat-alat itulah yang membuat ayah saya bangkrut, itu alat yang sudah lama ditinggalkan nelayan kenapa muncul lagi. Disitulah saya bilang saya ada konsep alat tangkap yang lebih bagus," jelasnya.




Sejak itu, ayah dari empat anak ini menyelesaikan konsep alat tangkap yang kemudian dipresentasikan melalui Dinas Kelautan dan Perikanan setempat.

Namun sayangnya, presentasi tentang alat tersebut hanya mendapatkan apresiasi dari pemerintah daerah setempat, padahal ia mengatakan hanya membutuhkan dana untuk bisa melakukan uji coba Apollo dan Kelelawar di laut.

"Dulu pernah saya pakai, tapi untuk di tambak. Sekitar tahun 1990, setelah itu ada kemarau panjang, usaha saya itu bangkrut juga," ujar lulusan SMK Pertanian Petarukan, Kabupaten Pemalang itu.

Konsep dua alat tersebut juga sudah sampai di meja kerja Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, tapi sayangnya Aziz tak mengetahui bagaimana kelanjutan terkait proposalnya.

Hingga pada akhirnya oleh dinas terkait dan Unit Pelayanan dan Pengoperasian Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Inovasi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Tengah (dulu bernama Badan Penelitian dan Pengembangan Jateng), Aziz diminta ikut lomba Kreatifitas dan Inovasi dan berhasil masuk sepuluh besar pada tahun ini.

Aziz mengklaim dua jenis alat tangkap yang diciptakannya ini merupakan jaring yang ramah lingkungan karena hasil tangkap ikan selektif sehingga tetap menjaga biota laut.

Selain itu, ia menyebutkan bahwa jaring ini akan menghemat bahan bakar hingga 80 persen, kualitas hasil tangkapan lebih baik, serta tidak ada kendala memasuki pasar global.

"Alat ini lebih praktis dan efektif karena bisa dioperasikan di segala medan dan disesuaikan besar kecil kapal, dan yang pasti bahan untuk membuatnya semua tersedia di dalam negeri," katanya.

Kelebihan lain menurutnya yakni alat bisa langsung diangkat dalam situasi darurat dan hasil tangkapan ikan-ikan yang masih hidup bisa dibudidayakan.

"Dan yang pasti alat ini bisa dikembangkan lagi semisal dengan perangkat hidrolik dan perangkat lunak, jadi bisa tinggal pencet jaringnya sudah turun," paparnya.

Menurut dia, cara kerja kedua alat ini cukup sederhana dan efektif menangkap ikan.

"Apollo yang memakai konstruksi seperti payung terbalik ini diturunkan di laut berdasarkan koordinat yang telah ditentukan `fish fender` (alat pelacak ikan di laut) dengan menggunakan alat derek. Pada bagian tengah alat diberi pakan ikan dan lampu yang dinyalakan saat malam hari, sekitar 10-15 menit, jaring ditarik ke atas," katanya.

Penggunaan jaring Kelelawar juga hampir sama dengan jaring Apollo, tapi jangkauannya lebih lebar dan kedua alat ini sama-sama tidak menyentuh dasar laut sehingga terumbu karang aman.

"Untuk pengoperasian alat ini bisa ditambah dengan alat pengusir ikan hiu, alarm sentuh karang, lampu khusus laut, dan umpan agar benar-benar aman," ujarnya.

Aziz menambahkan, jaring Apollo bisa digunakan nelayan manakala arus air laut cukup deras, sedangkan saat arus tidak terlalu deras bisa menggunakan jaring Kelelawar.

Biaya untuk membuat jaring Apollo cukup terjangkau bagi para nelayan yakni hanya sekitar Rp37,5 juta, sedangkan jaring Kelelawar Rp47,5 juta atau disesuaikan dengan ukuran kapal nelayan.

Alat-alat pendukung operasional jaring Apollo dan jaring Kelelawar antara lain, baja antikarat, baja ringan, aluminium, tali baja, tali nilon, tali plastik, mesin derek otomatis dan manual, ganco katrol, lampu khusus laut, genset, serta kompas.

Kepala UPP Iptekin Bappeda Jateng Hatta Hatnansya Yunus mengapresiasi inovasi nelayan asal Batang ini dan berharap bisa dikembangkan menjadi salah satu alternatif alat tangkap ikan pengganti cantrang, meskipun tetap perlu dilakukan uji coba di lapangan.

"Kami lihat alat temuan Pak Aziz ini ramah lingkungan, murah, dan bisa digunakan siapa saja, baik nelayan besar maupun kecil," katanya.

Iptekin Bappeda Jateng siap membantu pengembangan jaring Apollo dan jaring Kelelawar agar bisa menjadi solusi pengganti cantrang.

"Yang jelas kami jamin dan akan memfasilitasi pengurusan Hak Kekayaan Intelektual bagi Pak Aziz atas jaring Apollo dan jaring Kelelawar," ujarnya.

Senada dengan Hatta, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah Lalu M. Syafriadi menyambut baik rencana pengembangan jaring Apollo dan jaring Kelelawar.

"Kami mendukung dan akan membantu pengembangannya, termasuk memfasilitasi agar beliau (Aziz Tarsono) bisa memperoleh pinjaman dari bank," katanya.

Sementara itu, nelayan Kabupaten Batang lainnya, Suroso, saat dimintai tanggapannya terkait alat baru ini berharap segera ada pengganti cantrang.

"Kalau ada alat yang sama atau lebih efektif dari cantrang, ya kami mau menggunakannya agar hasil tangkapan ikan bagus dan sesuai aturan pemerintah," ujarnya.


Pewarta :
Editor:
COPYRIGHT © ANTARA 2025