Logo Header Antaranews Jateng

Menyelisik Riwayat Pohon Tembaga di Banyumas

Jumat, 8 September 2017 07:19 WIB
Image Print
Suprapto memperhatikan pohon tembaga yang telah berusia ratusan tahun dan tumbuh berdampingan dengan pohon nagasari di Desa Pekunden, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas, Kamis (7/9/2017). (Foto: ANTARAJATENG.COM/Sumarwoto)
Pagi itu, seorang pria tua bernama Suprapto (78) tampak memandangi sebatang pohon yang tumbuh di kompleks Makam Tembaga, Desa Pekunden, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Sesekali, pria kelahiran Pekunden itu memegang batang pohon berwarna cokelat kekuningan yang dikenal masyarakat dengan sebutan pohon tembaga.

"Dulu, semasa kecil, saya sering main ke sini dan pohon tembaga ini telah tumbuh namun sampai sekarang ukurannya enggak berubah, tetap seperti ini. Kompleks makam ini diberi nama Tembaga karena adanya pohon tembaga ini," ujar Suprapto.

Dia mengaku jika semasa kecil tidak peduli terhadap keberadaan pohon tembaga di desanya.

Akan tetapi dalam beberapa waktu terakhir, benaknya terusik oleh pohon tembaga yang memiliki tinggi lebih kurang 10 meter dan diameter terbesar sekitar 30 centimeter itu.

Hal itu disebabkan pohon tembaga yang tumbuh di Banyumas hanya satu batang dan belum diketahui manfaatnya.

"Sepertinya, pohon tembaga ini bagus kalau dijadikan sebagai salah satu destinasi wisata karena usianya yang sangat tua dan mungkin hanya satu-satunya. Di sini pun cuma hanya ada satu batang, entah bisa dikembangkan atau tidak," katanya.

Pemerintah Kabupaten Banyumas diharapkan dapat mengembangkan potensi pohon tembaga sebagai salah satu destinasi wisata karena diduga berkaitan erat dengan sejarah Banyumas.

Dia meyakini akan banyak wisatawan yang datang untuk melihat secara langsung pohon tembaga yang sudah berusia ratusan tahun itu.



Babad Banyumas

Dugaan keterkaitan pohon tembaga dengan sejarah Banyumas itu diamini warga Desa Pekunden lainnya, yakni Sugito (79).

Menurut dia, keberadaan pohon tembaga itu tercatat dalam kisah Babad Banyumas.

Dalam kisah tersebut Adipati Wirasaba Raden Joko Kahiman (selanjutnya menjadi bupati pertama Banyumas, red.) yang bergelar Adipati Warga Utama II mendapat wangsit supaya membuka tempat baru yang berada di barat laut Desa Kejawar yang ada pohon tembaga jika ingin lestari dalam menjalankan tugas sebagai adipati.

"Kalau dalam bahasa Jawa `yen sira pengin lestari nggonira jumeneng adipati, trukaha papan anyar kang dhumunge lor kulone Desa Kejawar kang ana wite tembaga`," kata Sugito.

Selanjutnya, Raden Joko Kahiman pergi ke Kejawar untuk menemui orang tua angkatnya, Kiai Mranggi, guna menceritakan wangsit yang diterimanya.

Setelah mendengar penuturan Raden Joko Kahiman terkait dengan wangsit itu, Kiai Mranggi langsung memberi dukungan dan mencarikan arah lokasi yang disarankan dalam wangsit, yakni barat laut Kejawar hingga akhirnya mendapatkan daerah yang sekarang dikenal dengan nama Banyumas.

Daerah itu semula berupa rawa yang cukup luas dan hutan yang terdiri atas berbagai jenis pohon.

"Setelah disurvei, dari sekian banyak pepohonan yang tumbuh ditemukanlah pohon tembaga sehingga pohon-pohon lainnya ditebang, sedangkan rawa-rawanya dikeringkan dengan cara mengalirkan airnya ke Sungai Serayu. Selanjutnya (pada 1571, red.) daerah itu dibangun dan sampai sekarang dikenal dengan nama Banyumas," jelas dia yang merupakan pensiunan guru Sekolah Menegah Pertama Negeri 1 Patikraja, Banyumas.

Lebih lanjut mengenai pohon tembaga, dia mengatakan tim dari Yogyakarta pernah meneliti pohon tersebut.

Dari hasil penelitian, pohon tembaga itu diketahui tidak memiliki bunga dan tunas sehingga sulit untuk dibudidayakan secara alami.

Bahkan, tim peneliti juga mencoba mengembangbiakkan pohon tembaga itu melalui kultur jaringan namun gagal dan bagian-bagian lain dari pohon juga tidak memiliki manfaat bagi manusia.

Selain itu, sel kulit dari pohon tembaga itu tidak ada kesamaan dengan pohon lainnya sehingga untuk sementara disimpulkan sebagai satu-satunya pohon tembaga di Indonesia.

Dia mengaku senang ketika mengetahui jika upaya kultur jaringan itu gagal sehingga pohon tembaga hanya ada satu batang, yakni yang tumbuh di Banyumas dan tidak ada di tempat lain.

Oleh karena itu, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Banyumas (saat itu) segera memasang papan peringatan bahwa pohon tersebut merupakan tanaman langka dan bersejarah yang dilindungi.

"Namun sekarang papan tersebut sudah tidak ada," kata Sugito.

Menurut dia, daun pohon tembaga akan meranggas ketika musim kemarau seperti saat sekarang dan merimbun ketika musim hujan.

Salah satu keunikan pohon tembaga tersebut adalah ukurannya yang tidak berubah.

"Dari dulu sampai sekarang ya seperti itu karena semasa kecil, saya sering mencari jangkrik di situ," ujarnya.

Bahkan, pohon tembaga itu belum pernah tumbang meskipun pohon nagasari yang berhimpitan dengan pohon tembaga sempat beberapa kali tumbang dan selanjutnya tumbuh lagi.

Dia mengaku sepakat dengan pemikiran Suprapto untuk menjadikan pohon tembaga sebagai salah satu destinasi wisata yang dirangkaikan dengan wisata Kota Lama Banyumas.

Kendati demikian, ada beberapa bagian yang perlu dibenahi, salah satunya jembatan kecil menuju lokasi pohon tembaga.



Dapat Dibudidayakan

Berbeda dengan pendapat tim peneliti dari Yogyakarta seperti yang diceritakan Sugito, salah seorang petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Jawa Tengah Seksi Konservasi Wilayah II Cilacap-Pemalang Dedi Rusyandi mengatakan bahwa pohon tembaga itu sebenarnya dapat dikembangbiakkan selama ada kemauan.

Ia mengaku pernah mengecek pohon tembaga tersebut dan muncul dugaan jika pohon tembaga itu masih satu keluarga dengan pohon pucuk merah karena ada kemiripan.

"Kami berencana ke sana lagi untuk memastikan apa yang bisa dilakukan jika pohon itu akan dikembangkan di tempat lain," katanya.

Kini tinggal menunggu waktu, apakah pohon tembaga itu memang tidak bisa dibudidayakan seperti yang disimpulkan tim peneliti, ataukah dapat dikembangkan di tempat lain selama ada kemauan.

"Kami juga berharap ada tim peneliti lain yang turut meneliti pohon tembaga ini," kata salah seorang warga, Suprapto.


Pewarta :
Editor:
COPYRIGHT © ANTARA 2024