Logo Header Antaranews Jateng

Pemerintah Menilai Emir Moeis tidak Memiliki Kedudukan Hukum Ajukan Uji Materi

Rabu, 1 November 2017 15:51 WIB
Image Print
Terdakwa kasus korupsi proyek PLTU Tarahan Lampung, Izedrik Emir Moeis mendengarkan pembacaan vonis Hakim di Pengadilan Tipikor, Jaksel, Senin (14/4). Hakim akhirnya memvonis Emir Moeis tiga tahun penjara, lebih rendah dari Jaksa yang menuntut 4 tahu
Jakarta, ANTARA JATENG - Pemerintah yang diwakili Direktur Litigasi Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham Ninik Hariwanti, menilai Emir Moeis selaku Pemohon dari uji materi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan uji materi tersebut.

"Pemerintah berpendapat bahwa tidak terdapat kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon terhadap keberlakuan pasal a quo," ujar Ninik di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Rabu.

Pemerintah dalam mencermati kedudukan hukum Pemohon menyebutkan bahwa pihaknya melihat kerugian yang dialami oleh Pemohon bukanlah merupakan kerugian konstitusional.

Menurut Pemerintah Pasal Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) KUHP yang diuji oleh Pemohon, dapat diberlakukan oleh pihak penuntut umum maupun terdakwa.

Selain itu pasal a quo merupakan ketentuan yang jika terjadi hal-hal di luar kewajaran untuk keterangan saksi dalam persidangan dapat tetap sebagai saksi baik oleh penuntut umum maupun oleh terdakwa.

Pasal a quo juga dikatakan oleh Pemerintah memberikan kesempatan yang sama oleh para pihak untuk memberikan keyakinan hakim baik terhadap penguatan fakta atau pembelaan tuntutan yang disampaikan para pihak.

"Berdasarkan hal-hal tersebut, permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum dan adalah tepat jika permohonan Pemohon tidak dapat diterima," ujar Ninik.

Sebelumnya mantan anggota DPR dari Fraksi PDI-P Emir Moeis mengajukan permohonan uji materi Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) KUHP.

Pemohon yang diwakili oleh kuasa hukumnya Yusril Ihza Mahendra mengatakan norma tersebut telah menghilangkan asas legalitas dan juga sekaligus menghilangkan hak Emir selaku Pemohon untuk memperoleh keadilan dan kepastian hukum.

Adapun Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP menyebut seorang saksi boleh tidak hadir di persidangan dan cukup menyampaikan keterangannya secara tertulis. Namun, keterangan saksi yang tidak hadir itu sama nilainya dengan saksi yang hadir di persidangan.

Menurut Pemohon ketentuan itu berpotensi menghilangkan hak konstitusional seorang terdakwa dan rentan diselewengkan oleh jaksa penuntut umum, sebab keterangan saksi tersebut tidak bisa dibantah oleh saksi-saksi yang lain, tidak bisa dikonfrontir dengan keterangan yang lain, dan tidak bisa ditanya oleh terdakwa.

Emir menjadi terdakwa dalam kasus dugaan suap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tarahan, Lampung, pada 2004. Saat itu, Pemohon berkali-kali meminta jaksa penuntut umum dan majelis hakim menghadirkan Presiden Direktur Pacific Resources Pirooz Muhammad Sharafih yang berkewarganegaraan asing, namun tidak pernah didatangkan.

Atas kasus yang menjeratnya itu, Pemohon divonis tiga tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider 3 bulan penjara, dan kini Emir selaku Pemohon meminta agar Majelis Hakim membatalkan pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya.



Pewarta :
Editor:
COPYRIGHT © ANTARA 2024