Logo Header Antaranews Jateng

Perlu Formula Upah Berbanding dengan Keuntungan Perusahaan

Selasa, 21 November 2017 10:21 WIB
Image Print
Aliansi Buruh Kota Semarang berunjuk rasa menuntut upah layak. (Foto:ANTARAJATENG.COM/Wisnu Adhi N.)
Semarang, ANTARA JATENG - Unjuk rasa menjelang penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) maupun upah minimum provinsi (UMP) merupakan kelaziman bagi pekerja/buruh di sejumlah daerah. Agar tidak menjadi kebiasaan setiap tahun, perlu ada formula upah yang berbanding dengan keuntungan perusahaan.

Apa yang dilakukan oleh 1.000-an buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Kota Semarang pada tanggal 15 November 2017 terkait dengan tuntutan upah layak sebesar Rp2,7 juta per bulan adalah sesuatu yang lumrah seiring dengan penaikan sejumlah kebutuhan pokok.

Bahkan, ada di antara mereka yang menilai formulasi penghitungan UMK yang berpatokan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan tidak relevan lagi karena penghitungannya tidak sesuai dengan kebutuhan hidup layak (KHL).

Pada saat unjuk rasa di depan gerbang Kantor Gubernur Jawa Tengah, Jalan Pahlawan Semarang, Rabu (15-11-2017), Koordinator Aliansi Buruh Kota Semarang Karmanto mengatakan bahwa pihaknya telah membuktikan dengan melakukan penghitungan sendiri dan hasilnya jauh di atas penghitungan yang menggunakan formulasi PP No. 78/2015.

Karmanto pun beranggapan formulasi PP tersebut tidak sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yakni setiap buruh berhak memperoleh penghasilan yang layak.

Ia pun berharap Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menetapkan UMK 2018 di 35 kabupaten/kota se-Jateng sesuai dengan KHL 2017 ditambah inflasi serta pertumbuhan ekonomi.

Tuntutan mereka wajar, apalagi mereka juga menuntut nilai kenaikan UMK 2018 tidak boleh lebih rendah dari kenaikan tahun sebelumnya, baik nominal maupun persentasenya.

Sementara itu, penghasilan yang layak (versi PP No. 78/2015) adalah jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar.

Penghasilan yang layak diberikan dalam bentuk upah dan pendapatan nonupah (berupa tunjangan hari raya keagamaan). Selain tunjangan hari raya keagamaan, pengusaha dapat memberikan pendapatan nonupah berupa bonus, uang pengganti fasilitas kerja, dan/atau uang servis pada usaha tertentu.


Akomodasi Semua Pihak

Idealnya penetapan UMK atau UMP bisa diterima oleh semua pihak. Bahkan, menurut anggota Komisi VI (Bidang Perdagangan, Perindustrian, Investasi, Koperasi, UKM, dan BUMN) DPR RI Juliari P. Batubara, mekanisme penetapan UMP 2018 sudah mengakomodasi semua pihak, terutama buruh dan pengusaha.

Di sela kegiatan reses atau serap aspirasi di Kelurahan Bendan Ngisor, Kecamatan Gajahmungkur, Semarang, yang menjadi resesnya yang ke-67 sejak sebagai wakil rakyat, Minggu (12-11-2017), Juliari berpendapat bahwa masing-masing pihak tidak bisa menuntut lebih. Misalnya, upah tinggi maka akan memberatkan dunia usaha.

Ari, sapaan akrab politikus PDI Perjuangan itu, mengatakan bahwa Pemerintah juga harus melakukan penghitungan cermat agar UMP tidak terlalu di bawah standar kebutuhan minimum. Artinya, masing-masing pihak memang harus berkompromi untuk menemukan titik temu. Kalau terlampau tinggi upahnya, industri tidak akan mau masuk ke Jateng. Demikian pula, sebaliknya terlalu rendah, kasihan pekerja.

Wakil rakyat asal Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Tengah 1 (Kota Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Semarang, dan Kendal) ini mengapresiasi mekanisme penetapan UMP sekarang yang sudah mendasarkan PP No. 78/2015.

Menurut dia, kenaikan upah yang terjadi setiap tahun dengan mekanisme seperti itu menjadi lebih "predictable" dan terukur. Dalam pengembangan usaha, semuanya harus terprediksi, termasuk soal kenaikan upah pekerja setiap tahun. Kalau tidak terprediksi bagaimana? Menurut dia, bisa kacau. Oleh karena itu, unsur-unsur ketidakpastian, apalagi dalam dunia usaha, harus dikurangi seminimal mungkin.

Pemerintah telah menetapkan kenaikan UMP 2018 sekitar 8,71 persen menggunakan formulasi tingkat inflasi nasional, pertumbuhan ekonomi nasional, dan besaran UMP tahun ini yang mengacu pada PP Nomor 78/2015.

Setiap keputusan, menurut Ari, tidak mungkin memuaskan semua pihak. Namun, mekanisme penetapan UMK 2018 sudah lebih bagus karena "predictable".

Apabila ada perusahaan yang nantinya tidak menaati keputusan UMK yang sudah disepakati, Ari meminta pemerintah daerah proaktif karena merupakan kewenangannya. Misalnya, memberikan teguran atau sanksi bagi perusahaan yang membandel.



Kondisi Perusahaan

Ketidaktaatan terhadap putusan UMK, antara lain, kemungkinan karena faktor kondisi keuangan perusahaan yang tidak mampu memberikan upah minimum tersebut. Kalau dipaksakan, akan berdampak buruk, baik pekerja/buruh maupun pengusaha.

Oleh sebab itu, sebelum menaikkan upah perlu pula memperhatikan kondisi keuangan perusahaan. Jangan sampai menaikkan upah justru membebani perusahaan yang akan berujung pada kebangkrutan.

Formulasi penghitungan upah ini perlu secara cermat agar perusahaan untung, sementara pekerja/buruh makin meningkat kesejahteraannya.

Sesuai dengan peraturan perundang-undangan, komponen upah terdiri atas upah tanpa tunjangan, upah pokok, dan tunjangan tetap, atau upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap. Diatur pula besaran upah pokok paling sedikit 75 persen dari upah pokok dan tunjangan tetap. Upah ini diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Agar berbanding dengan keuntungan perusahaan, besar kecilnya upah pekerja/buruh perlu bergantung pada masa kerja, kinerja, dan pendidikan mereka.

Pekerja/buruh yang kinerjanya baik sehingga mendatangkan keuntungan bagi perusahaan tentu upahnya lebih tinggi daripada mereka yang bekerjanya asal-asalan.

Kalau perlu, memberi surat peringatan (SP) kepada pekerja/buruh yang tidak pernah mencapai target. Pemberian SP ini akan berdampak pada pekerja/buruh lainnya untuk bekerja lebih giat demi kemajuan perusahaannya.

Bahkan, dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 161, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja/buruh yang melakukan pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Namun, sebelum mem-PHK, terlebih dahulu pengusaha memberi SP pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.

Surat peringatan itu masing-masing berlaku untuk paling lama 6 bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pemberian sanksi atau penaikan upah terhadap pekerja/buruh berprestasi secara konsisten akan berdampak pada iklim kerja yang sehat sekaligus mendorong perusahaan berdaya saing tinggi.


Pewarta :
Editor:
COPYRIGHT © ANTARA 2025