Logo Header Antaranews Jateng

Industri Rokok Skala Kecil Berhak untuk Hidup

Rabu, 20 Desember 2017 14:25 WIB
Image Print
Ilustrasi - Buruh rokok. (ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho)
Semarang, ANTARA JATENG - Kenaikan harga rokok secara berkelanjutan menjadi salah satu penyebab peredaran rokok ilegal susah dihentikan karena pasar rokok nircukai ini memang tidak pernah mati.

Harga murah menjadi iming-iming paling besar bagi pecandu rokok yang ingin membakar daun tembakau tanpa harus menguras kantong lebih dalam. Selisih harga rokok bercukai dengan yang ilegal bisa sampai lebih dari separuhnya.

Harga rokok kelas bawah di tingkat eceran biasanya ditebus dengan harga Rp 6.000/bungkus isi 12 batang, namun rokok nircukai bisa dibeli dengan harga Rp2.000-3.000/bungkus dengan jumlah sigaret yang sama.

Kalau melihat harga dan segmen yang disasar, itulah ceruk pasar yang selama ini digarap industri rokok skala rumah tangga, mikro, dan kecil dengan produksi di bawah 10 juta batang per tahun.

Industri rokok kecil memang menanggung beban paling berat atas kenaikan tarif cukai kendati beban cukai yang ditanggung lebih rendah dibanding dengan pabrik besar dengan produksi mencapai miliaran batang per tahun.

Kendati demikian, dengan segala keterbatasan modal, teknologi, promosi, dan sumber daya manusia menjadikan kemampuan mereka mempertahankan kelangsungan hidup menjadi sangat rendah.

Ibaratnya air banjir sudah merendam hingga dagu sehingga ketika terjadi gelombang sedikit saja, terjangan air langsung menyergap mulut dan hidung sehingga mereka kesulitan bernapas.

Sementara itu, raksasa industri rokok dengan kemampuan modal nyaris tak terbatas dan dukungan promosi yang demikian masif, selama ini mampu menaklukkan konsumen kelas menengah atas yang rela merogoh Rp20.000-an ribu demi sebungkus rokok. Oleh karena itu mereka masih bisa terus eksis bahkan tumbuh dan berkembang.

Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) mencatat kenaikan tarif cukai terus-menerus menyebabkan industri rokok skala rumah tangga dan kecil secara perlahan namun pasti gulung tikar.

Pada 2009 jumlah pabrik rokok sekitar 4.900-an pabrik, namun pada 2015 tinggal tersisa 600-an pabrik. Rencana kenaikan cukai pada 2018 dikhawatirkan akan memakan korban industri rokok skala kecil.

Pengurus Forum Komunikasi Perusahaan Rokok Kecil (FKPRK) Kudus, Agus Suparyanto menyatakan pada 2010 jumlah industri rokok di Kota Kretek ini masih sekitar 400 industri, namun pada 2017 tinggal tersisa 89 yang terdiri atas tiga pabrik rokok besar dan 85 skala kecil sekali.

Bahkan, jumlah tersebut kemungkinan bakal berkurang lagi menyusul kenaikan cukai pada 2018.

Menurut dia, maraknya rokok ilegal belakangan ini berkorelasi dengan kebijakan cukai yang tidak ramah terhadap industri kecil. Persentase kenaikan cukai pada pabrik rokok golongan III dengan produksi di bawah 500 juta/batang/tahun pada 2018 malah lebih tinggi dari rata-rata kenaikan yang 10 persen.

Pada 2017 per batang rokok produksi skala kecil dikenai cukai Rp85, namun pada 2018 naik menjadi Rp100 batang atau naik 17 persen lebih.

Menurut dia, pemerintah tetap perlu melindungi industri rokok skala kecil agar mereka tetap hidup sekaligus membayar cukai dengan tarif yang sesuai dengan kemampuan. Kebijakan ini diyakini bakal mampu menekan peredaran rokok ilegal.

"Keahlian mereka memang membuat rokok. Kalau cara hidup mereka terus ditekan, larinya ya (jualan rokok) ilegal (tanpa pita cukai)," katanya.

Ia mengungkapkan dari 46 kasus rokok ilegal yang terungkap di Kudus, sebagian pelakunya adalah mereka yang sebelumnya berusaha di bidang rokok secara legal.

Di Kudus pada19 Desember 2017, sebanyak 21.116.184 batang rokok ilegal jenis sigaret kretek mesin dengan nilai barang sebesar Rp24,95 miliar dan potensi kerugian negara sebesar Rp11,21 miliar, dimusnahkan.

Dibandingkan tahun 2016, kata Kepala Kantor Wilayah Bea Cukai Jateng-DIY Parija pada pemusnahan rokok ilegal tersebut, penindakan pada 2017 naik pesat sebesar 25,4 persen jika dilihat dari jumlah batang rokok.

Jumlah rokok yang disita tersebut ibarat hanya puncak gunung es karena jauh lebih besar lagi yang beredar namun luput dari penindakan. Kenaikan harga rokok legal berpotensi menambah pangsa pasar rokok ilegal yang harganya memang jauh lebih murah.

Agus Suparyanto memprediksi jumlah peredaran rokok ilegal mencapai 10-12 persen dari rokok ilegal dengan total produksi nasional sekitar 360 miliar batang/tahun.

Menurut dia, usahawan rokok yang dulunya bermain legal kemudian terdesak, sementara keahliannya memang hanya membuat rokok, akan terdorong melakukan "moral hazard" dengan segala risiko hukum yang harus dihadapi.

Pemerintah seharusnya melindungi pabrik rokok kecil karena mereka juga memiliki kontribusi terhadap pemasukan negara dan menyerap tenaga kerja.

Perlindungan tersebut bisa berupa penyediaan mesin pengolah yang mampu menghasilkan tembakau berkadar tar dan nikotin rendah. Bisa pula berupa penyediaan kredit murah untuk pembelian bahan baku.


Ambigu

Ekonom Universitas Diponegoro Semarang Nugroho SBM menilai kebijakan cukai rokok tidak memihak pabrik kecil sehingga memicu membesarnya peredaran rokok ilegal.

Nugroho, yang pada 2004 bersama Kementerian Keuangan melakukan riset cukai rokok, menyatakan berkurangnya produksi rokok kala itu disebebabkan oleh banyaknya rokok ilegal.

"Karena produksi rokok legal menurun, penerimaan cukai negara juga tidak mencapai target," kata dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip itu.

Kondisi itulah yang kemudian ditindaklanjuti dengan terus menaikkan tarif cukai dengan target penerimaan negara bertambah sekaligus berusaha menurunkan produksi dengan dalih mengurangi jumlah perokok.

"Kebijakan pemerintah soal rokok ini memang ambigu. Maunya penerimaan naik terus, tapi produksinya menurun sehingga cara yang ditempuh ya dengan menaikkan cukainya," katanya.

Namin di balik itu, menurut dia, kebijakan tersebut juga menyuburkan produksi rokok ilegal karena banyak industri skala rumah tangga dan kecil sekali tidak mampu membayar cukai yang terus melejit.

Karena keberadaan industri rokok sampai sekarang masih legal, menurut dia, sudah selayaknya pemerintah memperlakukan mereka dengan adil.

"Paling tidak, jangan sampai persentase kenaikan tarif cukai mereka lebih tinggi daripada industri besar," katanya.

Rokok memang tidak baik bagi kesehatan tubuh sehingga konsumsinya harus dikendalikan. Namun, tidaklah bijaksana bila kebijakan pengendalian dengan menaikkan tarif cukai dan menurunkan produksi tersebut malah memakan korban industri kecil.

Seperti halnya dengan industri rokok skala besar, pabrik rokok skala rumah tangga juga memiliki hak hidup.


Pewarta :
Editor:
COPYRIGHT © ANTARA 2025