Logo Header Antaranews Jateng

Memahami hakikat kampanye

Selasa, 27 Februari 2018 20:15 WIB
Image Print
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si. (Foto. Dok. pribadi)
... bila tidak direvisi, bisa juga menimbulkan kecurigaan antarpeserta pemilu ....
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan larangan kampanye memakai gambar Soekarno, Soeharto, B.J. Habibie, dan pendiri Nahdlatul Ulama (NU).

Dampaknya, ada partai politik (parpol) peserta pemilu yang senang. Namun, tentu saja ada yang memprotesnya, bahkan kemungkinan bisa saja berujung pada munculnya gugatan untuk membatalkannya.

Mungkin, maksud KPU itu baik. Demi mendidik masyarakat agar lebih cerdas, pesan-pesan kampanye yang disampaikan diharapkan mampu mencerdaskan masyarakat, misalnya melalui program-program yang visioner.

Namun, di sisi lain mungkin KPU lupa bahwa kampanye yang pada hakikatnya adalah upaya menarik simpati para calon pemilih itu adalah bagai sebuah iklan. Bila demikian, ketika orang beriklan menarik perhatian para calon konsumen, si pengiklan perlu memahami apa keinginan serta kebutuhan riil (actual needs) calon konsumen yang dalam bahasa iklannya juga disebut "consumers insight".

Di sisi lain, kampanye yang hakikatnya adalah iklan tersebut dari sisi komunikasi, tentu bersifat linier (bertujuan memengaruhi) sehingga pesan yang digunakan adalah pesan persuasif. Salah satu metode yang digunakan dalam melancarkan persuasif agar efektif adalah metode asosiasi.

Pada metode ini, biasanya pesan komunikasi dikaitkan dengan figur ataupun benda yang dipandang sangat populer di kalangan calon konsumennya. Dalam kampanye politik, tentu adalah calon pemilihnya. Contoh konkret, misalnya Yamaha memanfaatkan figur Valentino Rossi, Extra Joss memanfaatkan Ade Ray, Semen Tiga Roda memanfaatkan kuatnya Candi Borobudur, dan sejenisnya.

Pada metode ini figur yang dimanfaatkan jelas bukan pengurus, pegawai, atau bahkan belum tentu menggunakan produk yang ditawarkan meski dalam iklan atau kampanye komersial, berakting meyakinkan bahwa mereka menggunakan produk tertentu. Dalam bahasa komunikasi digunakanlah secara maksimal teori dramatisme dengan mengandalkan metafora theatrical alias action.

Pertanyaannya selanjutnya adalah bagaimana dengan aturan KPU yang melarang penggunaan figur-figur yang populer, bahkan sangat populer di kalangan calon pemilihnya? Mungkinkah aturan semacam itu ditinjau kembali sehingga tidak memicu kegaduhan yang kontraproduktif?

Pemilih Tradisional
Partai politik (parpol) atau siapa pun yang melakukan kampanye akan menggunakan cara apa pun selama cara yang digunakannya tidak melanggar undang-undang, peraturan, ataupun etika. Penggunaan figur populer, terlebih dalam menjaga kesetiaan calon pemilih tradisional, adalah sah dan menggunakan metode yang secara ilmiah benar, selama isi pesannya tidak dimanipulasikan, tidak ada salahnya.

Kita tentu masih ingat, tatkala era Orde Baru hanya ada tiga parpol, dan PPP masih bergambar Kakbah, pernah dilakukan pesan kampanye yang menyesatkan yang berbunyi "Mencoblos Kakbah, masuk". Bila kita cermati, dalam konteks pesan kampanye ini, tentu bukan Gambar Kakbahnya yang salah, melainkan mereka yang memanipulasikan Kakbah untuk kepentingan politik sesaat yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan kejadian setelah manusia meninggal dunia.

Belajar dari hal itu, sebaiknya bukan gambar figur tertentu yang dilarang, melainkan memanipulasikan figur-figur tersebut dengan kalimat-kalimat yang menyesatkan. Penggunaan gambar Bung Karno yang telah lama menjadi trademark (merek dagang) PDIP, tentu akan sangat merugikan bila tidak boleh digunakan. Demikian pula, misalnya dengan figur Soeharto, B.J. Habibie, Gus Dur, dan K.H. Hasyim Asy'ari.

Dari sisi Ilmu Public Relaions (PR) pun, penggunaan simbol sebagai penguat corporate image (citra perusahaan), biasa dilakukan. Bahkan, saat ini dalam bisnis model waralaba (franchise). Hal semacam itu juga digunakan meski sang pemilik nama sudah lama meninggal.

Saling Curiga
Peraturan KPU tersebut bila tidak direvisi, bisa juga  menimbulkan kecurigaan antarpeserta pemilu dengan menganggap KPU tidak netral, menguntungkan parpol yang memang tidak memiliki figur populer.

Ada pula yang akan berargumen bahwa di negara maju pun figur-figur populer, misalnya Kennedy, sering juga digunakan. Hal tersebut merupakan upaya yang sah dan ilmiah, selama di balik penonjolan figur tersebut tidak diikuti oleh pesan-pesan yang menyesatkan dan membuat pemilih tidak makin cerdas.

Pemanfaatan figur populer itu sebenarnya juga sejalan dengan pesan persuasif yang digunakan dalam kampanye dengan memanfaatkan kecenderungan dasar yang secara psikologis dimiliki oleh manusia, yaitu kecenderungan meniru. Meniru figur-figur yang menurut mereka pantas ditiru.

Bila dikaitkan dengan faktor sugesti yang juga berperan dalam proses persuasi, bagi kalangan tertentu, figur populer itu dipandang akan mampu menyugesti para calon pemilih sehingga akhirnya mereka mengambil keputusan untuk memilih.

KPU dalam membuat aturan sebaiknya mencari informasi pada kalangan yang cukup kompeten terkait dengan kampanye. Dengan demikian, aturan kampanye yang selama ini telah cukup membelenggu dan sangat dibatasi waktu tersebut, akhirnya banyak dilanggar.

Bila dicermati pelanggaran tersebut sebenarnya bukanlah murni kesalahan si pelanggar, melainkan karena pengertian dan batasan kampanye melalui media penyiaran khususnya yang sangat membelenggu tersebut sebagai pangkalnya. Terlebih, aturan pelarangan penggunaan figur-figur tertentu, tentu akan merugikan parpol-parpol tertentu yang memang "corporate image"-nya banyak tertopang oleh figur-figur populer tersebut.

Akhirnya, semua tentu berharap KPU yang memiliki waktu yang sangat terbatas dengan berbagai hal yang harus mereka kerjakan sebagai penyelenggara pemilu, sebaiknya tidak merepotkan diri serta membuang energi dengan membuat aturan-aturan yang kemungkinan akan mendapat banyak protes serta perlawanan.

*) Penulis adalah dosen dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.


Pewarta :
Editor: D.Dj. Kliwantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025