Mewaspadai post-otonomi pada pemilihan politik
Minggu, 1 Juli 2018 16:28 WIB
Pemilih politik tak ubahnya sebagai sekumpulan anggota yayasan yang harus tunduk pada otonomi yayasan.Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2018 telah digelar serentak di 171 daerah di Indonesia. Pilkada ini diselenggarakan di 17 provinsi, 115 kabupaten dan 39 kota.
Saat ini kita semua menunggu hasil penghitungan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai bagian dari tahapan pilkada selanjutnya.
Ketentuan tentang tahapan itu tertuang dalam Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pilkada tahun 2018.
Pilkada 2018 sebelumnya telah melalui persiapan matang. Hal tersebut bisa dikatakan karena Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengeluarkan beberapa kebijakan guna menjamin hak pilih warga pada Pilkada Serentak 2018.
Salah satunya adalah ikut menjamin hak konstitusional warga negara agar bisa memilih pada Pilkada serentak 2018.
Namun, hak konstitusional warga patut dipertanyakan ketika terdengar kabar ironis tentang guru di Bekasi yang ditegur keras oleh yayasan tempatnya bekerja karena perbedaan pilihan di Pilgub Jabar 2018.
Guru tersebut dinilai tidak satu misi dan visi dengan yayasan karena memilih Ridwan Kamil di Pilgub Jabar. Hal tersebut, perlu dinilai sebagai wujud pelanggaran hak konstitusional warga.
Selain itu, juga patut diwaspadai akan adanya kemungkinan lembaga pendidikan terkontaminasi dengan politik praktis. Tentu saja, keberadaan praktik politik praktis dalam lembaga pendidikan alangkah baiknya dievaluasi dan dihindari.
Asas Luber Jurdil
Kasus guru di Bekasi yang ditegur keras oleh yayasan tempatnya bekerja karena perbedaan pilihan di Pilgub Jabar 2018 merupakan pelanggaran terhadap asas "luber jurdil".
Indonesia dalam menyelenggarakan pemilu menganut asas "luber jurdil". "Luber jurdil" merupakan singkatan dari langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Langsung artinya setiap warga negara bebas secara langsung memberikan suaranya tanpa perantara. Umum artinya semua warga negara yang memenuhi persyaratan berhak ikut memilih dalam pemilu.
Bebas artinya setiap warga negara berhak dan bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dari siapapun. Rahasia artinya suara pemilih dalam surat suara dijamin tidak diketahui pihak manapun dengan jalan apapun.
Jujur artinya penyelenggara/pelaksanaan pemerintah, parpol peserta pemilu, pengawas dan pemantau pemilu, pemilih dan semua pihak yang terlibat secara tidak langsung harus bertindak sesuai perundangan yang berlaku.
Adil artinya setiap penyelenggaraan pemilu, pemilih dan partai politik peserta pemilu diperlakukan sama, bebas dari kecurangan pihak manapun.
Pemilihan Politik
Indonesia sejak tahun 1945 telah menjunjung tinggi pelaksanaan hak asasi manusia (HAM).
Salah satu hak asasi manusia yang merupakan hak warga negara adalah hak politik, meliputi hak memilih dan dipilih.
Memilih merupakan hak dasar setiap individu yang dijamin oleh negara dan diatur dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 2 ayat (1), Pasal 6A ayat (1), Pasal 19 ayat(1) dan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945.
Perumusan sejumlah pasal tersebut menjelaskan bahwa tidak dibenarkan adanya diskriminasi individu dengan tidak diperkenankan memilih sesuai hati nuraninya.
Bahkan, orang yang terbukti menghalangi pemilih bisa dikenakan sanksi pidana yang tercantum dalam Pasal 182A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pasal 182A menyatakan, setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan dan menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih, dipidana dengan pidana penjara 24-72 bulan dan denda Rp24 juta-Rp72 juta.
Dengan kata lain, apabila seorang warga negara tidak bisa memilih sesuai hati nuraninya, maka hak asasi yang bersangkutan dicederai.
Pencederaan hak asasi manusia merupakan pengekangan individu atau post-otonomi.
Mewaspadai Post-Otonomi
Kasus guru di Bekasi yang ditegur keras oleh yayasan tempatnya bekerja karena perbedaan pilihan, bisa dikatakan merupakan wujud pengekangan otonomi pemilih politik.
Melihat kasus tersebut, pemilih politik tak ubahnya sebagai sekumpulan anggota yayasan yang harus tunduk pada otonomi yayasan.
Visi dan misi yayasan dijadikan sebagai pembenaran untuk mengekang otonomi individu pemilih politik. Kondisi demikian dinamakan post-otonomi.
Post-otonomi adalah realitas otonomi yang melampaui prinsip otonomi itu sendiri. Post-otonomi terjadi ketika realitas otonomi bercampur aduk dengan sifat-sifat yang bukan bagian dari otonomi dan demokrasi, seperti egoisme, fasisme dan sifat mementingkan diri sendiri (Sobur, 2014).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), egoisme artinya tingkah laku yang didasarkan atas dorongan untuk keuntungan diri sendiri daripada untuk kesejahteraan orang lain.
Pengertian fasisme adalah prinsip atau paham golongan nasionalis ekstrem yang menganjurkan pemerintahan otoriter.
Dengan demikian, post-otonomi bisa dikatakan sebagai otonomi yayasan yang mencoba melanggar otonomi anggota yayasan yang bersangkutan.
Oleh karena itu, dalam mencermati kasus ini, perlu dilakukan dekonstruksi kode-kode post-otonomi.
Dekonstruksi
Dekonstruksi adalah metode analisis yang dikembangkan Derrida, seorang filsuf asal Prancis. Dekonstruksi merupakan metode untuk membongkar struktur dari kode-kode teks.
Abercrombie, Hill dan Turner (1984) menyatakan bahwa masyarakat adalah sebuah teks yang dapat didekonstruksi untuk menyingkap makna-makna implisitnya.
Dalam negara demokrasi, masyarakat merupakan sejumlah manusia yang memiliki hak asasi.
Dalam hal hak asasi pemilihan politik, apabila sebuah yayasan meminta seluruh anggotanya melakukan pemilihan politik sesuai dengan visi dan misi yayasan, pada saat yang sama juga telah melanggar hak asasi individu untuk memilih sesuai hati nurani.
Apabila merujuk pada metode dekonstruksi Derrida, persitiwa post-otonomi yang dialami guru di Bekasi tersebut mengandung makna implisit sebagai berikut: (1) terdapatnya ketiadaan otonomi individu sebagai anggota yayasan dan (2) pembenaran otonomi yayasan untuk melanggar otonomi individu yang menjadi anggotanya.
Dua poin analisis dekonstruksi kode-kode post-otonomi tersebut bisa digunakan sebagai langkah awal untuk membongkar keberadaan praktik politik praktis yang bertentangan dengan asas demokrasi.
Asas demokrasi bagi pemilih politik telah ditegakkan oleh pemerintah. Indikasinya adalah tidak lagi diberlakukan aturan yang mewajibkan PNS memilih partai Golkar, sebagaimana digalakkan pada masa Orde Baru dulu.
Oleh karena itu, tidak selayaknya apabila di masa sekarang pola pikir Orde Baru dibangkitkan lagi dengan mewajibkan anggota yayasan memilih sesuai keinginan yayasan.
Berbagai pengekangan di masa Orde Baru perlahan telah dihapuskan dengan mengakui otonomi individu dan otonomi yayasan.
Dengan demikian, jangan sampai kita terjebak pada kondisi post-otonomi yang justru melanggar otonomi individu.
*) Penulis adalah alumnus Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) Universitas Diponegoro Semarang.
Pewarta : Anna Puji Lestari, M.I.Kom. *)
Editor:
D.Dj. Kliwantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2024