Obrolan yang mendalam berhubungan dengan tingkat kebahagiaan
Jumat, 6 Juli 2018 13:31 WIB
Jakarta (Antaranews Jateng) - Studi replikasi baru tentang hubungan antara kedalaman perbincangan dan tingkat kebahagiaan yang hasilnya terbit di Psychological Science menunjukkan bahwa obrolan yang mendalam dan bermakna berhubungan dengan tingkat kebahagiaan yang lebih besar.
"Kami mendefinisikan obrolan ringan sebagai percakapan di mana dua mitra percakapan masih mengetahui sama banyak - atau sedikit - tentang satu sama lain dan tidak ada yang lain," kata Matthias Mehl, profesor psikologi di University of Arizona.
"Dalam percakapan substantif, ada pertukaran informasi yang nyata dan bermakna," katanya.
Untuk studi itu, para peneliti meminta 500 orang memakai alat perekam di telinga mereka sehingga interaksi acak dan percakapan sehari-hari dapat dianalisis. Peserta studi itu beragam, mencakup orang dewasa yang sudah bercerai, mahasiswa, orang dewasa yang ikut intervensi meditasi, penyintas kanker payudara, serta pasangan mereka. Mereka juga menjawab pertanyaan survei yang menilai kepribadian dan mengukur kepuasan hidup mereka.
"Dengan studi ini, kami ingin mencari tahu apakah utamanya kuantitas atau kualitas pertemuan sosial yang mempengaruhi kebahagiaan seseorang," kata penulis utama studi itu, Anne Milek, ilmuwan riset senior di University of Zurich, Swiss.
Hasilnya menunjukkan hubungan antara percakapan yang mendalam dan berkualitas tinggi dengan kebahagiaan yang lebih besar. Sedang obrolan ringan sama sekali tidak berhubungan dengan kebahagiaan. Dan jenis kepribadian bukan faktor yang berpengaruh karena studi ini melibatkan orang yang introvert dan ekstrovert.
"Obrolan ringan tidak berkontribusi positif terhadap kebahagiaan dan itu tidak berkontribusi negatif pada kebahagiaan," kata Mehl sebagaimana dilansir laman Medical Daily.
Meski demikian, obrolan ringan mungkin esensial untuk memulai perbincangan sebelum percakapan mendalam berlangsung. Saat mulai berbicara dengan penumpang tredekat dalam penerbangan yang panjang misalnya, norma-norma sosial akan memengaruhi cara orang memulai percakapan, dengan pertanyaan-pertanyaan ringan seperti "Mau pergi ke mana?" sebelum obrolan menjadi sesuatu yang lebih substantif.
Yang berpengaruh terhadap kebahagiaan secara keseluruhan, menurut studi itu, adalah mengasingkan diri dan menghindari interaksi. Peserta studi yang lebih banyak menghabiskan waktu sendirian kurang puas dan memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih rendah menurut Mehl.
“Orang-orang yang menghabiskan lebih banyak waktu berinteraksi dan melakukan percakapan yang lebih bermakna, substantif lebih merasa puas dan bahagia. Hidup bahagia itu sosial, bukan soliter, dan juga bermakna," tutur Mehl.
Hasil studi itu tertuang dalam makalah berjudul "'Eavesdropping on Happiness' Revisited: A Pooled, Multisample Replication of the Association Between Life Satisfaction and Observed Daily Conversation Quantity and Quality" yang dipublikasikan dalam jurnal Psychological Science edisi 3 Juli.
"Kami mendefinisikan obrolan ringan sebagai percakapan di mana dua mitra percakapan masih mengetahui sama banyak - atau sedikit - tentang satu sama lain dan tidak ada yang lain," kata Matthias Mehl, profesor psikologi di University of Arizona.
"Dalam percakapan substantif, ada pertukaran informasi yang nyata dan bermakna," katanya.
Untuk studi itu, para peneliti meminta 500 orang memakai alat perekam di telinga mereka sehingga interaksi acak dan percakapan sehari-hari dapat dianalisis. Peserta studi itu beragam, mencakup orang dewasa yang sudah bercerai, mahasiswa, orang dewasa yang ikut intervensi meditasi, penyintas kanker payudara, serta pasangan mereka. Mereka juga menjawab pertanyaan survei yang menilai kepribadian dan mengukur kepuasan hidup mereka.
"Dengan studi ini, kami ingin mencari tahu apakah utamanya kuantitas atau kualitas pertemuan sosial yang mempengaruhi kebahagiaan seseorang," kata penulis utama studi itu, Anne Milek, ilmuwan riset senior di University of Zurich, Swiss.
Hasilnya menunjukkan hubungan antara percakapan yang mendalam dan berkualitas tinggi dengan kebahagiaan yang lebih besar. Sedang obrolan ringan sama sekali tidak berhubungan dengan kebahagiaan. Dan jenis kepribadian bukan faktor yang berpengaruh karena studi ini melibatkan orang yang introvert dan ekstrovert.
"Obrolan ringan tidak berkontribusi positif terhadap kebahagiaan dan itu tidak berkontribusi negatif pada kebahagiaan," kata Mehl sebagaimana dilansir laman Medical Daily.
Meski demikian, obrolan ringan mungkin esensial untuk memulai perbincangan sebelum percakapan mendalam berlangsung. Saat mulai berbicara dengan penumpang tredekat dalam penerbangan yang panjang misalnya, norma-norma sosial akan memengaruhi cara orang memulai percakapan, dengan pertanyaan-pertanyaan ringan seperti "Mau pergi ke mana?" sebelum obrolan menjadi sesuatu yang lebih substantif.
Yang berpengaruh terhadap kebahagiaan secara keseluruhan, menurut studi itu, adalah mengasingkan diri dan menghindari interaksi. Peserta studi yang lebih banyak menghabiskan waktu sendirian kurang puas dan memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih rendah menurut Mehl.
“Orang-orang yang menghabiskan lebih banyak waktu berinteraksi dan melakukan percakapan yang lebih bermakna, substantif lebih merasa puas dan bahagia. Hidup bahagia itu sosial, bukan soliter, dan juga bermakna," tutur Mehl.
Hasil studi itu tertuang dalam makalah berjudul "'Eavesdropping on Happiness' Revisited: A Pooled, Multisample Replication of the Association Between Life Satisfaction and Observed Daily Conversation Quantity and Quality" yang dipublikasikan dalam jurnal Psychological Science edisi 3 Juli.
Pewarta : Antaranews
Editor:
Totok Marwoto
COPYRIGHT © ANTARA 2024