Penampilan Seni Jati Swara Surabaya hiasi panggung SIPA
Jumat, 7 September 2018 23:27 WIB
Komunitas kelompok seni kaum muda asal Surabaya yang menampilkan drama tarian Rai Gedhek menceritakan insan manusia yang kehilangan naluri hati yang positif, serakah akan hak bukan miliknya seperti tikus atau seoarng koruptor.
Lima penari perempuan dan dua laki-laki dengan membawa kurungan ayam menari-nari mengikuti hentakan suara musik gamelan jawa gaya jawa timuran.
Penari dengan gerakan serasi dan kompak terlihat indah serta mendapat sambutan meriah oleh ribuan penonton yang memadati kawasan Benteng Vastenburg Solo.
Bahkan, irama musik kesenian khas Banyuwangi yang berkolaborasi musik angklung dan gandrungan terlihat serasi dan enak didengar mengiringi para penari yang menampilkan kebolehannya di panggung megah SIPA.
Menurut Yuddan Pijar Sukmatimur selaku koordinator Komunitas Seni Jati Swara Surabaya pihaknya merasa bangga mendapat kesempatan tampil di panggung internasional SIPA di Solo.
"Saya berharap komunitasnya yang terdiri para kaun muda di Jatim bisa tampil lagi pada SIPA tahun depan," kata Yuddan.
Yuddan mengatakan kelompok seninya dengan menampilkan karyanya Rai Gedhek yakni sebuah tarian yang melambangkan insan manusia yang kehilangan naluri hati yang positif, serakah akan hak yang bukan miliknya seperti tikus atau seorang koruptor.
Penjarah kekayaan bumi pertiwi dan segala orang yang tidak lagi mengenal nilai-nilai kemanusian.
"Simbol tikus yang menjadi media ungkap agar penonton bisa terbawa. Kurungan menjadi simbol jika sudah menjadi tikus atau koruptor, ternyata akan masuk ke kurungan atau penjara," kata Yuddan.
Menurut dia, ketika sudah merapas kekayaan rakya, merekat akan masuk penjara. Kesenian Morojono sebuah kesenian yang sekarng sudah punah di Banyuwangi. nafat-nafas musiknya lebih dekat irama "kuntulan", "angklung paglat" dan musik gandrungan yang dikolaborasikan menjadi suatu karya Rai Gedhek ini.
"Kompunisnya lebih tertarik bagaimana tehnik permainan yang ada aliran musik kuntulan dan dipadukan beberapa instrumen yang ada di alat gamelan jawa yang berlaras pelok jadilah sebuah sajian ini.
Lagu-lagunya yang dibawakan seperti pujian kepada Tuhan agar mereka bisa sadar dan kembali ke masyarakat," kata Yuddan.
Menurut dia, karya seni Rai Gedhek dengan melibatkan lima penari perempuan dan dua laki-laki, sedangkan pemain musiknya ada 16 orang.
Konsepnya menggambarkan seorang tikus yang identik dengan koruptor. Rai Gedhek bagaimana persoalan sosial yang dialami banyaknya koruptor tidak merasa malu mereka menjadi koruptor.
Pada acara panggung SIPA penampilan pertama kelompok Diklat Tari Anjungan Jawa Timur Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta dengan menyuguhkan karya Kubus, Belasan penari dengan membawa kubus yang menggambarkan kehidupan akan menjaid belenggu bagi jiwa yang terjajah, tetapi batas itu tidak akan membelenggu jiwan yang merdeka.
Belasan penari memperlihatakn kebolehannya dengan didiringi musik gamelan jawa, tetapi suara tambur yang lebih menonjol sehingga mempu menggetarkan panggung SIPA lebih meriah, dan mendapat aplouse para penonton.
SIPA juga tampil Citar Nuraini Putri asal Bandung yang menampilkan lima penari dengan gerakan-gerakan yang kocak, sehingga membuat para penonton terhibur.
Bahkan, penampilan dihari kedua SIPA, yakni delegasi asal Belanda Liene Roebana Dance Company membawakan tarian berjudul "Light" atau cahaya. Karya puisi tari ini, berkelok-kelok yang dilakuklan oleh kelompok penari, penyanyi dan musisi yang beraneka ragam. Semua bernyanyi, penari dan memuat musik. Pemapilan ini.
Menurut Lieane Roebana selaku koreografer penampilan tersebut menunjukan dunia , dimana perbedaan budaya bukanlahj seuatu ritangan, tetapi lebih pada kondisi untuk kreasi dan komunikasi. Dialog dari berbagai perbedaan budaya, bahasa, bentuk seni dan sesuatu hari menciptakan pusaran ide-ide baru.
Komposisi bari Iwan Gunawan dan tarian Liene Roebana menciptakan struktur yang sangat menarik dimana bahasa yang berbeda dan unsur-unsur berbagai ragam budaya Asia dan Eropa dengan mudah terjalin.
Pewarta : Bambang Dwi Marwoto
Editor:
Mugiyanto
COPYRIGHT © ANTARA 2024