Telaah - Jelajah Kampung, belajar sejarah Kota Magelang secara senang
Senin, 3 Februari 2020 03:05 WIB
Terpancar wajah-wajah semringah dan antusias mereka untuk mengikuti agenda Jelajah Kampung diadakan komunitas kesejarahan ini pada Minggu (2/2), mulai pukul 07.00 WIB sampai tengah hari.
Jelajah Kampung, salah satu program komunitas itu untuk belajar tentang sejarah lokal. Terkadang, masih banyak kalangan memaknai sejarah sebagai hal-hal terkait dengan peninggalan masa lalu yang cepat membosankan.
Dengan program jelajah ini, belajar sejarah menjadi sangat menyenangkan dan bahkan menyehatkan, karena kurang lebih lima kilometer peserta berjalan kaki.
Nugroho Notosusanto dalam buku "Norma-norma Dasar Penelitian Penulisan Sejarah" (1971), menyebut beragam cara untuk belajar (meneliti) sejarah.
Mantan Menteri Pendidikan era Orde Baru ini menyampaikan salah satu cara belajar sejarah dengan kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau atau bukti-bukti sejarah. Jejak-jejak itu dapat berupa kejadian, benda peninggalan masa lampau, dan bahan tulisan.
Dengan dasar tersebut, KTM mengadakan Jelajah Kampung, belajar sejarah lokal dengan cara yang lebih menyenangkan.
Jelajah Kampung dipandu Bagus Priyana yang dipanggil akrab sebagai Gubernur KTM. Kegiatan dimulai timur Alun-Alun Kota Magelang menuju barat ke arah Kauman. Digambarkan bagaimana sejarah Bupati pertama Magelang, Danukromo, membangun Magelang diawali dengan membangun Masjid Agung, pendapa bupati, dan alun-alun sebagai pusat kota pada awal 1800-an.
Peserta kemudian melewati Jalan Kartini, menyeberang jalan menuju Jalan Mangkubumi, di mana di ujung jalan tersebut ada Kampung Jenderalan. Di tempat itu, ada bekas fondasi yang merupakan gasebo dari rumah dinas para jenderal pada masa pemerintahan kolonial Belanda yang sudah rusak berat semenjak era pendudukan Jepang. Perumahan para jenderal ini sekarang menjadi rumah dinas prajurit TNI.
Penjelajahan peserta menuju bunker peninggalan Belanda di Cacaban, kompleks perumahan Kwarasan yang dibangun arsitek terkenal, Thomas Karsten. Mereka masuk Kampung Kerkopan --berasal dari kata "Kherkof" (bahasa Belanda) yang berarti kompleks pemakaman. Kampung ini di selatan Kampung Kejuron.
Baca juga: Komunitas "Kota Toea Magelang" Kembangkan Wisata Sejarah
Tidak diketahui sejak kapan kompleks pemakaman Belanda ini ada. Hanya saja, masih tersisa bekas nisan dengan tulisan tahun 1867. Pemakaman ini sudah ada dalam peta Kota Magelang Stadskaart pada 1923.
Area pemakaman ini membentang mulai depan penjara sampai barat, berbatasan dengan Jalan Diponegoro sekarang ini.
Mereka kemudian menuju selatan sampai di Kampung Jambon Legok hingga timur membentuk area segi empat.
Melalui kegiatan jelajah itu, dapat diketahui bahwa karena perkembangan zaman dan alasan penataan kota, area pemakaman ini oleh pemerintah kota praja dipindah ke kawasan Kampung Barakan. Pemindahan pemakaman terjadi pada 1938-1941. Area pemakaman lambat laun menjadi pemukiman warga bernama Kampung Kerkopan.
Kegiatan Jelajah Kampung dilanjutkan ke arah Gladiol yang dahulu lapangan dan area peresapan air, namun sekarang berubah menjadi kolam renang dan kompleks perumahan mewah.
Peserta penjelajahan sejarah lalu menyeberang Jln. Tentara Pelajar ke Kampung Ngarakan. Di kampung ini masih terlihat banyak bangunan lama milik warga keturunan Tionghoa di Kota Magelang. Kampung Ngarakan terkait dengan berdirinya Kelenteng Liong Hok Bio di kawasan alun-alun setempat.
Ada catatan menarik berdasarkan penuturan Liem Tjay An dalam Majalah Tri Budaya, terbitan Januari-Februari 1962. Tri Budaya, majalah bulanan khusus para anggota Gabungan Tridharma Indonesia. Majalah itu pernah terbit sampai 145 nomor dan terhenti pada Februari 1966.
Catatan Tri Budaya edisi 96-97, terkait dengan Kelenteng Liong Hok Bio yang didirikan pada 1864 oleh Kapitein Be Koen Wie (Tjok Lok), di mana Kampung Ngarakan berada di belakang kelenteng yang juga menjadi penanda pusat Kota Magelang.
Riwayat tutur disampaikan keluarga Tionghoa tertua di Magelang waktu itu, menyebutkan tentang pembangunan kelenteng dengan menceritakan terlebih dahulu kisah perjalanan patung Dewa Twa Pek Kong atau Dewa Hok Tek Ceng Sin, dewa yang sangat dihormati dan populer, berhubungan dengan kepercayaan terhadap rezeki.
Di altar dewa inilah warga Tionghoa memohon kelapangan rezeki yang kemudian menjadi altar favorit umat untuk berdoa di banyak kelenteng dan wihara, terutama di daratan Asia.
Pada 1740, terjadi pembantaian orang-orang Tionghoa di Batavia. Batavia atau Jakarta saat ini, di bawah kendali pemerintahan Gubernur Jenderal Andrian Valkenier. Pembantaian selama tiga hari tiga malam. Bahkan, ada riwayat lebih dari tujuh hari tujuh malam yang terkenal sebagai "Geger Pecinan".
Peristiwa ini diperkirakan karena masalah perizinan imigrasi dan kekhawatiran pengaruh warga Tionghoa yang semakin membesar, seiring makin banyak populasinya. Akibat peristiwa keji ini, gubernur jenderal ke-25 tersebut dianggap salah dan dihukum oleh putusan pengadilan Kerajaan Belanda, dan akhirnya meninggal dunia di penjara.
Warga Tionghoa yang tersisa waktu itu, terpencar ke berbagai penjuru Nusantara untuk berlindung dan mencari keselamatan. Salah satu rombongan kecil sampai Kedu bagian selatan dan bertempat tinggal di Desa Klangkong Djono, desa kecil di selatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo. Mereka tiba di tempat itu membawa patung dewa-dewa favorit dari Batavia.
Sampai beberapa tahun mereka tinggal di desa tersebut dengan tenteram, bekerja, dan menyatu dengan warga setempat, lalu beranak turun.
Selama 1825-1830 terjadi Perang Jawa. Pasukan dan pengikut Pangeran Diponegoro melawan pemerintahan kolonial Belanda. Peperangan yang meluas dari Yogyakarta sampai Purworejo, Kutoarjo, dan Kebumen itu, berpengaruh terhadap kehidupan warga Tionghoa di Desa Djono. Warga Tionghoa waktu itu dipimpin The Ing Sing yang juga digelari Bu Han Lim dari Tiongkok dan sering dipanggil sebagai Kyai Singkir.
Oleh karena alasan keamanan, mereka terpaksa "bedhol desa", meninggalkan Desa Djono dengan terlebih dahulu membumihanguskan kampung mereka. Mereka berombongan menuju Magelang melewati Perbukitan Menoreh (Salaman), yang waktu itu dianggap lebih aman karena banyak tentara Belanda berjaga.
Sesampainya di Magelang, mungkin karena alasan keamanan, rombongan dibagi menjadi dua, sedangkan karena patung dewa yang dibawa ada dua, yang satu dibawa rombongan pertama ke Parakan, kota kecil di utara Temanggung, sedangkan yang di Magelang ditempatkan di rumah pemujaan sementara di Kampung Ngarakan.
Beberapa tahun setelah berakhir Perang Jawa, seorang warga Tionghoa bernama Be Tjok Lok pindah dari Solo ke Magelang. Oleh karena jasanya bagi pemerintahan kolonial Belanda, dia diangkat menjadi Luitenant yang bertugas menjadi "pachter candu", yaitu pengepak, pengepul, dan pedagang candu.
Melalui perdagangan candu yang dengan sistem monopoli waktu itu, dan usaha rumah gadai yang ditekuninya, dia menjadi kaya raya. Karirnya meningkat menjadi Kapitein.
Sebagai ungkapan syukur atas kenaikan pangkatnya, dia menghibahkan sebidang tanah di ujung utara Pecinan, dekat alun-alun, untuk didirikan Kelenteng Liong Hok Bio.
Baca juga: Telaah - Pecinan, wajah Kota Magelang dalam rona keberagaman
Ketaatan orang-orang Tionghoa pada tradisinya, saban ada pernikahan waktu itu, hampir mereka semua pergi ke kelenteng untuk bersembahyang. Begitu pun pada hari Sembahyang Rebutan (Tiong Gwan), selalu diadakan upacara perayaan secara besar-besaran. Di kelenteng diadakan sembahyang secara khusus, sedangkan di alun-alun diadakan "grebeg besar".
Di alun-alun dibuat panggung dua tingkat, diletakkan beragam gunungan besar dan kecil, tumpeng nasi, beras, ingkung, kambing guling, dan berbagai sajian masakan. Di puncak gunungan tertinggi diselendangi (terob) dengan kain pelangi warna-warni dan banyak barang lain digantungkan, untuk kemudian diperebutkan masyarakat umum.
Begitu juga di sekitar panggung, diadakan beragam tontonan hingga mirip pasar malam dengan berbagai pertunjukan.
Lantaran sering terjadi kecelakaan dalam rangkaian "grebeg besar" tersebut, pada 1904 pemerintahan kolonial melarang acara tersebut.
Menurut Liem Wui Hong atau yang sering dipanggil Gunawan, Sembahyang Rebutan masih terus diadakan, walaupun sudah dilarang diadakan di alun-alun semenjak zaman Belanda.
"Sembahyang Rebutan diadakan setiap bulan ke-7 dalam tanggalan Imlek di halaman Kelenteng Liong Hok Bio," kata Ketua Pemuda Tempat Ibadah Tri Dharma Kelenteng Liong Hok Bio yang juga pemilik toko serba ada Sri Ratu Plaza di kawasan Pecinan Kota Magelang itu.
Berdasarkan tradisi Tionghoa, patung dewa pelindung kelenteng (Twa Pek Kong) harus ditahtakan di kelenteng. Ketika pembangunan Kelenteng Liong Hok Bio diwujudkan dan diresmikan pada 8 Juli 1864, patung dewa Twa Pek Kong dibawa melalui arak-arakan dari tempat penampungan sementara itu menuju kelenteng.
Sejak saat itulah nama kampung tempat pemujaan sementara dan rute awal perarakan, dinamakan Kampung Ngarakan. Meski patung itu telah dipindahkan ke Kelenteng Liong Hok Bio, Kampung Ngarakan tetap identik dengan perkampungan warga Tionghoa. Kampung itu tetap menarik untuk dikunjungi, karena masih ada beragam peninggalan tersisa.
Sejak dahulu, Magelang sudah terkenal sebagai tempat nyaman untuk ditinggali atau sekadar berkunjung dalam rangka wisata. Bahkan, pada era 1970-1980-an, Kota Magelang menjadi kota yang sangat hidup hingga setiap penjuru kampungnya.
Hingga saat ini, Kota Magelang tetap menjadi salah satu kota di Indonesia yang menarik. Salah satu daya tarik khas kota itu, acara pesiar setiap akhir pekan para taruna Akademi Militer di lembah Gunung Tidar di tengah kota itu.
Pesiar mereka menjadi warna khas atas kehidupan kota dengan salah satu pusat keramaiannya, di kawasan alun-alun dan pusat pertokoan Pecinan di Jalan Pemuda Kota Magelang.
Banyak kisah juga tentang bagaimana Kota Magelang identik dengan kecantikannya, secantik para gadis yang bersolek dan senyum ramah, demi harapan berjodoh dengan taruna-taruna dari lembah Tidar.
Setiap kampung di Kota Magelang juga menyimpan cerita-cerita menarik dan unik. Hal itu, kiranya juga sebagai daya tarik utama orang berkunjung.
Terobosan belajar sejarah melalui Jelajah Kampung sebagaimana ditempuh anggota KTM, bisa jadi membuat Kota Magelang lebih moncer perkembangan masa depannya. (hms).
*) Muhammad Nafi, Koordinator Komunitas Pinggir Kali Kota Magelang
Baca juga: Pemkot Magelang bangkitkan wisata sejarah
Baca juga: "Kota Toea Magelang" Olah Dokumen jadi Produk Kreatif
Pewarta : Muhammad Nafi *)
Editor:
M Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024