Logo Header Antaranews Jateng

LPSK: Laki-laki sering tak dipercaya ketika alami pelecehan seksual

Jumat, 3 September 2021 18:11 WIB
Image Print
Ilustrasi seorang laki-laki yang mengalami trauma. ANTARA/HO-Pexels
Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Livia Istania DF Iskandar mengatakan laki-laki dewasa sering tidak dipercaya saat mengadu mengalami pelecehan seksual karena konstruksi sosial yang berlaku di masyarakat mengekspektasikan laki-laki sebagai sosok kuat.

“Selama ini ekspektasi di masyarakat bahwa laki-laki tidak menjadi korban. Pada perempuan korban pun sudah sulit, seperti sering disalahkan. Ternyata laki-laki juga sangat sulit untuk bisa melaporkan dan mendapat validasi atas peristiwa yang dialaminya,” kata Livia kepada ANTARA pada Jumat.

Ia menyebut stereotipe laki-laki sebagai sosok kuat dan berperan sebagai pencari nafkah menyebabkan beban psikologis berlapis saat mereka mengalami kekerasan seksual. Selain itu, penyintas menjadi lebih sulit untuk mengeluarkan diri dari situasi yang "beracun".

“Saya percaya itu mempengaruhi secara fisik dan psikis karena dia memikul beban yang besar,” kata perempuan yang juga aktif menjadi pembina di Yayasan Pulih itu.



Sebelumnya pada Rabu (1/9), seorang pegawai laki-laki di KPI Pusat berinisial MS menceritakan perundungan dan pelecehan seksual yang dialaminya melalui sebuah surat terbuka yang beredar di media sosial. Di dalam surat tersebut, MS juga secara gamblang menyebutkan nama-nama pegawai KPI sebagai terduga pelaku yang semuanya laki-laki.

“Perundungan dan pelecehan seksual, dua-duanya ini benar-benar bisa membuat seseorang merasa tidak berdaya dan kehilangan kepercayaan diri. Dampaknya bisa membekas selama bertahun-tahun dan sangat negatif,” tutur Livia.

Menurutnya, kasus MS yang mencuat di publik memberi ruang serta momentum untuk ditelaah lebih jauh. Livia merujuk pada data LPSK bahwa selama ini sangat jarang laki-laki penyintas kekerasan seksual yang melapor, entah yang terjadi pada lingkup keluarga/rumah, sekolah, perguruan tinggi, tempat ibadah, hingga tempat kerja.

“Kalau laki-laki yang mengalami kekerasan seksual pada usia dewasa, saya belum pernah mendampingi. Memang, waktu itu pernah mendampingi laki-laki dewasa yang jadi korban dan meminta bantuan perlindungan ke LPSK, tetapi sebenarnya peristiwa kekerasannya terjadi pada saat dia masih anak-anak,” katanya.



Livia mengatakan proses penyintas untuk berani berbicara, membuka kasus, berkonsultasi kepada profesional, hingga memiliki keinginan untuk pulih merupakan jalan yang panjang, berliku, dan kompleks.

“Saya punya klien bisa lebih dari 20 sampai 30 tahun baru menceritakan tentang kekerasan seksual yang dialaminya kepada psikolog,” tuturnya.

Ia mengatakan salah satu dampak psikologis dari peristiwa kekerasan seksual pada penyintas adalah perasaan benci terhadap dirinya sendiri. Hal itu pula yang menyebabkan penyintas memilih diam dan menanggung trauma sendirian ditambah lingkungan yang tidak memihak serta mendukungnya, sehingga membutuhkan waktu lama untuk berani berbicara (speak up).

“Selama proses speak up, bayangkan berapa kali penyintas harus mengulang cerita trauma yang sama. Dimulai dari saat bercerita kepada keluarga dekat atau teman dekat, lalu melapor ke polisi, belum lagi nanti akan diminta keterangan kembali,” ujarnya. Ia menekankan hal tersebut

“Berat sekali untuk sampai titik akhir. Oleh karena itu, saya sangat menghargai keberanian para penyintas yang mau melaporkan dan mencari keadilan walaupun jalannya berliku-liku,” pungkas Livia.
 

Pewarta :
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA 2024