Logo Header Antaranews Jateng

Habis surplus terbitlah hambatan

Minggu, 3 April 2022 17:46 WIB
Image Print
Anggota Dewan Negara merangkap Menteri Luar Negeri China Wang Yi (dua kanan) saat melakukan pertemuan bilateral dengan Menlu RI Retno Marsudi di sela-sela pertemuan para menlu tetangga Afghanistan di Tunxi, Provinsi Anhui, China, pada 31 Maret 2022. (ANTARA/FMPRC/mii)
Beijing (ANTARA) - Sisi lain dari bencana global berupa pandemi COVID-19 adalah berkah bagi negara-negara yang tergabung dalam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

Sejak wabah penyakit itu melanda berbagai wilayah di dunia, ASEAN justru mendapatkan momentum dalam relasi dagangnya dengan China.

Kekhawatiran mengenai keberlangsungan pakta dagang dalam skema Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) sempat muncul pada awal-awal pandemi.

Namun catatan positif hubungan dagang ASEAN dengan China mengikis keraguan tersebut hingga akhirnya China pun meratifikasi skema RCEP per 1 Januari 2022.

Pada tahun-tahun menjelang finalisasi kesepakatan RCEP, perdagangan ASEAN-China terus mengalami peningkatan.

Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa dikejutkan oleh ASEAN yang pada 2019 nilai perdagangannya dengan China telah mencapai angka 641,46 miliar dolar AS (Rp9,21 kuadriliun).

Pada saat itu untuk pertama kalinya ASEAN mampu melampaui nilai perdagangan Amerika Serikat dengan China.

Perlahan tapi pasti. Pada 2020 ASEAN menduduki peringkat pertama mitra dagang China dengan nilai 684,6 miliar dolar AS sekaligus mengalahkan Uni Eropa yang sebelumnya bertengger di posisi puncak.

Kemudian pada 2021, ASEAN untuk yang kedua kalinya mengungguli Uni Eropa dalam bermitra dagang dengan China yang mencapai nilai 878,2 miliar dolar AS.

Indonesia sebagai salah satu mitra dagang terpenting China turut menikmati momentum kebangkitan ASEAN tersebut.

Sepanjang tahun 2021 nilai ekspor Indonesia ke China mencapai 63,63 miliar dolar AS atau tumbuh 70,02 persen dibandingkan dengan pencapaian 2020.

Sementara nilai impor Indonesia dari China hanya 60,71 miliar dolar AS atau naik 47,87 persen.

Dengan demikian Indonesia mengalami surplus perdagangan senilai 2,92 miliar dolar AS pada  2021 sebagaimana data Kementerian Kepabeanan China (GACC) pada awal Februari lalu.

Nilai perdagangan bilateral Indonesia dengan China pada periode Januari-Desember 2021 mencapai 124,34 miliar dolar AS atau meningkat 58,43 persen dibandingkan dengan pencapaian pada 2020.

Beberapa produk unggulan Indonesia yang mengalami peningkatan nilai ekspor ke China hingga di atas 100 persen, di antaranya bahan bakar mineral, produk turunan nikel, produk industri penggilingan, produk keramik, logam mulia, olahan dari sayuran, mutiara alam, mutiara budidaya, dan olahan daging ikan.



Ada juga industri makanan, kopi, teh, dan rempah-rempah yang kenaikan nilai ekspornya ke China di atas 60 persen.

Di antara beberapa negara ASEAN yang menjadi mitra dagang China, peringkat Indonesia pun turut terdongkrak. Indonesia menempati peringkat ketiga di antara negara-negara ASEAN dalam bermitra dagang dengan China. Pada 2019 dan 2020, Indonesia menempati peringkat kelima dan keempat.

Namun apakah tren tersebut akan berlanjut hingga tahun ini dan tahun-tahun berikutnya? Jawabannya, sangat sulit karena pemulihan ekonomi pascapandemi COVID-19 bakal mengalami hambatan yang cukup berat, termasuk konflik Rusia-Ukraina yang berdampak buruk terhadap perekonomian dunia.

Hambatan
Lupakan sejenak konflik Rusia-Ukraina yang perlahan tapi pasti dampaknya itu juga akan dirasakan oleh Indonesia, kecuali kalau situasi tersebut bisa mereda dalam tempo kurang dari tiga bulan seperti ekspektasi para pengamat.

Tanggal 1 Januari 2022, China mulai menerapkan regulasi baru tentang perdagangan. Peraturan yang diberlakukan untuk semua negara mitra dagangnya itu diumumkan otoritas perdagangan China bersamaan dengan diimplementasikannya zona perdagangan bebas dalam skema RCEP pada 1 Januari 2022 pula.

China berdalih regulasi tersebut bertujuan untuk melindungi warganya yang selama ini mengonsumsi barang-barang impor yang sebagian besar berupa makanan dan minuman. Atas dalih itu pula, maka otoritas perdagangan China mewajibkan semua produk impor tanpa terkecuali harus melakukan registrasi ulang dengan memenuhi persyaratan, seperti bahan yang digunakan dan tata cara pembuatannya.

Regulasi tersebut dianggap kontraproduktif dengan inisiatif China sebagai negara pertama yang menerapkan zona perdagangan bebas RCEP.

Beberapa negara di ASEAN yang selama ini juga banyak mengekspor makanan dan minuman mulai melihat gelagat aneh yang ditunjukkan China tersebut, meskipun regulasi terbaru itu ditujukan kepada semua mitra dagang China.

Di tengah situasi tersebut, tiba-tiba muncul data perdagangan bilateral Uni Eropa-China yang pada periode Januari-Februari 2022 telah mencapai 137,16 miliar dolar AS atau meningkat 14,8 persen dibandingkan Januari-Februari 2021.

Pencapaian dua bulan pertama pada tahun ini kembali mendudukkan Uni Eropa di peringkat pertama mitra dagang China yang dalam dua tahun berturut-turut sebelumnya ditempati oleh ASEAN.



"Sulit untuk menilai, apakah pergeseran dari ASEAN ke Uni Eropa ini bersifat musiman atau tren. Namun hal itu mencerminkan ketahanan dan dinamika perdagangan China dengan Uni Eropa lebih kuat," kata juru bicara Kementerian Perdagangan China (Mofcom) Gao Feng dalam pernyataan persnya di Beijing pada Kamis (17/3).

Pernyataan Gao tersebut menjadi sinyal pesimisme bagi negara-negara di ASEAN yang selama ini bermitra sangat baik dengan China dalam berbagai bidang, termasuk perdagangan.

Namun regulasi terbaru itu bakal menjadi hambatan bagi ASEAN. Dengan mengikuti kebijakan baru itu, maka peluang untuk meningkatkan hubungan dagang dengan China makin kecil pada tahun-tahun berikutnya.

Ada banyak kekhawatiran jika persyaratan yang ditetapkan oleh China itu diikuti semuanya, termasuk ketika harus membagikan "rahasia dapur" kepada kompetitor. Fenomena ini pernah dikeluhkan oleh beberapa perusahaan teknologi komunikasi dari Eropa ketika harus bermitra dengan perusahaan-perusahaan China beberapa tahun yang lalu.

Maka tidak heran, kalau akhirnya Singapura dikabarkan tidak terima dengan perlakuan China tersebut yang disikapinya dengan mempersiapkan berbagai aksi balasan. Namun Vietnam tampaknya berupaya mengikuti apa kemauan China karena dianggap tidak ada pilihan lain.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia yang baru saja memanen hasil terbaiknya dalam bermitra dagang dengan China berupa surplus itu?

Bagi perusahaan asal Indonesia, baik yang sudah melakukan ekspansi produk makanan dan minuman maupun yang belum melakukan ekspor ke China, tampaknya harus bersabar dulu. Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah merevisi kembali target pendapatan yang diperoleh dari ekspor ke China karena sudah pasti nilainya tidak sebesar tahun lalu.

Apalagi kalau melihat 150 pengiriman via kapal produk dari Indonesia masih tertahan di pelabuhan China, maka makin terlihat jelas di depan mata adanya hambatan itu.

Namun sebagai sama-sama negara besar yang sedang berkembang dan sudah lama bermitra dagang serta terjalin kerja sama yang cukup erat di berbagai bidang, maka Indonesia tidak perlu mengikuti jejak Singapura. Begitu pula Indonesia tidak boleh memasrahkan nasibnya begitu saja seperti yang dilakukan Vietnam.

Oleh karena itulah kenapa dalam pertemuan bilateral dengan anggota Dewan Negara merangkap Menteri Luar Negeri China Wang Yi di sela-sela pertemuan para menlu tetangga Afghanistan di Tunxi, Provinsi Anhui, pada Kamis (31/3) lalu, Menlu RI Retno LP Marsudi menyinggung soal hambatan itu.

Ikhtiar tersebut diperkirakan tidak akan berhenti di tingkat menlu karena Menteri Koordinator Maritim dan Investasi RI Luhut Binsar Pandjaitan juga bakal secara langsung menemui Wang Yi yang juga sama-sama setingkat menko. 


 


Editor: Teguh Imam Wibowo
COPYRIGHT © ANTARA 2024